Jumat, 31 Oktober 2014

RESENSI BUKU

Judul                           : Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok
Pengarang                   : Roedy Haryo Widjono AMZ
Penerbit                       : Grasindo, Jakarta
Tahun Cetakan            : 1998
Jumlah Halaman          : 152 halaman
Dimensi                       : panjang 17 cm, lebar 12 cm, tebal 0,5 cm

Profil Pengarang:
            Lahir di Solo, Jawa Tengah, 5 Juli 1958. Sejak usai mengikuti studi Comprehensive Development Training selama satu tahun diselenggarakan Yayasan Esti Mulia Jakarta (1080), ia menetapkan pilihan untuk menjadi aktivitis organisasi nonprofit (ornop). Awal tahun 1981, ia mulai bekerja di Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Samarinda dan tinggal di Tering, Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, sebuah desa kecil di pedalaman Mahakam, sebagai aktivis lapangan hingga tahun 1986.
            Menikah tahun 1984 dengan Yuliana Skolastika Karnella, putri Dayak Benuaq dan dikaruniai dua putra: Feliks Galih Layun Restumitra dan Andreas Sukma Rawayan Mahardika. Di pertengahan tahun 1986, ia pindah ke Samarinda hingga kini.
            Sebagai aktivis ornop ia aktif menulis artikel yang dipublikasikan di beberapa media, juga aktif menulis makalah yang dipresentasikan dalam berbagai kesempatan. Buku kumpulan sajak berjudul Lelaki Penunggang Gelombang diterbitkan PT Pustaka Sastra Jakarta (1997). Dalam kapasitasnya sebagai koresponden Majalah Mingguan Hidup dan Union of Catholic Indonesia News (Ucindonews), ia aktif menulis tentang persoalan-persoalan masyarakat di Kalimantan Timur.
            Di samping bekerja Sekretaris Komisi PSE Keuskupan Samarinda, ia juga aktif di beberapa ornop di Samarinda, antara lain Ketua Pengarah Konsorsium Sistem Hutan Kerakyatan Kalimantan Timur, anggota Forum Aksi Solidaritas untk Masyarakat Adat Dayak, anggota jaringan Gender Kalimatan Timur, anggota Konsorsium Pembaruan Agraria dan Direktur Lembaga Bina Benua Puti Jaji (Institute for Community Legal Resources Empowerment).

Isi Buku:
Kearifan Manusia Dayak
            Berbicara tentang bumi Kalimantan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat yang mendiami Pulau Borneo ini, yakni masyarakat Suku Dayak. Suku Dayak adalah pribumi yang mendiami Pulau Kalimantan sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Sejarah mencatat nenek moyang Dayak berasal dari Daratan Cina yang bermigrasi secara besar-besaran. Gerakan migrasi ini sekitar tahun 3000-1500 sebelum masehi. Secara pasti catatan sejarah menyebutkan para imigran itu berasal dari Provinsi Yunan, Cina Selatan itu dalam kelompok-kelompok kecil. Para imigran gelombang pertama yang memasuki Kalimantan, adalah kelompok Negrid dan Weddid, atau lazim disebut Proto Melayu. Sedangkan migran gelombang kedua dalam jumlah yang lebih besar, disebut Deutro Melayu, yang kemudian menghuni wilayah pantai Kalimantan dan kini dikenal sebagi Suku Melayu. Kelompok Proto Melayu dan Deutro Melayu pada hakikatnya berasal dari negeri yang sama. Perbedaan yang ada, merupakan akibat dari akulturasi kedua belah pihak dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia, selain dipengaruhi pula dengan agama. Untuk itu muncul pula istilah Dayak dan Haloq (sebutan untuk suku lain yang beragama Islam), merupakan penegasan istilah yang yang bermakna sosio religius semata.
            Istilah “Dayak” sendiri rupanya sangat kompleks, dalam berbagai literatur terdapat keberagaman sebutan untuk penduduk asli Pulau Borneo ini. Di sini penulis hanya memberikan empat sebutan, yakni; Daya’, Dyak, Daya dan Dayak. Sebenarnya tidak ada kepastian yag jelas mengenai istilah Dayak untuk menyebut manusia yang mendiami Pulau Borneo, mereka lebih mengenal dirinya sendiri sebagai Iban, Ot Danum, Kenyah, Punan, Ngaju, Ma’anyan, Bahau, Dusun, Siang dan lainnya. Di mana sebutan-sebutan itu berdasarkan nama stammenras atau tempat tinggal dari masing-masing kelompok. Menurut staf peneliti dari Institute of Dayakology Research and Development (IDRD) Pontianak, keberagaman penyebutan itu merupakan indikasi tentang kekaburan sebuah identitas dari penghuni asli Pulau Kalimantan ini. Terlepas dari semuanya itu, yang jelas istilah Dayak merupakan nama kolektif untuk berbagai penduduk pribumi Kalimantan yang tidak memeluk agama Islam. 
            Falsafah hidup manusia Dayak yang menjadi akar dari eksistensi keberadaannya adalah falsafah hidup Rumah Panjang (Betang). Nilai hidup Rumah Betang menjadi hal yang mendasar bagi kehidupan manusia Dayak. Ciri khas Rumah Panjang adalah aspek komunal atau hidup bersama dari seluruh masyarakat Dayak dalam suatu wilayah atau daerah. Di semua masyarakarat Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan dapat dipastikan kehidupan Rumah Panjang, meskipun di zaman sekarang eksistensi Rumah Panjang perlahan-lahan tergerus oleh modernisasi. Cara hidup komunal turun-temurun pada masyarakat Dayak, terbukti mendukung proses pengukuhan tradisi kebersamaan, sebab cikal-bakal terbangunnya sebuah Rumah Panjang berpangkal dari satu keluarga. Kemudian beranak-pinak secara turun-temurun dan terus menerus menghuni rumah panjang. Secara alamiah masyarakat yang hidup dalam rumah panjang sulit terpisahkan, terutama oleh faktor adat, darah, kepercayaan dan mata pencaharian.
