RESENSI BUKU
Judul : Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok
Pengarang : Roedy
Haryo Widjono AMZ
Penerbit :
Grasindo, Jakarta
Tahun Cetakan : 1998
Jumlah Halaman : 152
halaman
Dimensi :
panjang 17 cm, lebar 12 cm, tebal 0,5 cm
Profil Pengarang:
Lahir di Solo, Jawa
Tengah, 5 Juli 1958. Sejak usai mengikuti studi Comprehensive Development Training selama satu tahun
diselenggarakan Yayasan Esti Mulia Jakarta (1080), ia menetapkan pilihan untuk
menjadi aktivitis organisasi nonprofit (ornop). Awal tahun 1981, ia mulai
bekerja di Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Samarinda dan tinggal
di Tering, Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, sebuah desa
kecil di pedalaman Mahakam, sebagai aktivis lapangan hingga tahun 1986.
Menikah tahun 1984
dengan Yuliana Skolastika Karnella, putri Dayak Benuaq dan dikaruniai dua
putra: Feliks Galih Layun Restumitra dan Andreas Sukma Rawayan Mahardika. Di
pertengahan tahun 1986, ia pindah ke Samarinda hingga kini.
Sebagai aktivis ornop
ia aktif menulis artikel yang dipublikasikan di beberapa media, juga aktif
menulis makalah yang dipresentasikan dalam berbagai kesempatan. Buku kumpulan
sajak berjudul Lelaki Penunggang Gelombang diterbitkan PT Pustaka Sastra Jakarta
(1997). Dalam kapasitasnya sebagai koresponden Majalah Mingguan Hidup dan Union of Catholic Indonesia News
(Ucindonews), ia aktif menulis tentang persoalan-persoalan masyarakat di
Kalimantan Timur.
Di samping bekerja
Sekretaris Komisi PSE Keuskupan Samarinda, ia juga aktif di beberapa ornop di Samarinda,
antara lain Ketua Pengarah Konsorsium Sistem Hutan Kerakyatan Kalimantan Timur,
anggota Forum Aksi Solidaritas untk Masyarakat Adat Dayak, anggota jaringan
Gender Kalimatan Timur, anggota Konsorsium Pembaruan Agraria dan Direktur
Lembaga Bina Benua Puti Jaji (Institute
for Community Legal Resources Empowerment).
Isi Buku:
Kearifan Manusia Dayak
Berbicara tentang bumi
Kalimantan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat yang mendiami Pulau Borneo
ini, yakni masyarakat Suku Dayak. Suku Dayak adalah pribumi yang mendiami Pulau
Kalimantan sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Sejarah mencatat nenek moyang
Dayak berasal dari Daratan Cina yang bermigrasi secara besar-besaran. Gerakan
migrasi ini sekitar tahun 3000-1500 sebelum masehi. Secara pasti catatan
sejarah menyebutkan para imigran itu berasal dari Provinsi Yunan, Cina Selatan
itu dalam kelompok-kelompok kecil. Para imigran gelombang pertama yang memasuki
Kalimantan, adalah kelompok Negrid dan Weddid, atau lazim disebut Proto Melayu.
Sedangkan migran gelombang kedua dalam jumlah yang lebih besar, disebut Deutro
Melayu, yang kemudian menghuni wilayah pantai Kalimantan dan kini dikenal
sebagi Suku Melayu. Kelompok Proto Melayu dan Deutro Melayu pada hakikatnya
berasal dari negeri yang sama. Perbedaan yang ada, merupakan akibat dari
akulturasi kedua belah pihak dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia,
selain dipengaruhi pula dengan agama. Untuk itu muncul pula istilah Dayak dan
Haloq (sebutan untuk suku lain yang beragama Islam), merupakan penegasan istilah
yang yang bermakna sosio religius semata.
