Jumat, 31 Oktober 2014

RESENSI BUKU

Judul                           : Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok
Pengarang                   : Roedy Haryo Widjono AMZ
Penerbit                       : Grasindo, Jakarta
Tahun Cetakan            : 1998
Jumlah Halaman          : 152 halaman
Dimensi                       : panjang 17 cm, lebar 12 cm, tebal 0,5 cm

Profil Pengarang:
            Lahir di Solo, Jawa Tengah, 5 Juli 1958. Sejak usai mengikuti studi Comprehensive Development Training selama satu tahun diselenggarakan Yayasan Esti Mulia Jakarta (1080), ia menetapkan pilihan untuk menjadi aktivitis organisasi nonprofit (ornop). Awal tahun 1981, ia mulai bekerja di Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Samarinda dan tinggal di Tering, Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, sebuah desa kecil di pedalaman Mahakam, sebagai aktivis lapangan hingga tahun 1986.
            Menikah tahun 1984 dengan Yuliana Skolastika Karnella, putri Dayak Benuaq dan dikaruniai dua putra: Feliks Galih Layun Restumitra dan Andreas Sukma Rawayan Mahardika. Di pertengahan tahun 1986, ia pindah ke Samarinda hingga kini.
            Sebagai aktivis ornop ia aktif menulis artikel yang dipublikasikan di beberapa media, juga aktif menulis makalah yang dipresentasikan dalam berbagai kesempatan. Buku kumpulan sajak berjudul Lelaki Penunggang Gelombang diterbitkan PT Pustaka Sastra Jakarta (1997). Dalam kapasitasnya sebagai koresponden Majalah Mingguan Hidup dan Union of Catholic Indonesia News (Ucindonews), ia aktif menulis tentang persoalan-persoalan masyarakat di Kalimantan Timur.
            Di samping bekerja Sekretaris Komisi PSE Keuskupan Samarinda, ia juga aktif di beberapa ornop di Samarinda, antara lain Ketua Pengarah Konsorsium Sistem Hutan Kerakyatan Kalimantan Timur, anggota Forum Aksi Solidaritas untk Masyarakat Adat Dayak, anggota jaringan Gender Kalimatan Timur, anggota Konsorsium Pembaruan Agraria dan Direktur Lembaga Bina Benua Puti Jaji (Institute for Community Legal Resources Empowerment).

