Jumat, 07 November 2014

Manusia dan Allah dalam Batang Garing

Relasi Manusia dan Allah
dalam Kisah Penciptaan Batang Garing Pada Suku Dayak Ngaju
Pengantar
            Manusia adalah sang pencinta kebijaksanaan, dalam bahasa Yunani diistilahkan “filo-sophia”, Filo artinya cinta dan sophia artinya kebijaksanaan. Maka dari akar kata tersebut muncul istilah filsuf atau filosof dalam bahasa Indonesia yang berarti ahli filsafat dan orang yang berfilsafat.[1] Setiap manusia pada dasarnya adalah filosof, karena ia selalu bertanya akan segala hal yang ada yang terjadi dalam hidupnya. Manusia senantiasa ingin tahu. Ia merasa heran dan kagum terhadap alam semesta. Alam menyimpan sejuta pesona sekaligus misteri bagi manusia. Alam “memaksa” manusia untuk menyibak misteri tentang dirinya. Dengan kata lain antara manusia dengan alam adanya sebuah relasi timbal-balik “alam memancing-manusia mencari”

            Relasi timbal-balik antara manusia dengan alam melahirkan nilai-nilai kebijaksanaan sebagai bentuk  jawaban dari pencarian manusia. Nilai-nilai kebijaksanaan itu berupa; adat-istiadat, norma, cerita rakyat, mite, idiom (ungkapan) bijaksana, dll. Nilai-nilai kebijaksanaan itu merupakan karya budi manusia atas refleksinya terhadap relasinya dengan alam sekitar. Maka tidak mengherankan setiap suku bangsa memiliki filsafat-filsafat hidup yang dihayati dalam hidup sehari-hari. Tulisan ini memfokuskan diri pada filsafat hidup Batang Garing (Pohon Kehidupan) pada masyarakat Dayak Ngaju.      
Masyarakat Dayak Ngaju
            Suku Dayak Ngaju merupakan satu dari sekian ratusan suku dayak yang mendiami bumi Kalimantan. Suku Dayak Ngaju adalah mayoritas suku yang mendiami Provinsi Kalimantan Tengah. Sebenarnya Suku Dayak Ngaju dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub-suku yang mendiami lima sungai besar yaitu; Sungai Seruyan, Katingan, Kahayan, Mentaya dan Kapuas.[2] Masyarakat Dayak Ngaju dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua macam yaitu bahasa Sangiang (bahasa kuno atau kerajaan) dan bahasa Kahayan (bahasa sehari-hari). Bahasa Sangiang digunakan oleh orang-orang tua zaman dahulu dan agak rumit. Bahasa ini sudah hampir hilang dan banyak generasi muda Dayak Ngaju yang tidak bisa lagi berbahasa Sangiang. Mereka cenderung menggunakan bahasa Kahayan yang tidak rumit dan banyak dipakai dalam masyarakat luas, sebagai bahasa sehari-hari.
            Dari akar katanya dalam bahasa Sangiang “Ngaju” berarti hulu atau hulu sungai. Kalau diartikan secara harafiah orang-orang Dayak Ngaju adalah orang-orang yang tinggal di hulu sungai (pedalaman). Maka tidak mengherankan sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal di hulu-hulu sungai yang penulis sebutkan di atas.  