            Rumah panjang bagi masyarakat Dayak tidak saja menjadi ungkapan historis legendaris kehidupan leluhur melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan nyata tentang tata aturan adat, organisasi sosial dan sistem kemasyarakatan, sehingga menjadi titik sentral dinamika kehidupan warganya. Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia Dayak, makna pekerjaannya, karya, persepsi mengenai waktu dan hubungannya dengan alam tempat tinggal. Di sisi lain kehidupan di rumah panjang menjamin keberlangsungan hubungan-hubungan kekuasaan di kalangan masyarakat Dayak setempat.
            Satu hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia Dayak adalah berkaitan dengan relasinya dengan alam sekitar, dalam hal ini adalah hutan. Masyarakat Dayak menyatakan bahwa hutan adalah milik mereka yang paling berharga. Antara mereka dengan hutan telah terpadu sedemikian rupa dan menyejarah. Manusia Dayak terus berusaha menjaga dan mempertahankan ekosistem karena dari situlah mereka turun-temurun hidup sejak masa lalu, masa kini dan masa depan. Dari persentuhan yang mendalam masyarakat Dayak dengan hutan melahirkan sistem perladangan yang dinamakan sistem ladang berpindah. Ladang berpindah sebuah model kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya hutan yang bersumber pada hukum adat. Sistem ini menjadi salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak.
            Ibarat monyet yang tak terpisahkan dengan pohon dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, demikian pula Suku Dayak, mereka tak mungkin terpisahkan dengan hutan. Manusia Dayak menjadi gambaran atau teladan yang baik yang patut ditiru dalam usaha pelestarian lingkungan hidup. Masyarakat Dayak dapat dikatakan “pelestari tulen” dengan sistem ladang berpindah mereka berusaha memaksimalkan fungsi hutan dengan baik. Apabila suatu area hutan sudah dijadikan tempat berladang maka mereka tidak akan menggarap lagi area itu dalam jangka waktu yang relatif lama (kira-kira 10-20 tahun). Dengan demikian alam dibiarkan untuk memulihkan dirinya, ataupun oleh orang Dayak ditanami dengan pohon buah-buahan. Mereka mengambil tidak berlebihan dari apa yang diperlukan hari ini. Masyarakat Dayak sadar di mana semua keperluan sudah diberikan kepada mereka secara melimpah oleh Hatalla (Pencipta) melalui “Indu” (ibu bumi) untuk anak-anak (manusia). Pada hakikatnya Suku Dayak memiliki persepsi holistik terhadap hutan, bagi mereka hutan tidak semata bermakna ekonomis, melainkan juga sosio budaya-religius. Juga bukan hanya semata-mata berisi aneka ragam tetumbuhan dan hewan, melainkan mereka sendiri merupakan bagian hutan yang tak terpisahkan.
            Wawasan yang holistik ini membuat masyarakat Dayak tidak melakukan pemilahan antara manusia denga alam sekitarnya, malah keduanya memiliki “kekuatan dan kekuasaan” yang saling mendukung untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Alam pikiran seperti itulah dalam kehidupan sehari-hari terukir jelas dalam praktek tradisi dan upacara adat, termasuk pula dalam perilaku mereka dalam mengelola sumber daya hutan.  
           
Dilema Gejala Modernitas
            Suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa masyarakat Dayak saat ini telah “mewujud” sebagai kelompok kehidupn yang berada dalam proses perubahan. Kecenderungan masyarakat Dayak yang tertutup pada hal yang dari luar pada masa lampau, kini telah bergeser pada arah sikap terbuka atau tren untuk berubah. Mereka bukan lagi kokoh, sebagai masyarakat yang lebur menyatu dengan alam selaku kaum petani ladang yang berpegang teguh pada tradisi dan tata aturan adat. Mereka kini telah hadir sebagai masyarakat yang terbuka pada gejala modernitas. Gejala modernitas pada masyarakat Dayak secara langsung menyentuh pada transformasi budaya. Proses transformasi budaya pada suku Dayak kini sedang berlangsung. Modernisasi yang diwujudkan melalui kebijakan dan program pembangunan di berbagai aspek kehidupan. Proses transformasi budaya ini akan memunculkan dua kemungkinan. Pertama, masyarakat Dayak akan menemukan identitas kebudayaanya yang baru. Kedua, justru sebaliknya suku Dayak akan kehilangan identitas ke-dayak-kannya. Kebudayaan Dayak pada hakekatnya ditandai dengan perwujudan kebudayaan material dan spiritual, terbukti adanya keterpaduan yang erat, antara sikap religius dan sikap sosial. Hal inilah yang menumbuhkan solidaritas guna menjaga keutuhan dan keharmonisan komunitas dari sub-sub etnis Dayak.
            Namun, dalam konsep pembangunan berwawasan kebudayaan, tatanan hidup dan perilaku bermuara dari kebudayaan Dayak perlu diadakan perubahan. Pembaruan budaya adalah sarana menuju semuanya itu. Dengan kata lain, proses transformasi budaya akan membawa perubahan pada masyarakat Dayak. Malahan perubahan itu tak terelakkan. Dewasa ini. kebudayaan Dayak sudah go public. Hal itu dimungkinkan karena pemilik kebudayaan, yakni manusia Dayak telah bersinggungan langsung dengan kebudayaan dan nilai-nilai dari luar. Dalam proses pertemuan antar budaya tersebut, terdapat suatu fenomena yang menarik. Manusia Dayak mengalami culture shock yang membawa mereka terperosok dalam kubangan modernitas, dengan kata lain masuk ke dalam kebudayaan tiruan.
            Kebudayaan tiruan itu, bila tidak disensor justru akan menyesatkan. Karena perubahan yang diharapkan menghasilkan buah yang matang, suatu saat bisa menjadi bumerang. Pada gilirannya akan memudarkan identitas kebudayaan Dayak itu sendiri. Proses humanisasi manusia justrus berujung pada dehumanisasi manusia. Perlahan-lahan setiap nilai dari kearifan budaya kian tergerus. Manusia Dayak sebenarnya belum siap mengalami modernisasi, mereka melewati loncatan yang begitu jauh dari apa yang mereka harus jalani. Peralihan dari masyarakat tradisional yang basis hidupnya tergantung pada alam menuju masyarakat modern berorientasi teknologi-industri. Gejala seperti ini dapat dilihat dari peralihan kehidupan masyarakat ladang menuju ke kehidupan masyarakat pasca-ladang.