Istilah “Dayak” sendiri
rupanya sangat kompleks, dalam berbagai literatur terdapat keberagaman sebutan
untuk penduduk asli Pulau Borneo ini. Di sini penulis hanya memberikan empat
sebutan, yakni; Daya’, Dyak, Daya dan Dayak. Sebenarnya tidak ada kepastian yag
jelas mengenai istilah Dayak untuk menyebut manusia yang mendiami Pulau Borneo,
mereka lebih mengenal dirinya sendiri sebagai Iban, Ot Danum, Kenyah, Punan,
Ngaju, Ma’anyan, Bahau, Dusun, Siang dan lainnya. Di mana sebutan-sebutan itu
berdasarkan nama stammenras atau
tempat tinggal dari masing-masing kelompok. Menurut staf peneliti dari Institute of Dayakology Research and Development (IDRD)
Pontianak, keberagaman penyebutan itu merupakan indikasi tentang kekaburan
sebuah identitas dari penghuni asli Pulau Kalimantan ini. Terlepas dari
semuanya itu, yang jelas istilah Dayak merupakan nama kolektif untuk berbagai
penduduk pribumi Kalimantan yang tidak memeluk agama Islam.
Falsafah hidup manusia
Dayak yang menjadi akar dari eksistensi keberadaannya adalah falsafah hidup
Rumah Panjang (Betang). Nilai hidup Rumah Betang menjadi hal yang mendasar bagi
kehidupan manusia Dayak. Ciri khas Rumah Panjang adalah aspek komunal atau
hidup bersama dari seluruh masyarakat Dayak dalam suatu wilayah atau daerah. Di
semua masyarakarat Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan dapat dipastikan
kehidupan Rumah Panjang, meskipun di zaman sekarang eksistensi Rumah Panjang
perlahan-lahan tergerus oleh modernisasi. Cara hidup komunal turun-temurun pada
masyarakat Dayak, terbukti mendukung proses pengukuhan tradisi kebersamaan,
sebab cikal-bakal terbangunnya sebuah Rumah Panjang berpangkal dari satu
keluarga. Kemudian beranak-pinak secara turun-temurun dan terus menerus
menghuni rumah panjang. Secara alamiah masyarakat yang hidup dalam rumah
panjang sulit terpisahkan, terutama oleh faktor adat, darah, kepercayaan dan
mata pencaharian.
Rumah panjang bagi
masyarakat Dayak tidak saja menjadi ungkapan historis legendaris kehidupan
leluhur melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan nyata tentang tata
aturan adat, organisasi sosial dan sistem kemasyarakatan, sehingga menjadi
titik sentral dinamika kehidupan warganya. Sistem nilai budaya yang dihasilkan
dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia
Dayak, makna pekerjaannya, karya, persepsi mengenai waktu dan hubungannya
dengan alam tempat tinggal. Di sisi lain kehidupan di rumah panjang menjamin
keberlangsungan hubungan-hubungan kekuasaan di kalangan masyarakat Dayak
setempat.
Satu
hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia Dayak adalah
berkaitan dengan relasinya dengan alam sekitar, dalam hal ini adalah hutan.
Masyarakat Dayak menyatakan bahwa hutan adalah milik mereka yang paling berharga.
Antara mereka dengan hutan telah terpadu sedemikian rupa dan menyejarah.
Manusia Dayak terus berusaha menjaga dan mempertahankan ekosistem karena dari
situlah mereka turun-temurun hidup sejak masa lalu, masa kini dan masa depan.
Dari persentuhan yang mendalam masyarakat Dayak dengan hutan melahirkan sistem
perladangan yang dinamakan sistem ladang berpindah. Ladang berpindah sebuah
model kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya hutan yang bersumber
pada hukum adat. Sistem ini menjadi salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak.
Ibarat monyet yang tak
terpisahkan dengan pohon dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
demikian pula Suku Dayak, mereka tak mungkin terpisahkan dengan hutan. Manusia
Dayak menjadi gambaran atau teladan yang baik yang patut ditiru dalam usaha
pelestarian lingkungan hidup. Masyarakat Dayak dapat dikatakan “pelestari
tulen” dengan sistem ladang berpindah mereka berusaha memaksimalkan fungsi
hutan dengan baik. Apabila suatu area hutan sudah dijadikan tempat berladang maka
mereka tidak akan menggarap lagi area itu dalam jangka waktu yang relatif lama
(kira-kira 10-20 tahun). Dengan demikian alam dibiarkan untuk memulihkan
dirinya, ataupun oleh orang Dayak ditanami dengan pohon buah-buahan. Mereka
mengambil tidak berlebihan dari apa yang diperlukan hari ini. Masyarakat Dayak
sadar di mana semua keperluan sudah diberikan kepada mereka secara melimpah
oleh Hatalla (Pencipta) melalui “Indu” (ibu bumi) untuk anak-anak (manusia).