Isi Buku:
Kearifan Manusia Dayak
            Berbicara tentang bumi Kalimantan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat yang mendiami Pulau Borneo ini, yakni masyarakat Suku Dayak. Suku Dayak adalah pribumi yang mendiami Pulau Kalimantan sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Sejarah mencatat nenek moyang Dayak berasal dari Daratan Cina yang bermigrasi secara besar-besaran. Gerakan migrasi ini sekitar tahun 3000-1500 sebelum masehi. Secara pasti catatan sejarah menyebutkan para imigran itu berasal dari Provinsi Yunan, Cina Selatan itu dalam kelompok-kelompok kecil. Para imigran gelombang pertama yang memasuki Kalimantan, adalah kelompok Negrid dan Weddid, atau lazim disebut Proto Melayu. Sedangkan migran gelombang kedua dalam jumlah yang lebih besar, disebut Deutro Melayu, yang kemudian menghuni wilayah pantai Kalimantan dan kini dikenal sebagi Suku Melayu. Kelompok Proto Melayu dan Deutro Melayu pada hakikatnya berasal dari negeri yang sama. Perbedaan yang ada, merupakan akibat dari akulturasi kedua belah pihak dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia, selain dipengaruhi pula dengan agama. Untuk itu muncul pula istilah Dayak dan Haloq (sebutan untuk suku lain yang beragama Islam), merupakan penegasan istilah yang yang bermakna sosio religius semata.
            Istilah “Dayak” sendiri rupanya sangat kompleks, dalam berbagai literatur terdapat keberagaman sebutan untuk penduduk asli Pulau Borneo ini. Di sini penulis hanya memberikan empat sebutan, yakni; Daya’, Dyak, Daya dan Dayak. Sebenarnya tidak ada kepastian yag jelas mengenai istilah Dayak untuk menyebut manusia yang mendiami Pulau Borneo, mereka lebih mengenal dirinya sendiri sebagai Iban, Ot Danum, Kenyah, Punan, Ngaju, Ma’anyan, Bahau, Dusun, Siang dan lainnya. Di mana sebutan-sebutan itu berdasarkan nama stammenras atau tempat tinggal dari masing-masing kelompok. Menurut staf peneliti dari Institute of Dayakology Research and Development (IDRD) Pontianak, keberagaman penyebutan itu merupakan indikasi tentang kekaburan sebuah identitas dari penghuni asli Pulau Kalimantan ini. Terlepas dari semuanya itu, yang jelas istilah Dayak merupakan nama kolektif untuk berbagai penduduk pribumi Kalimantan yang tidak memeluk agama Islam. 
            Falsafah hidup manusia Dayak yang menjadi akar dari eksistensi keberadaannya adalah falsafah hidup Rumah Panjang (Betang). Nilai hidup Rumah Betang menjadi hal yang mendasar bagi kehidupan manusia Dayak. Ciri khas Rumah Panjang adalah aspek komunal atau hidup bersama dari seluruh masyarakat Dayak dalam suatu wilayah atau daerah. Di semua masyarakarat Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan dapat dipastikan kehidupan Rumah Panjang, meskipun di zaman sekarang eksistensi Rumah Panjang perlahan-lahan tergerus oleh modernisasi. Cara hidup komunal turun-temurun pada masyarakat Dayak, terbukti mendukung proses pengukuhan tradisi kebersamaan, sebab cikal-bakal terbangunnya sebuah Rumah Panjang berpangkal dari satu keluarga. Kemudian beranak-pinak secara turun-temurun dan terus menerus menghuni rumah panjang. Secara alamiah masyarakat yang hidup dalam rumah panjang sulit terpisahkan, terutama oleh faktor adat, darah, kepercayaan dan mata pencaharian.
            Rumah panjang bagi masyarakat Dayak tidak saja menjadi ungkapan historis legendaris kehidupan leluhur melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan nyata tentang tata aturan adat, organisasi sosial dan sistem kemasyarakatan, sehingga menjadi titik sentral dinamika kehidupan warganya. Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia Dayak, makna pekerjaannya, karya, persepsi mengenai waktu dan hubungannya dengan alam tempat tinggal. Di sisi lain kehidupan di rumah panjang menjamin keberlangsungan hubungan-hubungan kekuasaan di kalangan masyarakat Dayak setempat.
            Satu hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia Dayak adalah berkaitan dengan relasinya dengan alam sekitar, dalam hal ini adalah hutan. Masyarakat Dayak menyatakan bahwa hutan adalah milik mereka yang paling berharga. Antara mereka dengan hutan telah terpadu sedemikian rupa dan menyejarah. Manusia Dayak terus berusaha menjaga dan mempertahankan ekosistem karena dari situlah mereka turun-temurun hidup sejak masa lalu, masa kini dan masa depan. Dari persentuhan yang mendalam masyarakat Dayak dengan hutan melahirkan sistem perladangan yang dinamakan sistem ladang berpindah. Ladang berpindah sebuah model kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya hutan yang bersumber pada hukum adat. Sistem ini menjadi salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak.
            Ibarat monyet yang tak terpisahkan dengan pohon dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, demikian pula Suku Dayak, mereka tak mungkin terpisahkan dengan hutan. Manusia Dayak menjadi gambaran atau teladan yang baik yang patut ditiru dalam usaha pelestarian lingkungan hidup. Masyarakat Dayak dapat dikatakan “pelestari tulen” dengan sistem ladang berpindah mereka berusaha memaksimalkan fungsi hutan dengan baik. Apabila suatu area hutan sudah dijadikan tempat berladang maka mereka tidak akan menggarap lagi area itu dalam jangka waktu yang relatif lama (kira-kira 10-20 tahun). Dengan demikian alam dibiarkan untuk memulihkan dirinya, ataupun oleh orang Dayak ditanami dengan pohon buah-buahan. Mereka mengambil tidak berlebihan dari apa yang diperlukan hari ini. Masyarakat Dayak sadar di mana semua keperluan sudah diberikan kepada mereka secara melimpah oleh Hatalla (Pencipta) melalui “Indu” (ibu bumi) untuk anak-anak (manusia). Pada hakikatnya Suku Dayak memiliki persepsi holistik terhadap hutan, bagi mereka hutan tidak semata bermakna ekonomis, melainkan juga sosio budaya-religius. Juga bukan hanya semata-mata berisi aneka ragam tetumbuhan dan hewan, melainkan mereka sendiri merupakan bagian hutan yang tak terpisahkan.
            Wawasan yang holistik ini membuat masyarakat Dayak tidak melakukan pemilahan antara manusia denga alam sekitarnya, malah keduanya memiliki “kekuatan dan kekuasaan” yang saling mendukung untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Alam pikiran seperti itulah dalam kehidupan sehari-hari terukir jelas dalam praktek tradisi dan upacara adat, termasuk pula dalam perilaku mereka dalam mengelola sumber daya hutan.  
           