            Kehidupan masyarakat pasca-ladang merupakan suatu kehidupan yang ditata secara rasional dan efisien. Nilai yang dijunjung pada masyarakat pasca-ladang adalah sains dan teknologi yang menjadi wujud dari aspek rasionalitas dan efisiensi. Dengan demikian tuntutannya adalah perubahan cara berpikir masyarakat ladang yang bersifat holistik-intuitif. Berkenaan dengan nilai sosial, modernitas kehidupan masyarakat pasca-ladang, mendasarkan pembagian kerja menurut keahlian yang diwujudkan dalam prestasi kerja. Sistem generalisasi dalam masyarakat tradisional, untuk itu dituntut berubah ke arah tenaga kerja yang berorientasi pada status, bergeser ke arah prestasi kerja. permasalahan ini mengisyaratkan kompetensi hidup yang selektif. Semenrata itu, masyarakat Dayak senantiasa tertatih-tatih dan kalah dalam “perebutan” untuk hidup. Dalam konteks perekrutan tenaga kerja pada bidang industri, masyarakat Dayak tersisihkan. Mereka hanya sebatas dibutuhkan sebagai pekerja kasar, setelah semua produksi dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan produk yang baik, kemudian mereka ditendang. Modernisasi berkedok industrialisasi telah memperalat manusia Dayak untuk terperosok dalam kubangan lumpur marginalisasi kehidupan sosial masyarakat pasca-ladang.

Dayak dalam Pusaran Peradaban Modernisasi
            Modernisasi memang sudah menjalar ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Dayak. Ibarat kaki yang berdiri di dua perahu, satu kaki kanan berdiri di atas perahu yang satu dan kaki kiri berdiri di atas perahu yang lain, begitulah keadaan manusia Dayak sekarang. Mereka mengalami kebingungan mana yang harus dipilih dan disisih. Memilih modernisasi berarti harus masuk ke dalam lingkup masyarakat yang hanya berorientasi pada keuntungan materi belaka. Atau tetap bertahan dalam pola hidup yang lama yaitu pola masyarakat tradisional, di mana masyarakat sangat menjunjung aspek hidup komunal, saling bahu-membahu satu dengan yang lain. Dengan kata lain kehidupan masyarakat tradisional berciri komunal yaitu “sama rata sama rasa, bahagia bersama menderita juga bersama”. Namun di sisi lain ketika manusia Dayak masih mempertahankan pola hidup yang lama, mereka akan dianggap kolot, primitif, ketinggalan zaman bahkan mungkin dianggap belum beradab atau biadab. Itulah segala macam pelabelan atau cap-cap yang diberikan masyarakat yang menamakan dirinya masyarakat modern terhadap masyarakat tradisional. Sebenarnya tanpa disadari manusia Dayak dipaksa untuk masuk ke dalam pusaran modernisasi, bukan oleh siapa-siapa tapi oleh pemerintah sendiri dengan berlandaskan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebenarnya membikin masyarakatnya sendiri semakin menderita. Pemerintah kerap membuat keputusan sepihak tanpa berusaha mensosialisasikan kepada masyarakat terlebih dulu. Apakah setiap program dan kebijakan yang dikeluarkan betul-betul sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat atau malah sebaliknya, setiap kebijakan itu tidak tepat sasaran.
            Ditambah lagi masyarakat Dayak terombang-ambing dalam gelombang peradaban. Pergeseran paradigma identitas diri manusia Dayak telah berlangsung. Nilai-nilai lokal yang begitu berakar dalam seluruh eksistensi manusia Dayak perlahan-lahan memudar. Generasi Dayak sekarang banyak yang tidak lagi memikirkan identitas ke-dayak-kannya, mereka merasa tidak perlu untuk mempertahankan identitasnya. Hal ini ditandai dengan sesuatu yang sangat sederhana, yaitu bahasa. Banyak orang-orang muda Dayak seperti merasa malu menggunakan bahasa ibu (daerah) mereka, secara umum bahasa Dayak. Mereka takut dianggap tidak modern atau kelihatan ketinggalan zaman (kuno) di hadapan teman-teman sebaya mereka. Mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan bahkan dicampur keinggris-inggrisan yang jelas bukan produk budaya lokal. Fenomena seperti itu ikut menggerus nilai-nilai kearifan budaya Dayak. Manusia Dayak menuju kepada suatu terma universalisme. Suatu sikap yang menghendaki tidak perlu lagi ada nilai-nilai atau budaya-budaya lokal yang menonjol tetapi semua nilai atau budaya lokal itu harus masuk pada suatu wadah yang disebut universalitas budaya. Hal itu dimungkinkan karena kebudayaan Dayak tidak hanya go public dalam skala nasional, tapi juga telah go international. Itulah sebabnya dalam masyarakat modern, persinggungan ragam kebudayaam atau disebut tranformasi budaya amat dimungkinkan untuk tertajdi. Era globalisasi telah menggelindingkan “bola” universalisme kebudayaan. Persoalannya adalah belum ditemukan srategi kebudayaan yang mampu menggabungkan kemanusiaan universal dengan karateristik kebudayaan tertentu, dalam hal ini kebudayaan Dayak, sehingga manusia Dayak tetap mempertahankan serta mewujudkan identitas ke-dayak-kannya. Fenomena yang kerap muncul saat ini adalah, adanya kecenderungan hanya satu atau dua kebudayaan tertentu yang dominan “superculture” di atas panggung universalisme budaya, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Persoalan inilah yang membuat kian peliknya proses transformasi pada masyarakat Dayak.