Penciptaan Batang Garing
            Masyarakat Dayak Ngaju meyakini bahwa alam semesta ini tidak terjadi begitu saja. Ada “Sesuatu” mahadahsyat yang menyelenggarakannya. Begitu juga dengan manusia, ia tidak hanya muncul tiba-tiba begitu saja pasti ada “Sesuatu” yang menciptakannya. Sesuatu itu menurut masyarakat Dayak Ngaju adalah Ranying Mahatalla Langit (Tuhan Yang Mahakuasa), Sang Penguasa alam semesta. Dalam mite penciptaan Batang Garing[3] dikisahkan awalnya Ranying Mahatalla Langit (penguasa alam atas) dan Jata Balawang Bulau (penguasa alam bawah) sepakat untuk menciptakan dunia. Ranying memulai dengan melemparkan lawung-nya yang terbuat dari emas dan bertahtakan intan, dan jadilah sebuah pohon yang disebut Batang Garing atau pohon kehidupan. Pohon ini berdaun dan berbuah intan, permata, emas dan batu mulia. Jata melepaskan burung tingang (enggang) betina dari sangkar emasnya, lalu hinggap dan makan buah dari pohon itu. Melihat hal itu, Ranying melemparkan mandau emasnya seketika berubah menjadi burung tingang jantan disebut Tembarirang. Tembarirangpun hinggap dan memakan buah Batang Garing. Kehadiran keduanya saling memunculkan rasa cemburu dan iri hati, sehingga terjadilah perang suci. Perang mahadahsyat ini menghancurkan Batang Garing. Kepingan-kepingan dari kehancuran inilah menciptakan kehidupan baru, yaitu alam semesta dan segala isinya.
            Dari kehancuran tadi pula tercipta sepasang insan awali, dua manusia pertama. Sang wanita bernama Putir Kahukum Bangking Garing (Puteri dari Kepingan Gading) dan sang pria bernama Manyamei Limut Garing Balua Unggon Tingang (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh Tingang).  Kedua insan manusia pertama ini masing-masing memperoleh bahtera (perahu). Bahtera yang dilayari oleh wanita bernama Banama Bulau (Bahtera Emas) sedangkan bahtera yang dikemudikan pria bernama Banama Hintan (Bahtera Intan). Kedua insan ini berlayar di lautan lepas, yang menjadi sumber segala sesuatu yang mengalir. Keduanya sepakat untuk menikah dan mendapatkan keturunan pertama berupa segala macam binatang. Selanjutnya lahirlah keturunan manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Ketiga putera ini berkelahi memperebutkan senjata ciptaan orang tua mereka yaitu Sanaman Leteng, yang akhirnya menjadi milik Maharaja Buno. Untuk memperdamaikan mereka ketiganya dipisahkan. Maharaja Sangiang menempati alam atas, tinggal bersama Ranying Mahatalla, dan menjadi asal-usul segala Sangiang (para dewa), Maharaja Sangen menempati suatu daerah bernama Batu Nindan Tarung Liang Angkar Batilung Nyaring, yang menjadi sumber segala kepahlawanan. Sedangkan Maharaja Buno menempati bumi dan menjadi moyang pertama manusia.    
Nilai Budaya
            Dari mite Batang Garing tersebut, orang Dayak Ngaju percaya bahwa semesta ini selalu berisikan dua kekuatan yang saling bertentangan dan berbenturan yang kemudian menciptakan kehidupan baru.[4] Pertentangn bagi orang Dayak bukanlah yang sesuatu yang harus ditakutkan, tapi dianggap sebagai kesempatan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Justru dengan memanfaatkan benturan itu masyarakat Dayak dapat menyusun suatu tatanan baru dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.
            Konsep ketuhanan pada suku Dayak Ngaju bahwa ada dua kekuasaan pada alam semesta ini, yaitu Dunia Atas dikuasai oleh Ranying Mahatalla Langit dilambangkan dengan burung Enggang. Sedangkan Dunia Bawah dilambangkan sebagai Naga dikuasai oleh Jata Balawang Bulau. Meskipun terdapat dua kekuasaan mahadewa tersebut, tapi secara hakiki keduanya adalah satu, sebab Jata sebenarnya adalah bayang-bayang dari Ranying itu sendiri. Keduanya merupakan dwitunggal, sekaligus ambivalen yang merupakan satu-kesatuan divinitas. Keduanya membentuk satu-keutuhan kosmis, bila dari salah satu dari keduanya dihilangkan maka keseimbangan kosmis akan terganggu.[5]
            Batang Garing berbentuk tombak menunjuk ke atas melambangkan Ranying Mahatalla dan kekuasaanya yang berada di dunia atas. Bagian bawah pohon dilambangkan dengan guci yang berisi air suci melambangkan Jata atau dunia bawah. Hal ini mau menyatakan bahwa antara dunia atas dengan dunia bawah bukanlah dua dunia yang berbeda, tapi merupakan satu kesatuan yang terhubung. Buah Batang Garing masing-masing terdiri dari tiga mengarah ke atas dan tiga mengarah ke bawah, melambangkan tiga kelompok manusia yang merupakan keturunan dari Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Dengan demikian diingatkan turunan manusia (orang Dayak Ngaju) diharapkan tidak hanya terarah pada dunia bawah tetapi juga pada dunia atas. Pendeknya orang Dayak harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan jasmani dan kepentingan rohani.