Dilema Gejala Modernitas
            Suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa masyarakat Dayak saat ini telah “mewujud” sebagai kelompok kehidupn yang berada dalam proses perubahan. Kecenderungan masyarakat Dayak yang tertutup pada hal yang dari luar pada masa lampau, kini telah bergeser pada arah sikap terbuka atau tren untuk berubah. Mereka bukan lagi kokoh, sebagai masyarakat yang lebur menyatu dengan alam selaku kaum petani ladang yang berpegang teguh pada tradisi dan tata aturan adat. Mereka kini telah hadir sebagai masyarakat yang terbuka pada gejala modernitas. Gejala modernitas pada masyarakat Dayak secara langsung menyentuh pada transformasi budaya. Proses transformasi budaya pada suku Dayak kini sedang berlangsung. Modernisasi yang diwujudkan melalui kebijakan dan program pembangunan di berbagai aspek kehidupan. Proses transformasi budaya ini akan memunculkan dua kemungkinan. Pertama, masyarakat Dayak akan menemukan identitas kebudayaanya yang baru. Kedua, justru sebaliknya suku Dayak akan kehilangan identitas ke-dayak-kannya. Kebudayaan Dayak pada hakekatnya ditandai dengan perwujudan kebudayaan material dan spiritual, terbukti adanya keterpaduan yang erat, antara sikap religius dan sikap sosial. Hal inilah yang menumbuhkan solidaritas guna menjaga keutuhan dan keharmonisan komunitas dari sub-sub etnis Dayak.
            Namun, dalam konsep pembangunan berwawasan kebudayaan, tatanan hidup dan perilaku bermuara dari kebudayaan Dayak perlu diadakan perubahan. Pembaruan budaya adalah sarana menuju semuanya itu. Dengan kata lain, proses transformasi budaya akan membawa perubahan pada masyarakat Dayak. Malahan perubahan itu tak terelakkan. Dewasa ini. kebudayaan Dayak sudah go public. Hal itu dimungkinkan karena pemilik kebudayaan, yakni manusia Dayak telah bersinggungan langsung dengan kebudayaan dan nilai-nilai dari luar. Dalam proses pertemuan antar budaya tersebut, terdapat suatu fenomena yang menarik. Manusia Dayak mengalami culture shock yang membawa mereka terperosok dalam kubangan modernitas, dengan kata lain masuk ke dalam kebudayaan tiruan.
            Kebudayaan tiruan itu, bila tidak disensor justru akan menyesatkan. Karena perubahan yang diharapkan menghasilkan buah yang matang, suatu saat bisa menjadi bumerang. Pada gilirannya akan memudarkan identitas kebudayaan Dayak itu sendiri. Proses humanisasi manusia justrus berujung pada dehumanisasi manusia. Perlahan-lahan setiap nilai dari kearifan budaya kian tergerus. Manusia Dayak sebenarnya belum siap mengalami modernisasi, mereka melewati loncatan yang begitu jauh dari apa yang mereka harus jalani. Peralihan dari masyarakat tradisional yang basis hidupnya tergantung pada alam menuju masyarakat modern berorientasi teknologi-industri. Gejala seperti ini dapat dilihat dari peralihan kehidupan masyarakat ladang menuju ke kehidupan masyarakat pasca-ladang.
            Kehidupan masyarakat pasca-ladang merupakan suatu kehidupan yang ditata secara rasional dan efisien. Nilai yang dijunjung pada masyarakat pasca-ladang adalah sains dan teknologi yang menjadi wujud dari aspek rasionalitas dan efisiensi. Dengan demikian tuntutannya adalah perubahan cara berpikir masyarakat ladang yang bersifat holistik-intuitif. Berkenaan dengan nilai sosial, modernitas kehidupan masyarakat pasca-ladang, mendasarkan pembagian kerja menurut keahlian yang diwujudkan dalam prestasi kerja. Sistem generalisasi dalam masyarakat tradisional, untuk itu dituntut berubah ke arah tenaga kerja yang berorientasi pada status, bergeser ke arah prestasi kerja. permasalahan ini mengisyaratkan kompetensi hidup yang selektif. Semenrata itu, masyarakat Dayak senantiasa tertatih-tatih dan kalah dalam “perebutan” untuk hidup. Dalam konteks perekrutan tenaga kerja pada bidang industri, masyarakat Dayak tersisihkan. Mereka hanya sebatas dibutuhkan sebagai pekerja kasar, setelah semua produksi dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan produk yang baik, kemudian mereka ditendang. Modernisasi berkedok industrialisasi telah memperalat manusia Dayak untuk terperosok dalam kubangan lumpur marginalisasi kehidupan sosial masyarakat pasca-ladang.