Pada hakikatnya Suku Dayak memiliki persepsi holistik terhadap hutan, bagi mereka
hutan tidak semata bermakna ekonomis, melainkan juga sosio budaya-religius.
Juga bukan hanya semata-mata berisi aneka ragam tetumbuhan dan hewan, melainkan
mereka sendiri merupakan bagian hutan yang tak terpisahkan.
Wawasan yang holistik
ini membuat masyarakat Dayak tidak melakukan pemilahan antara manusia denga
alam sekitarnya, malah keduanya memiliki “kekuatan dan kekuasaan” yang saling
mendukung untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Alam pikiran seperti itulah
dalam kehidupan sehari-hari terukir jelas dalam praktek tradisi dan upacara
adat, termasuk pula dalam perilaku mereka dalam mengelola sumber daya hutan.
Dilema Gejala Modernitas
Suatu hal yang tidak
dapat disangkal bahwa masyarakat Dayak saat ini telah “mewujud” sebagai
kelompok kehidupn yang berada dalam proses perubahan. Kecenderungan masyarakat
Dayak yang tertutup pada hal yang dari luar pada masa lampau, kini telah
bergeser pada arah sikap terbuka atau tren untuk berubah. Mereka bukan lagi
kokoh, sebagai masyarakat yang lebur menyatu dengan alam selaku kaum petani
ladang yang berpegang teguh pada tradisi dan tata aturan adat. Mereka kini
telah hadir sebagai masyarakat yang terbuka pada gejala modernitas. Gejala
modernitas pada masyarakat Dayak secara langsung menyentuh pada transformasi
budaya. Proses transformasi budaya pada suku Dayak kini sedang berlangsung.
Modernisasi yang diwujudkan melalui kebijakan dan program pembangunan di
berbagai aspek kehidupan. Proses transformasi budaya ini akan memunculkan dua
kemungkinan. Pertama, masyarakat Dayak akan menemukan identitas kebudayaanya
yang baru. Kedua, justru sebaliknya suku Dayak akan kehilangan identitas
ke-dayak-kannya. Kebudayaan Dayak pada hakekatnya ditandai dengan perwujudan
kebudayaan material dan spiritual, terbukti adanya keterpaduan yang erat,
antara sikap religius dan sikap sosial. Hal inilah yang menumbuhkan solidaritas
guna menjaga keutuhan dan keharmonisan komunitas dari sub-sub etnis Dayak.
Namun, dalam konsep
pembangunan berwawasan kebudayaan, tatanan hidup dan perilaku bermuara dari
kebudayaan Dayak perlu diadakan perubahan. Pembaruan budaya adalah sarana
menuju semuanya itu. Dengan kata lain, proses transformasi budaya akan membawa
perubahan pada masyarakat Dayak. Malahan perubahan itu tak terelakkan. Dewasa
ini. kebudayaan Dayak sudah go public.
Hal itu dimungkinkan karena pemilik kebudayaan, yakni manusia Dayak telah
bersinggungan langsung dengan kebudayaan dan nilai-nilai dari luar. Dalam
proses pertemuan antar budaya tersebut, terdapat suatu fenomena yang menarik.
Manusia Dayak mengalami culture shock
yang membawa mereka terperosok dalam kubangan modernitas, dengan kata lain
masuk ke dalam kebudayaan tiruan.
Kebudayaan tiruan itu,
bila tidak disensor justru akan menyesatkan. Karena perubahan yang diharapkan
menghasilkan buah yang matang, suatu saat bisa menjadi bumerang. Pada
gilirannya akan memudarkan identitas kebudayaan Dayak itu sendiri. Proses
humanisasi manusia justrus berujung pada dehumanisasi manusia. Perlahan-lahan
setiap nilai dari kearifan budaya kian tergerus. Manusia Dayak sebenarnya belum
siap mengalami modernisasi, mereka melewati loncatan yang begitu jauh dari apa
yang mereka harus jalani. Peralihan dari masyarakat tradisional yang basis
hidupnya tergantung pada alam menuju masyarakat modern berorientasi
teknologi-industri. Gejala seperti ini dapat dilihat dari peralihan kehidupan
masyarakat ladang menuju ke kehidupan masyarakat pasca-ladang.
Kehidupan masyarakat
pasca-ladang merupakan suatu kehidupan yang ditata secara rasional dan efisien.
Nilai yang dijunjung pada masyarakat pasca-ladang adalah sains dan teknologi
yang menjadi wujud dari aspek rasionalitas dan efisiensi. Dengan demikian
tuntutannya adalah perubahan cara berpikir masyarakat ladang yang bersifat
holistik-intuitif. Berkenaan dengan nilai sosial, modernitas kehidupan
masyarakat pasca-ladang, mendasarkan pembagian kerja menurut keahlian yang diwujudkan
dalam prestasi kerja. Sistem generalisasi dalam masyarakat tradisional, untuk
itu dituntut berubah ke arah tenaga kerja yang berorientasi pada status,
bergeser ke arah prestasi kerja. permasalahan ini mengisyaratkan kompetensi
hidup yang selektif. Semenrata itu, masyarakat Dayak senantiasa tertatih-tatih
dan kalah dalam “perebutan” untuk hidup. Dalam konteks perekrutan tenaga kerja
pada bidang industri, masyarakat Dayak tersisihkan. Mereka hanya sebatas
dibutuhkan sebagai pekerja kasar, setelah semua produksi dapat berjalan dengan
baik dan menghasilkan produk yang baik, kemudian mereka ditendang. Modernisasi berkedok
industrialisasi telah memperalat manusia Dayak untuk terperosok dalam kubangan
lumpur marginalisasi kehidupan sosial masyarakat pasca-ladang.
Dayak dalam Pusaran
Peradaban Modernisasi
Modernisasi memang
sudah menjalar ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Dayak. Ibarat kaki
yang berdiri di dua perahu, satu kaki kanan berdiri di atas perahu yang satu
dan kaki kiri berdiri di atas perahu yang lain, begitulah keadaan manusia Dayak
sekarang. Mereka mengalami kebingungan mana yang harus dipilih dan disisih.
Memilih modernisasi berarti harus masuk ke dalam lingkup masyarakat yang hanya
berorientasi pada keuntungan materi belaka. Atau tetap bertahan dalam pola
hidup yang lama yaitu pola masyarakat tradisional, di mana masyarakat sangat
menjunjung aspek hidup komunal, saling bahu-membahu satu dengan yang lain.
Dengan kata lain kehidupan masyarakat tradisional berciri komunal yaitu “sama
rata sama rasa, bahagia bersama menderita juga bersama”. Namun di sisi lain
ketika manusia Dayak masih mempertahankan pola hidup yang lama, mereka akan
dianggap kolot, primitif, ketinggalan zaman bahkan mungkin dianggap belum
beradab atau biadab. Itulah segala macam pelabelan atau cap-cap yang diberikan
masyarakat yang menamakan dirinya masyarakat modern terhadap masyarakat
tradisional. Sebenarnya tanpa disadari manusia Dayak dipaksa untuk masuk ke
dalam pusaran modernisasi, bukan oleh siapa-siapa tapi oleh pemerintah sendiri
dengan berlandaskan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Melalui
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebenarnya membikin
masyarakatnya sendiri semakin menderita. Pemerintah kerap membuat keputusan
sepihak tanpa berusaha mensosialisasikan kepada masyarakat terlebih dulu.
Apakah setiap program dan kebijakan yang dikeluarkan betul-betul sesuai dengan
apa yang dibutuhkan masyarakat atau malah sebaliknya, setiap kebijakan itu
tidak tepat sasaran.
Ditambah lagi
masyarakat Dayak terombang-ambing dalam gelombang peradaban. Pergeseran
paradigma identitas diri manusia Dayak telah berlangsung. Nilai-nilai lokal
yang begitu berakar dalam seluruh eksistensi manusia Dayak perlahan-lahan
memudar. Generasi Dayak sekarang banyak yang tidak lagi memikirkan identitas
ke-dayak-kannya, mereka merasa tidak perlu untuk mempertahankan identitasnya.
Hal ini ditandai dengan sesuatu yang sangat sederhana, yaitu bahasa. Banyak
orang-orang muda Dayak seperti merasa malu menggunakan bahasa ibu (daerah)
mereka, secara umum bahasa Dayak. Mereka takut dianggap tidak modern atau
kelihatan ketinggalan zaman (kuno) di hadapan teman-teman sebaya mereka. Mereka
cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan bahkan dicampur keinggris-inggrisan
yang jelas bukan produk budaya lokal. Fenomena seperti itu ikut menggerus
nilai-nilai kearifan budaya Dayak. Manusia Dayak menuju kepada suatu terma
universalisme. Suatu sikap yang menghendaki tidak perlu lagi ada nilai-nilai
atau budaya-budaya lokal yang menonjol tetapi semua nilai atau budaya lokal itu
harus masuk pada suatu wadah yang disebut universalitas budaya. Hal itu
dimungkinkan karena kebudayaan Dayak tidak hanya go public dalam skala nasional, tapi juga telah go international. Itulah sebabnya dalam
masyarakat modern, persinggungan ragam kebudayaam atau disebut tranformasi
budaya amat dimungkinkan untuk tertajdi. Era globalisasi telah menggelindingkan
“bola” universalisme kebudayaan. Persoalannya adalah belum ditemukan srategi
kebudayaan yang mampu menggabungkan kemanusiaan universal dengan karateristik
kebudayaan tertentu, dalam hal ini kebudayaan Dayak, sehingga manusia Dayak tetap
mempertahankan serta mewujudkan identitas ke-dayak-kannya. Fenomena yang kerap
muncul saat ini adalah, adanya kecenderungan hanya satu atau dua kebudayaan
tertentu yang dominan “superculture”
di atas panggung universalisme budaya, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan
politik. Persoalan inilah yang membuat kian peliknya proses transformasi pada
masyarakat Dayak.
Hidup di dalam era
peradaban modern segala hal diukur dalam keuntungan materi. Jelasnya segala
sesuatu diukur dengan uang. Dalam peradaban manusia Dayak hal ini pun terjadi.
Bahkan masuk dalam ranah religi, sistem religi dijadikan komoditas industri
wisata. Sistem religi bagi masyarakat Dayak, selain dasar dan norma tingkah
laku, juga memberi sumbangan yang besar terhadap lahirnya sejumlah adat sebagai
manifestasi eksistensi mereka. Namun, saat ini apa yang disebut di atas kian
pudar dan lumpuh, tatkala sistem religi ini telah “dijual” sebagai komoditas
industri wisata. Kebudayaan yang sebenarnya mengandung nilai-nilai spritual
yang sakral sekarang dijual hanya untuk mendapatkan uang. Alasannya sangat masuk
akal dan indah bahwa nilai-nilai religius dijadikan komoditas industri
pariwisata adalah untuk menjaga kelestariannya. Tak pelak. Hal itu juga salah
satu faktor penyebab kian melemahnya kelembagaan adat. Tentu saja juga
berpengaruh pada kehidupan budaya, di mana mereka tidak lagi menjadi pemilik
budaya leluhur, melainkan menjadi pedagang sekaligus “buruh” yang dikendalikan
oleh kepentingan pihak luar berbungkuskan pengembangan industri wisata. Sesungguhnya
masyarakat Dayak mengenal siklus waktu tertentu, sebagai aturan yang menetapkan
kapan boleh dan tidaknya suatu adat dilaksanakan. Juga adanya aturan tabu bagi
adat tertentu yang terlarang untuk konsumsi umum. Aturan-aturan tersebut tentu
mendapat sanksi adat bila dilanggar. Namun, realita yang terjadi segala
pantangan dan larangan yang ditetapkan leluhur (atau lembaga adat) tidak
berlaku lagi di zaman sekarang ini. Alhasil, nyaris tidak adanya “filter”
sehingga semua bentuk adat boleh dilakukan demi kepentingan industri wisata.
Setiap orang diam menutup mulut melihat realitas seperti ini dan menganggap hal
itu semua wajar karena orang Dayak sudah hidup di zaman modern, itulah
konsekuensinya dan sekaligus menguntungkan.
Fenomena seperti yang
dijelaskan di atas juga berimbas pula dalam komunitas kehidupan rumah panjang.
Komunitas kehidupan rumah panjang sebagai pusat kebudayaan Dayak, sesungguhnya
kini tinggal tinggal menjadi kisah memori legendaris kejayaan masa silam.
Sisa-sisa peradaban rumah panjang yang masih ada di beberapa desa di
Kalimantan, hakikatnya hanya merupakan fisik rumah tinggal yang telah
kehilangan “roh” dinamika kehidupan masyarakat adat Dayak. Ironisnya rumah
panjang juga telah dijual sebagai obyek wisata. Kehancuran kehidupan komunitas
rumah panjang juga merupakan faktor melemahnya kelembagaan adat. Pergeseran
dari rumah panjang ke rumah tunggal, tentu menyebabkan bergesernya dinamika
kelembagaan adat dalam praktek kehidupan sehari-hari. Sebagai penutup penulis
memberikan contoh konkret. Bergesernya budaya lisan ke budaya tulis. Dulu untuk
pertemuan adat cukup dengan dengan membunyikan gong saja warga pasti kumpul,
kini diperlukan undangan tertulis yang resmi dan mesti ditandatangani, itupun
yang datang hanya beberapa saja. Memang paradigma telah berubah maka pola
perilaku juga berubah. Inilah tantangan manusia Dayak. Apakah manusia Dayak
sudah siap menatap hari esok? Jawabannya hanya bisa dijawab oleh manusia Dayak
sendiri, terkhusus generasi mudanya karena di tangan merekalah identitas
ke-dayak-an perlu dijaga.
KOMENTAR
Kelebihan Buku:
·
Materi
yang disajikan berkaitan erat dengan realita kehidupan, terutama kehidupan
manusia-manusia Dayak yang hidup dalam peradaban modern ini.
·
Adanya
suatu analisa yang sangat berkaitan dengan fakta di lapangan, bukan untaian
kata-kata yang tanpa makna.
·
Cover
buku sangat berkaitan atau sesuai dari keseluruhan isi buku, yang menggambarkan
wajah manusia Dayak seperti bingung di terpa badai peradaban modern.
·
Referensi
buku yang sangat kuat, tetapi saya melihat penulis tidak terlalu terpaku pada
referensi karena menurutnya pengamatan dan konteks lapangan yang penting.
Kelemahan Buku:
- Bahasa yang digunakan dalam buku ini cukup berat
dan sulit dipahami. Buku ini terkhusus untuk kaum intelektual, pecinta
alam, aktivis sosial kemasyarakatan dan pemerhati budaya. Tetapi tidak
menutup kemungkinan bagi masyarakat biasa yang ingin membaca buku ini
sebagai sebuah refleksi fenomena realitas masyarakat Dayak dalam
menghadapi zaman. Maka dari itu alangkah baiknya kalau bahasa dalam buku
ini ditampilkan secara sederhana agar dapat dimengerti oleh semua
kalangan.
Penilaian Buku
Penilaian saya terhadap
buku Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok
ini sangat baik. Buku ini sangat jelas dalam memberi gambaran atau menjelaskan
kepada saya bagaimana masyarakat Dayak terperangkap dalam peradaban modernitas
dan bagaimana mereka berusaha dari perangkap itu. Terlebih karena saya adalah
anak Dayak. Sebagai generasi muda Dayak saya sangat prihatin dan terpanggil
untuk memajukan suku saya. Saya tidak mau manusia-manusia Dayak selalu
terkungkung di dalam ketidakpastian hidup. Manusia Dayak harus bangkit dari
ketertinggalan itu tanpa harus meninggalkan nilai-nilai kearifan lokalnya.
Manusia Dayak harus senantiasa menghidupi nilai-nilai luhur warisan nenek
moyang, karena hanya dengan begitulah eksistensi ke-dayak-kan manusia Dayak
akan selalu hidup tak lekang oleh waktu.
Buku ini sejatinya
dapat dan sangat perlu oleh semua kalangan masyarakat, terlepas dari bahasanya
yang sangat berat. Masih sangat aktual dalam kehidupan terkait masalah gejala
modenitas dan dampaknya, yang sebenarnya tidak hanya dialami masyarakat Dayak
tetapi seluruh masyarakat adat di seluruh Nusantara ini. Maka sangat cocok
sebagai bahan bacaan, refleksi, dan referensi yang baik dan pembelajaran. Kalau
dapat diberi penilaian dari angka 1-10, maka saya memberi angka 9.