            Hidup di dalam era peradaban modern segala hal diukur dalam keuntungan materi. Jelasnya segala sesuatu diukur dengan uang. Dalam peradaban manusia Dayak hal ini pun terjadi. Bahkan masuk dalam ranah religi, sistem religi dijadikan komoditas industri wisata. Sistem religi bagi masyarakat Dayak, selain dasar dan norma tingkah laku, juga memberi sumbangan yang besar terhadap lahirnya sejumlah adat sebagai manifestasi eksistensi mereka. Namun, saat ini apa yang disebut di atas kian pudar dan lumpuh, tatkala sistem religi ini telah “dijual” sebagai komoditas industri wisata. Kebudayaan yang sebenarnya mengandung nilai-nilai spritual yang sakral sekarang dijual hanya untuk mendapatkan uang. Alasannya sangat masuk akal dan indah bahwa nilai-nilai religius dijadikan komoditas industri pariwisata adalah untuk menjaga kelestariannya. Tak pelak. Hal itu juga salah satu faktor penyebab kian melemahnya kelembagaan adat. Tentu saja juga berpengaruh pada kehidupan budaya, di mana mereka tidak lagi menjadi pemilik budaya leluhur, melainkan menjadi pedagang sekaligus “buruh” yang dikendalikan oleh kepentingan pihak luar berbungkuskan pengembangan industri wisata. Sesungguhnya masyarakat Dayak mengenal siklus waktu tertentu, sebagai aturan yang menetapkan kapan boleh dan tidaknya suatu adat dilaksanakan. Juga adanya aturan tabu bagi adat tertentu yang terlarang untuk konsumsi umum. Aturan-aturan tersebut tentu mendapat sanksi adat bila dilanggar. Namun, realita yang terjadi segala pantangan dan larangan yang ditetapkan leluhur (atau lembaga adat) tidak berlaku lagi di zaman sekarang ini. Alhasil, nyaris tidak adanya “filter” sehingga semua bentuk adat boleh dilakukan demi kepentingan industri wisata. Setiap orang diam menutup mulut melihat realitas seperti ini dan menganggap hal itu semua wajar karena orang Dayak sudah hidup di zaman modern, itulah konsekuensinya dan sekaligus menguntungkan.
            Fenomena seperti yang dijelaskan di atas juga berimbas pula dalam komunitas kehidupan rumah panjang. Komunitas kehidupan rumah panjang sebagai pusat kebudayaan Dayak, sesungguhnya kini tinggal tinggal menjadi kisah memori legendaris kejayaan masa silam. Sisa-sisa peradaban rumah panjang yang masih ada di beberapa desa di Kalimantan, hakikatnya hanya merupakan fisik rumah tinggal yang telah kehilangan “roh” dinamika kehidupan masyarakat adat Dayak. Ironisnya rumah panjang juga telah dijual sebagai obyek wisata. Kehancuran kehidupan komunitas rumah panjang juga merupakan faktor melemahnya kelembagaan adat. Pergeseran dari rumah panjang ke rumah tunggal, tentu menyebabkan bergesernya dinamika kelembagaan adat dalam praktek kehidupan sehari-hari. Sebagai penutup penulis memberikan contoh konkret. Bergesernya budaya lisan ke budaya tulis. Dulu untuk pertemuan adat cukup dengan dengan membunyikan gong saja warga pasti kumpul, kini diperlukan undangan tertulis yang resmi dan mesti ditandatangani, itupun yang datang hanya beberapa saja. Memang paradigma telah berubah maka pola perilaku juga berubah. Inilah tantangan manusia Dayak. Apakah manusia Dayak sudah siap menatap hari esok? Jawabannya hanya bisa dijawab oleh manusia Dayak sendiri, terkhusus generasi mudanya karena di tangan merekalah identitas ke-dayak-an perlu dijaga. 

KOMENTAR
Kelebihan Buku:
·         Materi yang disajikan berkaitan erat dengan realita kehidupan, terutama kehidupan manusia-manusia Dayak yang hidup dalam peradaban modern ini.
·         Adanya suatu analisa yang sangat berkaitan dengan fakta di lapangan, bukan untaian kata-kata yang tanpa makna.
·         Cover buku sangat berkaitan atau sesuai dari keseluruhan isi buku, yang menggambarkan wajah manusia Dayak seperti bingung di terpa badai peradaban modern.
·         Referensi buku yang sangat kuat, tetapi saya melihat penulis tidak terlalu terpaku pada referensi karena menurutnya pengamatan dan konteks lapangan yang penting.
Kelemahan Buku:
  • Bahasa yang digunakan dalam buku ini cukup berat dan sulit dipahami. Buku ini terkhusus untuk kaum intelektual, pecinta alam, aktivis sosial kemasyarakatan dan pemerhati budaya. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat biasa yang ingin membaca buku ini sebagai sebuah refleksi fenomena realitas masyarakat Dayak dalam menghadapi zaman. Maka dari itu alangkah baiknya kalau bahasa dalam buku ini ditampilkan secara sederhana agar dapat dimengerti oleh semua kalangan.
Penilaian Buku
            Penilaian saya terhadap buku Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok ini sangat baik. Buku ini sangat jelas dalam memberi gambaran atau menjelaskan kepada saya bagaimana masyarakat Dayak terperangkap dalam peradaban modernitas dan bagaimana mereka berusaha dari perangkap itu. Terlebih karena saya adalah anak Dayak. Sebagai generasi muda Dayak saya sangat prihatin dan terpanggil untuk memajukan suku saya. Saya tidak mau manusia-manusia Dayak selalu terkungkung di dalam ketidakpastian hidup. Manusia Dayak harus bangkit dari ketertinggalan itu tanpa harus meninggalkan nilai-nilai kearifan lokalnya. Manusia Dayak harus senantiasa menghidupi nilai-nilai luhur warisan nenek moyang, karena hanya dengan begitulah eksistensi ke-dayak-kan manusia Dayak akan selalu hidup tak lekang oleh waktu.
            Buku ini sejatinya dapat dan sangat perlu oleh semua kalangan masyarakat, terlepas dari bahasanya yang sangat berat. Masih sangat aktual dalam kehidupan terkait masalah gejala modenitas dan dampaknya, yang sebenarnya tidak hanya dialami masyarakat Dayak tetapi seluruh masyarakat adat di seluruh Nusantara ini. Maka sangat cocok sebagai bahan bacaan, refleksi, dan referensi yang baik dan pembelajaran. Kalau dapat diberi penilaian dari angka 1-10, maka saya memberi angka 9.
           


           


Hakekat Kematian Manusia Dayak Ngaju dalam Upacara Tiwah



Makna Kematian dalam Upacara Tiwah pada Suku Dayak Ngaju
I.     Pengantar
            Filosof Martin Heidegger pernah mengatakan bahwa manusia mengalami “keterlemparan” dalam dunia. Keterlemparan artinya bahwa manusia tidak dapat memilih dan menentukan hidupnya di dunia. Ia harus menerima kenyataan eksistensi hidupnya dalam dunia. Salah satu hal yang tidak bisa manusia hindarkan adalah kematian. Kematian suatu kenyataan manusiawi yang harus manusia hadapi dan terima dalam sejarah perjalanan hidupnya. Kematian kenyataan yang tidak dapat dihindari.
            Kematian bagi sebagian orang adalah sebuah kenyataan yang menakutkan. Namun tidak sedikit juga beberapa orang atau kelompok menganggap kematian bukanlah sebuah peristiwa yang biasa. Bagi mereke kematian mengungkapkan suatu makna tertentu tentang relasinya dengan Sang Khalik. Sejarahwan Perancis, Philipe Aries menggambarkan tiga pemaknaan tentang kematian.[1] Pertama, kematian hanya sebuah peristiwa hidup biasa yang dialami setiap mahluk yang bernapas. Kedua, kematian adalah sebuah peristiwa sederhana, karena berlangsung dengan cara yang sama. Ketiga, kematian berlangsung dalam konteks sosial. Pada konteks yang ketiga inilah penulis hendak membahas makna kematian dalam konteks sosial masyarakat suku Dayak Ngaju.
            Dalam beberapa kebudayaan kematian bukanlah perkara yang sepele, yang pasti menimpa setiap manusia. Kematian mempunyai makna yang mendalam. Bahkan bagi sebagian orang kematian hewan peliharaan kesayangannya pun menjadi begitu sangat menyedihkan dan menyakitkan, apalagi dalam konteks ini adalah kematian manusia. Dalam budaya tertentu kematian menampilkan sisi religiositas. Mereka berkeyakinan bahwa kematian bukanlah peristiwa biasa namun sebuah peralihan hidup dari dunia fana menuju dunia yang kekal. Pada suku Dayak Ngaju kematian mempunyai nilai yang sakral, yaitu ketika mengalami kematian  roh manusia yang mati akan beralih menuju ke Lewu Tatau (dapat diartikan surga). Namun peralihan itu tidak serta-merta beralih begitu saja, tetapi harus diadakan suatu upacara yang besar untuk mengantar Selumpuk Liau (roh orang yang meninggal) ke negeri para arwah yaitu Lewu Tatau tadi. Upacara itu disebut Upacara Tiwah. Maka tulisan ini akan membahas makna kematian pada suku Dayak Ngaju, relasi manusia dengan alam dan Tuhan dan nilai-nilai budaya yang bisa dipetik dalam Upacara Tiwah tersebut.         
II.  Suku Dayak Ngaju
            Suku Dayak Ngaju merupakan satu dari sekian ratusan suku dayak yang mendiami bumi Kalimantan. Suku Dayak Ngaju adalah mayoritas suku yang mendiami Provinsi Kalimantan Tengah. Sebenarnya Suku Dayak Ngaju dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub-suku yang mendiami enam sungai besar yaitu; Sungai Seruyan, Katingan, Kahayan, Mentaya Kapuas dan Sebangau.[2] Masyarakat Dayak Ngaju dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua macam yaitu bahasa Sangiang (bahasa kuno atau kerajaan) dan bahasa Kahayan (bahasa sehari-hari). Bahasa Sangiang digunakan oleh orang-orang tua zaman dahulu dan agak rumit. Bahasa ini sudah hampir hilang dan banyak generasi muda Dayak Ngaju yang tidak bisa lagi berbahasa Sangiang. Mereka cenderung menggunakan bahasa Kahayan yang tidak rumit dan banyak dipakai dalam masyarakat luas, sebagai bahasa sehari-hari.
            Dari akar katanya dalam bahasa Sangiang “Ngaju” berarti hulu atau hulu sungai. Kalau diartikan secara harafiah orang-orang Dayak Ngaju adalah orang-orang yang tinggal di hulu sungai (pedalaman). Maka tidak heran sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal di hulu-hulu sungai yang penulis sebutkan di atas.  
III.   Makna Kematian Pada Suku Dayak Ngaju
            Konsep kematian pada suku Dayak Ngaju tidak bisa dilepaskan dari mite Penciptaan Batang Garing.[3] Di mana diceritakan Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Kuasa) menciptakan Batang Garing (Pohon Kehidupan). Pohon ini berbuahkan emas, permata, intan dan berlian, yang kemudian dimakan oleh burung Tingang Rangga Bapantung Nyahu. Melihat hal tersebut Hatalla melepaskan burung tingang jantan peliharaannya bernama Tembarirang Bapantan Langit, yang juga hinggap dan memakan buah Batang Garing tersebut. Hal ini menimbulkan kecemburuan, sehingga terjadilah perkelahian di antara keduanya. Perkelahian tersebut mengakibatkan Batang Garing hancur lebur, kehancuran batang Garing ini menciptakan alam semesta segala isinya. Dari kehancuran itu pula melahirkan sepasang insan awali, dua manusia pertama. Sang wanita bernama Putir Kahukum Bangking Garing (Puteri dari Kepingan Gading) dan sang pria bernama Manyamei Limut Garing Balua Unggon Tingang (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh Tingang). Keduanya sepakat untuk menikah dan mendapatkan keturunan pertama, berupa segala macam binatang. Selanjutnya lahirlah keturunan manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno.
·         Maharaja Sangiang adalah leluhur para sangiang (dewa)
·         Maharaja Sangen adalah leluhur para pahlawan
·         Maharaja Buno adalah leluhur manusia yang mendiami bumi ini.
Ranying Hatalla Langit menurunkan Maharaja Buno ke Pantai Danum Kalunen (dunia) dengan Palangka Bulau, inilah yang diyakini sebagai nenek moyang suku Dayak Ngaju. Sedangkan kedua saudaranya yang lain tinggal di negeri Pantai Tasik Riak Bulau di langit ketiga.[4] Sebab orang Dayak Ngaju meyakini bahwa langit terdiri dari 7 tingkat di mana Ranying Hatalla di langit ketujuh bertahta dengan segala kuasanya. Sedangkan lapisan langit terbawah adalah dunia tempat manusia fana hidup.  Sebelum menurunkan Maharaja Buno, Ranying Mahatalla memberitahukan kepadanya bahwa untuk bisa berkumpul lagi dengan kedua saudaranya, ia harus mengadakan upacara Tiwah. Upacara Tiwah itu sebagai sarana agar roh manusia yang telah meninggal dapat berkumpul lagi dengan kaum kerabatnya yang lebih dulu meninggal.  
Bagi masyarakat Dayak Ngaju kematian bukanlah akhir dari segalanya, kematian adalah sebuah “gerbang” untuk menuju kepada kehidupan yang lebih sempurna yaitu Lewu Tatau. Mereka meyakini Lewu Tatau adalah tempat atau kondisi yang selalu dirindukan manusia setelah kematiannya. Ketika roh orang yang telah meninggal sampai ke Lewu Tatau mereka akan merasakan kebahagiaan abadi. Di mana tidak ada lagi penderitaan, tangisan, duka dan kesakitan seperti yang manusia rasakan selama hidup di dunia fana ini. Lewu Tatau adalah kebahagiaan kekal, di sini Lewu Tatau dapat diartikan sebagai surga. Memang dalam keyakinan orang Dayak Ngaju yang bersumber dari Hindu Kaharingan, tidak ditemukan konsep tentang neraka. Lalu bagaimana nasib orang selama hidupnya selalu berbuat kejahatan? Menurut keyakinan mereka orang jahat tidak akan pernah masuk ke Lewu Tatau, tapi arwah mereka akan terus “bergentayangan” mengembara di dunia ini. Arwah-arwah jahat inilah yang mengganggu manusia yang masih hidup atau dikenal dengan istilah kambe (hantu).[5] Bagi orang Dayak Ngaju Arah dan tujuan hidup manusia tidak hanya tertuju di dunia fana ini, tetapi manusia harus juga mengarahkan pandangannya ke dunia atas, tempat di mana Ranying Mahatalla Langit berkuasa. Namun di sisi lain pula dengan keberadaan Jata Balawang Bulau sebagai penguasa dunia bawah (yang adalah bayang-bayang dari Ranying Mahatalla sendiri) maka manusia perlu memperhatikan juga kebutuhan untuk hidup di dunia ini. Dengan kata lain dua kebutuhan itu merupakan hal sangat mendasar dan perlu adanya keseimbangan. Sebab dalam pandangan orang Dayak Ngaju kehidupan di dunia akan berpengaruh besar pada kehidupan selanjutnya yaitu di Lewu Tatau. Hidup manusia bersumber dari dan akan kembali kepada Yang Di Atas, Sang Pemberi Kehidupan.
Roh dalam keyakinan orang Dayak Ngaju ada dua macam yaitu; roh baik yang senantiasa memberi bantuan, rejeki dan segala hal yang baik kepada manusia. Sedangkan roh jahat yang selalu mengganggu manusia, dalam rupa sakit penyakit, kesialan, kecelakaan, musibah, sampar dan hal-hal yang tidak baik lainnya. Setiap mengadakan ritual atau upacara, selalu diberikan dua sesajian yang satunya untuk roh baik sebagai ungkapan terima kasih, dan sesajian yang lain untuk roh jahat maksudnya agar tidak menganggu manusia. Roh-roh tersebut sebenarnya adalah para Sangiang anak-anak dari Maharaja Sangiang dan tidak terlihat oleh mata jasmani. Para Sangiang dipercaya oleh Ranying Hatalla untuk menguasai daerah, tempat, barang, fenomena alam, kejadian dan hal-hal tertentu yang ada di dunia ini.[6] Contohnya:
·         Rajan Matan Andau, Penguasa Matahari
·         Rajan Selong Tamanan, Penguasa Padi
·         Nyaru Menteng, Penguasa Halilintar
·         Rajan Pali, Penguasa Pantangan
·         Rajan Peres, Penguasa Penyakit
·         Masih banyak lagi yang lain.
Maka, tidaklah mengherankan apabila orang Dayak Ngaju memberi sesajian di tempat-tempat yang dianggap keramat atau sakral. Mereka meyakini di tempat-tempat itu ada roh-roh yang menguasainya dan roh-roh itu sangat mempengaruhi hidup mereka. Hal ini bukan berarti mereka menyembahnya tetapi sebagai suatu penghormatan, ungkapan terima kasih atau mohon agar tidak diganggu. 
IV.   Upacara Tiwah

            Upacara Tiwah adalah upacara kematian terakhir dan terbesar menurut kepercayaan agama Kaharingan. Upacara ini dalam bahasa Dayak Ngaju disebut Tiwah Lale, Magah Salumpuk Liau Uluh Matei, kurang lebihnya upacara yang dilakukan untuk mengantar arwah atau roh orang yang meninggal dunia menuju Lewu Tatau Habaras Bulau Intan Hakarangan Lamiang Dia Bakarumpang Tulang (negeri yang kaya raya berpasirkan emas, berkerikilkan intan dan merjan, di mana tulang-tulang tidak mengalami kerapuhan) yang letaknya di langit ke tujuh.[7] Menurut kepercayaan Kaharingan arwah atau roh orang meninggal tidak dapat sampai dan memasuki Lewu Tatau apabila belum dilaksanakan upacara Tiwah. Hal ini terasa menjadi beban bagi keluarga yang ditinggalkan.
            Upacara Tiwah merupakan pesta yaang besar, dan juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Dalam penyelengaraannya berkumpul beberapa keluarga dalam satu desa, dan bahkan mungkin diikuti juga keluarga-keluarga dari desa lain. Dengan cara demikian beban biaya dirasa ringan karena ditanggung secara bersama-sama. Terkadang yang ditiwahkan tidak hanya satu orang saja, tetapi juga beberapa orang dan bahkan puluhan orang yang telah meninggal. Upacara ini tidak menuntut untuk segera diselenggarakan, pesta dapat diselenggarakan bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun setelah orang yang akan ditiwahkan meninggal. Tergantung dari kesiapan tenaga dan biaya dari keluarga yang menyelenggarkan pesta Tiwah tersebut. Karena Tiwah suatu upacara kematian sakral terbesar dibentuk suatu panitia dan ditunjuk seorang Bakas Tiwah (ketua tiwah) dengan mempertimbangkan kemapuan sosial ekonomi dan kecakapannya dalam mengatur upacara. Selain itu, dipersiapkan juga segala hal yang diperlukan untuk pelaksanaan pesta ini,[8] seperti:
1)      Mendirikan Balai Tiwah: tempat untuk melakasanakan pesta Tiwah
2)      Muluh Gandang, yaitu menyiapkan alat-alat bunyian Tiwah seperti gong, gendang, kangkanong, garantung, dll
3)      Mendirikan Sangkaraya, tempat penyimpanan tengkorak orang yang akan ditiwahkan dan tengkorak manusia hasil mengayau[9]
4)      Mendirikan Sapundu, patung yang menyimbolkan orang ditiwahkan, uniknya bila yang ditiwahkan perempuan maka patungnya berbentuk laki-laki juga sebaliknya. Dan tempat mengikat binatang korban (biasanya sapi atau kerbau)
5)      Menyiapkan binatang korban, kerbau, sapi, babi dan ayam sesuai dengan banyaknya masyarakat  yang datang menghadiri pesta ini. Tidak hanya dari satu kampung, tapi dari berpuluh-puluh kampung tetangga. Maka tidak heran orang yang hadir bisa mencapai ribuan.
6)       Dan hal-hal kecil lainnya.
            Setelah semua musyawarah, persiapan dan perlengkapan yang berkaitan dengan Tiwah, termasuk hari dan tanggal pelaksanaan upacara Tiwah (yang biasanya ditentukan lewat mimpi atau minta petunjuk dari para Sangiang) telah selesai dan matang. Maka, upacara Tiwah siap diselenggarakan.
V.  Tata Cara-Laksana Upacara Tiwah
            Pesta Tiwah umumnya dilaksanakan selama 3-7 hari, terkadang juga selama 30 hari untuk kepala suku, temanggung, raja dan orang-orang yang dihormati pada masyarakat adat Dayak. Adapun pesta Tiwah dapat dibagi menjadi 3 bagian[10], yaitu:
1)      Langkah persiapan (yang telah dijelaskan di atas)
2)      Pelaksanaan acara pokok
3)      Pelaksanaan Balaku Untung atau permintaan doa.
V.i. Acara Pokok
1.      Hari pertama
Upacara diawali dengan mendirikan sebuah Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai atau rumah dalam waktu satu hari. Syarat yang harus dipenuhi yaitu membunuh seekor babi yang harus dilakukan sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau dibangun, Bakas Tiwah melakukan Pasar Sabalulu yaitu memberikan tanda barang-barang yang akan digunakan dalam upacara Tiwah dan menyediakan daun Silar yang nantinya akan digunakan untuk memerciki Balai Pangan Jandau dengan darah babi yang telah dibunuh tadi.
2.      Hari kedua
Hari kedua mendirikan Sangkaraya yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk menyimpan tulang-belulang Salumpuk Liau (orang meninggal yang ditiwahkan). Lalu seekor babi dibunuh dan darahnya untuk memalas (memberkati) Sangkaraya. Di sekitar Sangkaraya dipasang bambu yang diikat dengan kain-kain putih dan bendera kuning panjang disebut bendera Ngambang Kabanteran. Di samping Sangkaraya didrikan juga Sapundu, tiang yang berbentuk manusia digunakan untuk mengikat hewan korban berupa kerbau atau sapi.
Pada hari kedua ini pula mulai dimainkan alat-alat musik yang telah diperciki dengan darah babi. Seorang penawur mulai melaksanakan tugasnya untuk menghubungi Selumpuk Liau yang akan disertakan dalam upacara Tiwah tersebut, sekaligus mengundang para Sangiang untuk hadir dalam upacara itu. Sedangkan para pelaksana Tiwah, terdiri dari Balian, Basir, Tukang Hanteran, Bakas Tiwah, Anak Tiwah dan tetua adat dengan berbusana adat. Kecuali bakas tiwah dan salah satu anak tiwah berbusana perang dengan membawa mandau dan tombak di tangan. Orang-orang tersebut menganjan (menari) mengelilingi Sangkaraya dan sandung sebanyak tujuh kali menyambut kehadiran para Sangiang bersama mereka untuk mengantarkan selumpuk liau ke Lewu Tatau.
3.      Hari ketiga
Hari ketiga hewan-hewan kurban terutama sapi atau kerbau diikatkan di tiang Sapundu, kemudian tarian menganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi Sangkaraya. Semua alat musik dibunyikan dan diringi dengan pekik kegembiraan. Suasana menjadi riuh-gembira. Kemudian beras merah dan beras kuning ditaburkan ke empat penjuru mata angin. Setelah menganjan selesai, dilanjutkan dengan pembunuhan binatang korban yang harus dilakukan oleh Bakas Tiwah dan Anak Tiwah dengan cara menikamnya dengan tombak. Darah binatang dibunh tadi dikumpulkan pada sebuah balanga (guci) yang digunakan untuk membasuh kotoran. Orang Dayak meyakini bahwa darah binatang yang dikurbankan adalah darah Rawing Tempun Telun yang telah disucikan oleh Hatalla.
Kemudian darah itu juga digunakan untuk manyaki-memalas semua orang yang berada dalam kampung tersebut dan semua peralatan yang digunakan yang dipakai dalam upacara Tiwah itu. Caranya darah binatang kurban dicampur beras lalu dilemparkan ke segala penjuru. Dengan demikian, diharapkan semua jadi baik, jauh dari segala penyakit, berumur panjang dan banyak rejeki.
4.      Hari keempat
Pada hari keempat ini diyakini bahwa selumpuk liau juga turut hadir dalam pesta Tiwah tersebut, walaupun kehadirannya tidak terlihat mata jasmani. Di dekat Sangkaraya didirikan satu lagi tiang panjang disebut Tihang Mandera. Kegunaan tiang ini sebagai tanda pemberitahuan kepada siapapun yang datang ke kampung itu bahwa sedang ada pelaksanaan pesta Tiwah, berarti kampung tersebut tertutup bagi lalu lintas umum istilahnya pali (pantang). Orang yang tidak menaati akibatnya akan terkena penyakit atau kecelakaan. Maka, orang-orang yang hadir dalam pesta Tiwah ini harus disaki-dipalas terlebih dahulu.
Kemudian seorang penawur duduk di atas gong untuk berkomunikasi dengan para Sangiang. Pertama-tama penaawur berkomunikasi dengan semua orang yang telah meninggal untuk memberitahukan mereka akan segera diantar oleh para Sangiang ke Lewu Tatau. Kemudian penawur berkomunikasi dengan para Sangiang agar mengantarkan selumpuk liau ke Lewu Tatau dan sekaligus memohon perlindungan bagi kerabat-keluarga selumpuk liau agar dijauhkan dari segala sakit-penyakit selama pelaksanaan upacara Tiwah.
5.       Hari kelima
Hari kelima acara dilanjutkan dengan manambang laluhan. Laluhan adalah sebuah rakit besar yang dibuat dari beberapa perahu yang dirakit menjadi satu dan dihias dengan bambu hias serta bendera besar dan kecil. Kegiatan ini memberi bantuan berupa beras, sapi, babi, kerbau dan sebagainya. Kegiatan memberi bantuan inilah yang disebut dengan “Magah Laluhan”.[11] Laluhan biasanya diiringi oleh perahu-perahu kecil, sebelum singgah laluhan berputar-putar sebanyak tujuh kali di tengah sungai, lalu merapat ke tepian. Laluhan disambut oleh Bakas Tiwah dan dilaksanaan upacara potong pantan. Setelah itu mereka berkumpul dekat sangkaraya untuk menghitung jumlah bantuan tersebut. Lalu dilanjutkan dengan pembunuhan hewan-hewan kurban. Pertama-tama hewan-hewan itu diikat pada sapundu, lalu beberapa orang menganjan mengelilingi sapundu sebanyak tujuh kali, dan hewan kurban ditikam menggunakan tombak. Hewan-hewan kurban itu dimasak untuk memberi makan semua orang yang hadir dalam pesta Tiwah itu.
6.      Hari keenam
Pada hari keenam ini diyakini bahwa selumpuk liau telah sampai di Lewu Tatau, di kolong langit ketujuh tempat Ranying Mahatalla Langit berkuasa. Hal ini diketahui dari petunjuk mimpi dari kerabat-keluarga yang ditiwahkan. Upacara ini dinamakan Munduk Hanteran Magah Liau merupakan upacara puncak dalam pesta Tiwah. Yaitu, sebentuk ucapan syukur dan terima kasih kepada para Sangiang karena telah bersedia mengantarkan para selumpuk liau ke Lewu Tatau, secara khusus ucapan terima kasih disampaikan kepada Mahatalla atas ketersediaan-Nya menerima salumpuk liau untuk tinggal di sisi-Nya. Ucapan syukur berbentuk sesajian yang diberikan untuk para Sangiang. Pada hari ini juga diadakan pesta besar yaitu dengan makan-makan, minum-minum dan bergembira ria sebab selumpuk liau sudah berbahagia di Lewu Tatau.
V.ii. Balian Balaku Untung
7.      Hari ketujuh
Hari ini adalah hari terakhir dari pelaksanaan pesta Tiwah yang dinamakan Balian Baluku Untung. Kegiatan ini dilakukan sebagai rasa syukur atas keberhasilan melaksanakan pesta Tiwah yang menelan biaya besar dan membutuhkan waktu yang lama. Melalui acara ini semua anggota pelaksana Tiwah memohon kepada Ranying Mahatalla Langit agar selalu diberi rejeki yang berlimpah, terhidar dari bencana, sakit-penyakit dan diberi umur yang panjang.
Setelah semuanya selesai sebagian dari anggota tiwah mengantarkan para rohaniwan (basir, balian, penawur, tukang hanteran) dan tetua adat yang terlibat dalam pesta Tiwah serta diberi imbalan sebagai ucapan terima kasih kembali ke tempat masing-masing. Dengan demikian rangkaian upacara pesta Tiwah sudah selesai.
  
VI.    Nilai Budaya
Dalam tata pelaksanaan upacara Tiwah dapat ditemukan beberapa nilai kebijaksanaan hidup manusia Dayak Ngaju. Nilai-nilai itulah yang dipraktekkan dalam seluruh tata pergaulan dan relasi mereka dengan sesama, alam dan Tuhan Yang Mahakuasa. Adapun nilai-nilai tersebut adalah:
1.      Dari segi sosial budaya:
·         Sikap hidup religius dan keyakinan yang tinggi kepada Ranying Hatalla Langit, menajdi dasar motivasi penyelenggaraan seluruh rangkaian upacara Tiwah
·         Orang Dayak Ngaju sangat memperhatikan kewajiban dan kebutuhan antara yang duniawi maupun yang ilahi.
·         Hidup pada hakekatnya menurut manusia Dayak Ngaju adalah dinamis, terlebih perjuangan untuk mencapai kesejahteraan dan juga perjuangan melakukan perbuatan baik secara moral
·         Suatu kewajiban menghormati kepercayaan leluhur
·         Adanya sikap terbuka untuk peran serta pihak luar
·         Tertib hukum dalam hubungan sosial dan tata cara keagamaan
·         Sikap mencintai dan hormat tinggi terhadap alam sekitar
2.      Dari segi sosial-ekonomi
·      Solidaritas dan kerja sama dalam membiayai dan melaksanakan pada suatu acara
·      Penerapan sistem anggaran belanja berimbang dengan sumbangan yang sesuai dengan kemampuan tenaga ataupun dana.
·      Mendorong munculnya pasar musiman dan membuka peluang obyek wisata.






[1] K.Bertens, Keprihatinan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm 120.
[2] Bdk. M.Usop, Upacara Tiwah, Mengantar Roh ke Negeri Arwah (ed). S.Djuweng, ..... hlm 133.
[3] Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur), Palangkaraya: Pusakalima, 2003, hlm 491-510.
[4] Ibid. Tjilik Riwut, hlm 497.
[5] Bdk. L. Dyson  dan Asharini, Tiwah: Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Depdikbud, 1981, hlm 17.
[6] Op. Cit, Tjilik Riwut, hlm 487.
[7] Bdk. Ahmad Yunus dan Sumantri S (eds.), Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Kalimantan Tengah, Jakarta: Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Kebudayaan Daerah, 1985, hlm 46.
[8] Depdikbud Kalimantan Tengah, Tiwah dan Perlengkapannya, Palangkaraya: Depdikbud Kantor Wilayah Kal-Teng, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kal-Teng, 1997-1998, hlm 4-5.
[9] Mengayau adalah kebiasaan suku dayak zaman dulu yang berburu kepala manusia.  
[10] Haester Saleh, Sandung Ngabe Sukah Pahandut, Palangkaraya: Museum Balanga, hlm 10.
[11] Bdk. Log. Cit, Depdikbud Kalimantan Tengah, hlm 9.