            Tempat tertanamnya pohon kehidupan ini adalah Batu Nindan Tarung Liang Angkar Batilung  Nyaring (bumi). Sebuah pulau tempat kediaman kedua insan manusia pertama, juga menjadi tempat tinggal anak-anak dan cucu-cucu keturunan Maharaja Buno. Orang Dayak Ngaju diingatkan bahwa dunia ini hanyalah tempat tinggal sementara bagi manusia. Tanah air sebenarnya adalah dunia atas dalam bahasa Dayak Ngaju disebut Lewu Tatau (surga). Maka sekali lagi ditekankan bahwa manusia tidak boleh terlalu mendewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi karena itu semua hanyalah sementara. Pada bagian puncak Batang Garing terdapat burung Enggang dan matahari yang melambangkan Ranying Mahatalla Langit. Hal ini mau menyatakan bahwa asal-usul kehidupan adalah berasal dari atas yaitu Ranying sendiri, Dialah sumber segala kehidupan di semesta ini.[6]
            Hal yang paling ditekankan dalam mite penciptaan Batang Garing ini adalah hubungan antara manusia dengan Allah (Ranying Mahatalla). Arah dan tujuan hidup manusia tidak hanya tertuju di dunia fana ini, tetapi manusia harus juga mengarahkan pandangannya ke dunia atas, tempat dimana Ranying Mahatalla Langit berkuasa. Namun di sisi lain pula dengan keberadaan Jata Balawang Bulau sebagai penguasa dunia bawah (yang adalah bayang-bayang dari Ranying Mahatalla sendiri) maka manusia perlu memperhatikan juga kebutuhan untuk hidup di dunia ini. Dengan kata lain dua kebutuhan itu merupakan hal sangat mendasar dan perlu adanya keseimbangan. Sebab dalam pandangan orang Dayak Ngaju kehidupan di dunia akan berpengaruh besar pada kehidupan selanjutnya yaitu di Lewu Tatau. Orang yang banyak berbuat kebaikan ketika meninggal akan masuk ke Lewu Tatau sedangkan orang yang jarang berbuat kebaikan akan masuk ke Lewu Liau (dunia yang lebih rendah dari Lewu Tatau).[7]         
Kesesuaian dari Iman Katolik
a.      Konsep Ketuhanan
Konsep ketuhanan dalam iman Katolik meyakini Allah Tritunggal Mahakudus, yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dalam iman akan Tritunggal ini Gereja Katolik tidak mengakui tiga allah seolah-olah orang Katolik menyembah tiga allah, tetapi satu Allah dalam tiga pribadi “Tritunggal yang sehakikat”.[8] Pribadi-pribadi Ilahi ini tidak membagikan ke-Allah-an yang satu itu menjadi sepertiga. Tritunggal Mahakudus sepenuhnya dan seluruhnya Allah. Ketiga Pribadi Ilahi secara real berbeda satu sama lain, di dalam hubungan asalnya. Allah Bapa yang melahirkan, Allah Putera yang dilahirkan daln Allah Roh Kudus yang dihembuskan. Ketiga Pribadi ini berhubungan satu dengan yang lain. Perbedaan dalam hal asal tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, tetapi menunjukan hubungan timbal balik antar tiga pribadi Allah itu. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera dihubungkan dengan Bapa dan Roh Kudus dihubungkan dengan Keduanya.[9] Jadi hakikat mereka satu, yaitu Allah.