Dayak dalam Pusaran Peradaban Modernisasi
            Modernisasi memang sudah menjalar ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Dayak. Ibarat kaki yang berdiri di dua perahu, satu kaki kanan berdiri di atas perahu yang satu dan kaki kiri berdiri di atas perahu yang lain, begitulah keadaan manusia Dayak sekarang. Mereka mengalami kebingungan mana yang harus dipilih dan disisih. Memilih modernisasi berarti harus masuk ke dalam lingkup masyarakat yang hanya berorientasi pada keuntungan materi belaka. Atau tetap bertahan dalam pola hidup yang lama yaitu pola masyarakat tradisional, di mana masyarakat sangat menjunjung aspek hidup komunal, saling bahu-membahu satu dengan yang lain. Dengan kata lain kehidupan masyarakat tradisional berciri komunal yaitu “sama rata sama rasa, bahagia bersama menderita juga bersama”. Namun di sisi lain ketika manusia Dayak masih mempertahankan pola hidup yang lama, mereka akan dianggap kolot, primitif, ketinggalan zaman bahkan mungkin dianggap belum beradab atau biadab. Itulah segala macam pelabelan atau cap-cap yang diberikan masyarakat yang menamakan dirinya masyarakat modern terhadap masyarakat tradisional. Sebenarnya tanpa disadari manusia Dayak dipaksa untuk masuk ke dalam pusaran modernisasi, bukan oleh siapa-siapa tapi oleh pemerintah sendiri dengan berlandaskan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebenarnya membikin masyarakatnya sendiri semakin menderita. Pemerintah kerap membuat keputusan sepihak tanpa berusaha mensosialisasikan kepada masyarakat terlebih dulu. Apakah setiap program dan kebijakan yang dikeluarkan betul-betul sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat atau malah sebaliknya, setiap kebijakan itu tidak tepat sasaran.
            Ditambah lagi masyarakat Dayak terombang-ambing dalam gelombang peradaban. Pergeseran paradigma identitas diri manusia Dayak telah berlangsung. Nilai-nilai lokal yang begitu berakar dalam seluruh eksistensi manusia Dayak perlahan-lahan memudar. Generasi Dayak sekarang banyak yang tidak lagi memikirkan identitas ke-dayak-kannya, mereka merasa tidak perlu untuk mempertahankan identitasnya. Hal ini ditandai dengan sesuatu yang sangat sederhana, yaitu bahasa. Banyak orang-orang muda Dayak seperti merasa malu menggunakan bahasa ibu (daerah) mereka, secara umum bahasa Dayak. Mereka takut dianggap tidak modern atau kelihatan ketinggalan zaman (kuno) di hadapan teman-teman sebaya mereka. Mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan bahkan dicampur keinggris-inggrisan yang jelas bukan produk budaya lokal. Fenomena seperti itu ikut menggerus nilai-nilai kearifan budaya Dayak. Manusia Dayak menuju kepada suatu terma universalisme. Suatu sikap yang menghendaki tidak perlu lagi ada nilai-nilai atau budaya-budaya lokal yang menonjol tetapi semua nilai atau budaya lokal itu harus masuk pada suatu wadah yang disebut universalitas budaya. Hal itu dimungkinkan karena kebudayaan Dayak tidak hanya go public dalam skala nasional, tapi juga telah go international. Itulah sebabnya dalam masyarakat modern, persinggungan ragam kebudayaam atau disebut tranformasi budaya amat dimungkinkan untuk tertajdi. Era globalisasi telah menggelindingkan “bola” universalisme kebudayaan. Persoalannya adalah belum ditemukan srategi kebudayaan yang mampu menggabungkan kemanusiaan universal dengan karateristik kebudayaan tertentu, dalam hal ini kebudayaan Dayak, sehingga manusia Dayak tetap mempertahankan serta mewujudkan identitas ke-dayak-kannya. Fenomena yang kerap muncul saat ini adalah, adanya kecenderungan hanya satu atau dua kebudayaan tertentu yang dominan “superculture” di atas panggung universalisme budaya, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Persoalan inilah yang membuat kian peliknya proses transformasi pada masyarakat Dayak.
            Hidup di dalam era peradaban modern segala hal diukur dalam keuntungan materi. Jelasnya segala sesuatu diukur dengan uang. Dalam peradaban manusia Dayak hal ini pun terjadi. Bahkan masuk dalam ranah religi, sistem religi dijadikan komoditas industri wisata. Sistem religi bagi masyarakat Dayak, selain dasar dan norma tingkah laku, juga memberi sumbangan yang besar terhadap lahirnya sejumlah adat sebagai manifestasi eksistensi mereka. Namun, saat ini apa yang disebut di atas kian pudar dan lumpuh, tatkala sistem religi ini telah “dijual” sebagai komoditas industri wisata. Kebudayaan yang sebenarnya mengandung nilai-nilai spritual yang sakral sekarang dijual hanya untuk mendapatkan uang. Alasannya sangat masuk akal dan indah bahwa nilai-nilai religius dijadikan komoditas industri pariwisata adalah untuk menjaga kelestariannya. Tak pelak. Hal itu juga salah satu faktor penyebab kian melemahnya kelembagaan adat. Tentu saja juga berpengaruh pada kehidupan budaya, di mana mereka tidak lagi menjadi pemilik budaya leluhur, melainkan menjadi pedagang sekaligus “buruh” yang dikendalikan oleh kepentingan pihak luar berbungkuskan pengembangan industri wisata. Sesungguhnya masyarakat Dayak mengenal siklus waktu tertentu, sebagai aturan yang menetapkan kapan boleh dan tidaknya suatu adat dilaksanakan. Juga adanya aturan tabu bagi adat tertentu yang terlarang untuk konsumsi umum. Aturan-aturan tersebut tentu mendapat sanksi adat bila dilanggar. Namun, realita yang terjadi segala pantangan dan larangan yang ditetapkan leluhur (atau lembaga adat) tidak berlaku lagi di zaman sekarang ini. Alhasil, nyaris tidak adanya “filter” sehingga semua bentuk adat boleh dilakukan demi kepentingan industri wisata. Setiap orang diam menutup mulut melihat realitas seperti ini dan menganggap hal itu semua wajar karena orang Dayak sudah hidup di zaman modern, itulah konsekuensinya dan sekaligus menguntungkan.
            Fenomena seperti yang dijelaskan di atas juga berimbas pula dalam komunitas kehidupan rumah panjang. Komunitas kehidupan rumah panjang sebagai pusat kebudayaan Dayak, sesungguhnya kini tinggal tinggal menjadi kisah memori legendaris kejayaan masa silam. Sisa-sisa peradaban rumah panjang yang masih ada di beberapa desa di Kalimantan, hakikatnya hanya merupakan fisik rumah tinggal yang telah kehilangan “roh” dinamika kehidupan masyarakat adat Dayak. Ironisnya rumah panjang juga telah dijual sebagai obyek wisata. Kehancuran kehidupan komunitas rumah panjang juga merupakan faktor melemahnya kelembagaan adat. Pergeseran dari rumah panjang ke rumah tunggal, tentu menyebabkan bergesernya dinamika kelembagaan adat dalam praktek kehidupan sehari-hari. Sebagai penutup penulis memberikan contoh konkret. Bergesernya budaya lisan ke budaya tulis. Dulu untuk pertemuan adat cukup dengan dengan membunyikan gong saja warga pasti kumpul, kini diperlukan undangan tertulis yang resmi dan mesti ditandatangani, itupun yang datang hanya beberapa saja. Memang paradigma telah berubah maka pola perilaku juga berubah. Inilah tantangan manusia Dayak. Apakah manusia Dayak sudah siap menatap hari esok? Jawabannya hanya bisa dijawab oleh manusia Dayak sendiri, terkhusus generasi mudanya karena di tangan merekalah identitas ke-dayak-an perlu dijaga. 

KOMENTAR
Kelebihan Buku:
·         Materi yang disajikan berkaitan erat dengan realita kehidupan, terutama kehidupan manusia-manusia Dayak yang hidup dalam peradaban modern ini.
·         Adanya suatu analisa yang sangat berkaitan dengan fakta di lapangan, bukan untaian kata-kata yang tanpa makna.
·         Cover buku sangat berkaitan atau sesuai dari keseluruhan isi buku, yang menggambarkan wajah manusia Dayak seperti bingung di terpa badai peradaban modern.
·         Referensi buku yang sangat kuat, tetapi saya melihat penulis tidak terlalu terpaku pada referensi karena menurutnya pengamatan dan konteks lapangan yang penting.
Kelemahan Buku:
  • Bahasa yang digunakan dalam buku ini cukup berat dan sulit dipahami. Buku ini terkhusus untuk kaum intelektual, pecinta alam, aktivis sosial kemasyarakatan dan pemerhati budaya. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat biasa yang ingin membaca buku ini sebagai sebuah refleksi fenomena realitas masyarakat Dayak dalam menghadapi zaman. Maka dari itu alangkah baiknya kalau bahasa dalam buku ini ditampilkan secara sederhana agar dapat dimengerti oleh semua kalangan.
Penilaian Buku
            Penilaian saya terhadap buku Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok ini sangat baik. Buku ini sangat jelas dalam memberi gambaran atau menjelaskan kepada saya bagaimana masyarakat Dayak terperangkap dalam peradaban modernitas dan bagaimana mereka berusaha dari perangkap itu. Terlebih karena saya adalah anak Dayak. Sebagai generasi muda Dayak saya sangat prihatin dan terpanggil untuk memajukan suku saya. Saya tidak mau manusia-manusia Dayak selalu terkungkung di dalam ketidakpastian hidup. Manusia Dayak harus bangkit dari ketertinggalan itu tanpa harus meninggalkan nilai-nilai kearifan lokalnya. Manusia Dayak harus senantiasa menghidupi nilai-nilai luhur warisan nenek moyang, karena hanya dengan begitulah eksistensi ke-dayak-kan manusia Dayak akan selalu hidup tak lekang oleh waktu.
            Buku ini sejatinya dapat dan sangat perlu oleh semua kalangan masyarakat, terlepas dari bahasanya yang sangat berat. Masih sangat aktual dalam kehidupan terkait masalah gejala modenitas dan dampaknya, yang sebenarnya tidak hanya dialami masyarakat Dayak tetapi seluruh masyarakat adat di seluruh Nusantara ini. Maka sangat cocok sebagai bahan bacaan, refleksi, dan referensi yang baik dan pembelajaran. Kalau dapat diberi penilaian dari angka 1-10, maka saya memberi angka 9.
           


           


1 komentar:

  1. Terima kasih atas resensi bukunya. Semoga tetap memberi inspirasi bagi kebangkitan suku Dayak kini dan dimasa mendatang.

    Salam budaya dalam restu semesta
    Roedy Haryo Widjono AMZ

    BalasHapus