            Orang Dayak Ngaju juga meyakini bahwa Allah hanya satu yaitu Ranying Mahatalla Langit, sedangkan keberadaan Jata Belawang Bulau adalah bayang-bayang dari Ranying sendiri. Keduanya secara hakikat adalah satu. Yang merupakan satu-kesatuan dari keutuhan kosmis, seandainya salah satu dari keduanya “dihilangkan” maka keseimbangan kosmis akan kacau.
b.      Relasi Manusia dengan Allah.
Hubungan manusia dengan Allah dalam iman Katolik tergambar  jelas dalam “realitas pewahyuan diri Allah dalam sejarah manusia”.[10] Allah menyelamatkan manusia dalam Kristus oleh Roh Kudus.  Allah mewahyukan diri-Nya yang terwujud nyata dalam diri Yesus Kristus. Yesus datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan dan menebus manusia dari dosa-dosanya. Allah sungguh mencintai manusia sehingga Ia tidak segan-segan menyerahkan Putera Tunggal-Nya untuk mati di kayu salib. Dengan demikian dosa-dosa manusia dihapuskan dan manusia disucikan sehingga manusia dapat hidup bersatu dengan Allah di Kerajaan Surga. Pada dasarnya manusia mempunyai kerinduan yang besar untuk bersatu dengan Allah. Seluruh tujuan hidup manusia secara hakiki tearah kepada Allah. Jadi seluruh perjalanan hidup manusia di dunia ini pada akhirnya nanti menuju kepada Allah. Hal ini mensyaratkan selama hidup di dunia manusia harus selalu berbuat kebaikan kepada sesamanya dengan mengamalkan hukum cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus sendiri.
Melalui mite penciptaan Batang Garing dapat dapat diketahui orientasi hidup masyarakat Dayak Ngaju pertama-tama dan semata-mata tertuju ke atas. Artinya segala arah dan tujuan hidup manusia Dayak Ngaju tidak tertuju kepada dunia fana ini, tetapi lebih-lebih mengarahkan diri ke Dunia Atas, tempat dimana Ranying Mahatalla Langit berada. Hidup di dunia hanyalah sementara dengan demikian masyarakat Dayak Ngaju (manusia) tidak boleh terlalu mendewa-dewakan segala harta benda duniawi. Namun di sisi lain dengan mengingat akan keberadaan Jata Belawang Bulau sebagai penguasa Dunia Bawah, orang Dayak Ngaju (manusia) juga tidak boleh mengabaikan kehidupan di dunia ini. Menurut keyakinan masyarakat Dayak Ngaju bahwa tindak-tanduk selama hidup di dunia ini akan berpengaruh besar dalam kehidupan selanjutnya. Orang baik akan masuk ke Lewu Tatau (surga atau dunia atas tempat Ranying berkuasa) dan orang jahat akan masuk Lewu Liau (dunia para arwah yang lebih rendah dari Lewu Tatau).         
                
Alam semesta senantiasa memesona manusia. Manusia selalu terkagum-kagum akan dunia sekitarnya. Alam penuh dengan misteri dan rahasia yang menakjubkan. Alam menuntut, menarik manusia untuk membuka tabir rahasia dirinya.









[1] KBBI
[2] Bdk. Roedy Haryo Widjono AMZ, Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo, 1998, 3-6.
[3] Fridolin Ukur, Tanya-Djawab Suku Dayak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1871, 35-38.
[4]Bdk. Paulus Florus, dkk (eds), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak: Institut Dayakologi, 2010, 9-10.
[5] Teras Mihing, Penciptaan Batang Garing, Palangkaraya: Katingan Lewu-Itah, 2009, 36.
[6] Ibid. 48
[7] Bdk. L. Dyson  dan Asharini, Tiwah: Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Depdikbud, 1981, 17.
[8]Bdk. Thomas Michel SJ, Pokok-pokok Iman Kristiani: Sharing Iman Seorang Kristiani dalam Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2007, 62-63.
[9] Ibid.
[10]Bdk. H.H. Pope Paul VI, The “Credo” of the People of God, London: Incorporated Catholic Truth Society, 1971, 7-8. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar