Relasi Manusia dan Allah
dalam Kisah Penciptaan Batang Garing Pada Suku Dayak Ngaju
Pengantar
Manusia adalah sang pencinta
kebijaksanaan, dalam bahasa Yunani diistilahkan “filo-sophia”, Filo
artinya cinta dan sophia artinya kebijaksanaan.
Maka dari akar kata tersebut muncul istilah filsuf atau filosof dalam bahasa
Indonesia yang berarti ahli filsafat dan orang yang berfilsafat.[1]
Setiap manusia pada dasarnya adalah filosof, karena ia selalu bertanya akan
segala hal yang ada yang terjadi dalam hidupnya. Manusia senantiasa ingin tahu.
Ia merasa heran dan kagum terhadap alam semesta. Alam menyimpan sejuta pesona
sekaligus misteri bagi manusia. Alam “memaksa” manusia untuk menyibak misteri
tentang dirinya. Dengan kata lain antara manusia dengan alam adanya sebuah
relasi timbal-balik “alam memancing-manusia mencari”
Relasi timbal-balik antara manusia
dengan alam melahirkan nilai-nilai kebijaksanaan sebagai bentuk jawaban dari pencarian manusia. Nilai-nilai
kebijaksanaan itu berupa; adat-istiadat, norma, cerita rakyat, mite, idiom
(ungkapan) bijaksana, dll. Nilai-nilai kebijaksanaan itu merupakan karya budi
manusia atas refleksinya terhadap relasinya dengan alam sekitar. Maka tidak
mengherankan setiap suku bangsa memiliki filsafat-filsafat hidup yang dihayati
dalam hidup sehari-hari. Tulisan ini memfokuskan diri pada filsafat hidup Batang Garing (Pohon Kehidupan) pada
masyarakat Dayak Ngaju.
Masyarakat Dayak Ngaju
Suku Dayak Ngaju merupakan satu dari
sekian ratusan suku dayak yang mendiami bumi Kalimantan. Suku Dayak Ngaju adalah
mayoritas suku yang mendiami Provinsi Kalimantan Tengah. Sebenarnya Suku Dayak
Ngaju dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub-suku yang mendiami lima sungai
besar yaitu; Sungai Seruyan, Katingan, Kahayan, Mentaya dan Kapuas.[2]
Masyarakat Dayak Ngaju dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Dayak
Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua macam yaitu
bahasa Sangiang (bahasa kuno atau
kerajaan) dan bahasa Kahayan (bahasa sehari-hari). Bahasa Sangiang digunakan
oleh orang-orang tua zaman dahulu dan agak rumit. Bahasa ini sudah hampir
hilang dan banyak generasi muda Dayak Ngaju yang tidak bisa lagi berbahasa
Sangiang. Mereka cenderung menggunakan bahasa Kahayan yang tidak rumit dan
banyak dipakai dalam masyarakat luas, sebagai bahasa sehari-hari.
Dari akar katanya dalam bahasa
Sangiang “Ngaju” berarti hulu atau
hulu sungai. Kalau diartikan secara harafiah orang-orang Dayak Ngaju adalah
orang-orang yang tinggal di hulu sungai (pedalaman). Maka tidak mengherankan sebagian
besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal di hulu-hulu sungai yang penulis sebutkan
di atas.
Penciptaan Batang Garing
Masyarakat
Dayak Ngaju meyakini bahwa alam semesta ini tidak terjadi begitu saja. Ada
“Sesuatu” mahadahsyat yang menyelenggarakannya. Begitu juga dengan manusia, ia
tidak hanya muncul tiba-tiba begitu saja pasti ada “Sesuatu” yang menciptakannya.
Sesuatu itu menurut masyarakat Dayak Ngaju adalah Ranying Mahatalla Langit (Tuhan Yang Mahakuasa), Sang Penguasa alam
semesta. Dalam mite penciptaan Batang Garing[3]
dikisahkan awalnya Ranying Mahatalla Langit (penguasa alam atas) dan Jata Balawang Bulau (penguasa alam
bawah) sepakat untuk menciptakan dunia. Ranying memulai dengan melemparkan
lawung-nya yang terbuat dari emas dan bertahtakan intan, dan jadilah sebuah
pohon yang disebut Batang Garing atau pohon kehidupan. Pohon ini berdaun dan
berbuah intan, permata, emas dan batu mulia. Jata melepaskan burung tingang (enggang)
betina dari sangkar emasnya, lalu hinggap dan makan buah dari pohon itu.
Melihat hal itu, Ranying melemparkan mandau emasnya seketika berubah menjadi
burung tingang jantan disebut Tembarirang.
Tembarirangpun hinggap dan memakan buah Batang Garing. Kehadiran keduanya
saling memunculkan rasa cemburu dan iri hati, sehingga terjadilah perang suci.
Perang mahadahsyat ini menghancurkan Batang Garing. Kepingan-kepingan dari
kehancuran inilah menciptakan kehidupan baru, yaitu alam semesta dan segala
isinya.
Dari kehancuran tadi pula tercipta
sepasang insan awali, dua manusia pertama. Sang wanita bernama Putir Kahukum Bangking Garing (Puteri
dari Kepingan Gading) dan sang pria bernama Manyamei
Limut Garing Balua Unggon Tingang (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan
oleh Tingang). Kedua insan manusia
pertama ini masing-masing memperoleh bahtera (perahu). Bahtera yang dilayari
oleh wanita bernama Banama Bulau
(Bahtera Emas) sedangkan bahtera yang dikemudikan pria bernama Banama Hintan (Bahtera Intan). Kedua
insan ini berlayar di lautan lepas, yang menjadi sumber segala sesuatu yang
mengalir. Keduanya sepakat untuk menikah dan mendapatkan keturunan pertama
berupa segala macam binatang. Selanjutnya lahirlah keturunan manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja
Buno. Ketiga putera ini berkelahi memperebutkan senjata ciptaan orang tua
mereka yaitu Sanaman Leteng, yang
akhirnya menjadi milik Maharaja Buno. Untuk memperdamaikan mereka ketiganya
dipisahkan. Maharaja Sangiang menempati alam atas, tinggal bersama Ranying
Mahatalla, dan menjadi asal-usul segala Sangiang (para dewa), Maharaja Sangen
menempati suatu daerah bernama Batu
Nindan Tarung Liang Angkar Batilung Nyaring, yang menjadi sumber segala
kepahlawanan. Sedangkan Maharaja Buno menempati bumi dan menjadi moyang pertama
manusia.
Nilai Budaya
Dari
mite Batang Garing tersebut, orang Dayak Ngaju percaya bahwa semesta ini selalu
berisikan dua kekuatan yang saling bertentangan dan berbenturan yang kemudian
menciptakan kehidupan baru.[4]
Pertentangn bagi orang Dayak bukanlah yang sesuatu yang harus ditakutkan, tapi
dianggap sebagai kesempatan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Justru dengan
memanfaatkan benturan itu masyarakat Dayak dapat menyusun suatu tatanan baru
dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.
Konsep ketuhanan pada suku Dayak
Ngaju bahwa ada dua kekuasaan pada alam semesta ini, yaitu Dunia Atas dikuasai
oleh Ranying Mahatalla Langit dilambangkan dengan burung Enggang. Sedangkan
Dunia Bawah dilambangkan sebagai Naga dikuasai oleh Jata Balawang Bulau.
Meskipun terdapat dua kekuasaan mahadewa tersebut, tapi secara hakiki keduanya
adalah satu, sebab Jata sebenarnya adalah bayang-bayang dari Ranying itu
sendiri. Keduanya merupakan dwitunggal, sekaligus ambivalen yang merupakan
satu-kesatuan divinitas. Keduanya membentuk satu-keutuhan kosmis, bila dari
salah satu dari keduanya dihilangkan maka keseimbangan kosmis akan terganggu.[5]
Batang Garing berbentuk tombak
menunjuk ke atas melambangkan Ranying Mahatalla dan kekuasaanya yang berada di
dunia atas. Bagian bawah pohon dilambangkan dengan guci yang berisi air suci
melambangkan Jata atau dunia bawah. Hal ini mau menyatakan bahwa antara dunia
atas dengan dunia bawah bukanlah dua dunia yang berbeda, tapi merupakan satu
kesatuan yang terhubung. Buah Batang Garing masing-masing terdiri dari tiga mengarah
ke atas dan tiga mengarah ke bawah, melambangkan tiga kelompok manusia yang
merupakan keturunan dari Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno.
Dengan demikian diingatkan turunan manusia (orang Dayak Ngaju) diharapkan tidak
hanya terarah pada dunia bawah tetapi juga pada dunia atas. Pendeknya orang
Dayak harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan jasmani dan
kepentingan rohani.
Tempat tertanamnya pohon kehidupan
ini adalah Batu Nindan Tarung Liang Angkar Batilung Nyaring (bumi). Sebuah pulau tempat kediaman
kedua insan manusia pertama, juga menjadi tempat tinggal anak-anak dan
cucu-cucu keturunan Maharaja Buno. Orang Dayak Ngaju diingatkan bahwa dunia ini
hanyalah tempat tinggal sementara bagi manusia. Tanah air sebenarnya adalah
dunia atas dalam bahasa Dayak Ngaju disebut Lewu Tatau (surga). Maka sekali
lagi ditekankan bahwa manusia tidak boleh terlalu mendewakan segala sesuatu
yang bersifat duniawi karena itu semua hanyalah sementara. Pada bagian puncak
Batang Garing terdapat burung Enggang dan matahari yang melambangkan Ranying
Mahatalla Langit. Hal ini mau menyatakan bahwa asal-usul kehidupan adalah
berasal dari atas yaitu Ranying sendiri, Dialah sumber segala kehidupan di
semesta ini.[6]
Hal yang paling ditekankan dalam
mite penciptaan Batang Garing ini adalah hubungan antara manusia dengan Allah
(Ranying Mahatalla). Arah dan tujuan hidup manusia tidak hanya tertuju di dunia
fana ini, tetapi manusia harus juga mengarahkan pandangannya ke dunia atas,
tempat dimana Ranying Mahatalla Langit berkuasa. Namun di sisi lain pula dengan
keberadaan Jata Balawang Bulau sebagai penguasa dunia bawah (yang adalah
bayang-bayang dari Ranying Mahatalla sendiri) maka manusia perlu memperhatikan
juga kebutuhan untuk hidup di dunia ini. Dengan kata lain dua kebutuhan itu
merupakan hal sangat mendasar dan perlu adanya keseimbangan. Sebab dalam
pandangan orang Dayak Ngaju kehidupan di dunia akan berpengaruh besar pada
kehidupan selanjutnya yaitu di Lewu Tatau. Orang yang banyak berbuat kebaikan
ketika meninggal akan masuk ke Lewu Tatau sedangkan orang yang jarang berbuat
kebaikan akan masuk ke Lewu Liau (dunia yang lebih rendah dari Lewu Tatau).[7]
Kesesuaian dari Iman Katolik
a.
Konsep
Ketuhanan
Konsep
ketuhanan dalam iman Katolik meyakini Allah Tritunggal Mahakudus, yaitu Bapa,
Putera dan Roh Kudus. Dalam iman akan Tritunggal ini Gereja Katolik tidak
mengakui tiga allah seolah-olah orang Katolik menyembah tiga allah, tetapi satu
Allah dalam tiga pribadi “Tritunggal yang sehakikat”.[8]
Pribadi-pribadi Ilahi ini tidak membagikan ke-Allah-an yang satu itu menjadi
sepertiga. Tritunggal Mahakudus sepenuhnya dan seluruhnya Allah. Ketiga Pribadi
Ilahi secara real berbeda satu sama lain, di dalam hubungan asalnya. Allah Bapa
yang melahirkan, Allah Putera yang dilahirkan daln Allah Roh Kudus yang
dihembuskan. Ketiga Pribadi ini berhubungan satu dengan yang lain. Perbedaan
dalam hal asal tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, tetapi menunjukan
hubungan timbal balik antar tiga pribadi Allah itu. Bapa dihubungkan dengan Putera,
Putera dihubungkan dengan Bapa dan Roh Kudus dihubungkan dengan Keduanya.[9]
Jadi hakikat mereka satu, yaitu Allah.
Orang Dayak Ngaju juga meyakini
bahwa Allah hanya satu yaitu Ranying Mahatalla Langit, sedangkan keberadaan
Jata Belawang Bulau adalah bayang-bayang dari Ranying sendiri. Keduanya secara
hakikat adalah satu. Yang merupakan satu-kesatuan dari keutuhan kosmis,
seandainya salah satu dari keduanya “dihilangkan” maka keseimbangan kosmis akan
kacau.
b.
Relasi
Manusia dengan Allah.
Hubungan
manusia dengan Allah dalam iman Katolik tergambar jelas dalam “realitas pewahyuan diri Allah
dalam sejarah manusia”.[10]
Allah menyelamatkan manusia dalam Kristus oleh Roh Kudus. Allah mewahyukan diri-Nya yang terwujud nyata
dalam diri Yesus Kristus. Yesus datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan dan
menebus manusia dari dosa-dosanya. Allah sungguh mencintai manusia sehingga Ia
tidak segan-segan menyerahkan Putera Tunggal-Nya untuk mati di kayu salib.
Dengan demikian dosa-dosa manusia dihapuskan dan manusia disucikan sehingga
manusia dapat hidup bersatu dengan Allah di Kerajaan Surga. Pada dasarnya
manusia mempunyai kerinduan yang besar untuk bersatu dengan Allah. Seluruh
tujuan hidup manusia secara hakiki tearah kepada Allah. Jadi seluruh perjalanan
hidup manusia di dunia ini pada akhirnya nanti menuju kepada Allah. Hal ini
mensyaratkan selama hidup di dunia manusia harus selalu berbuat kebaikan kepada
sesamanya dengan mengamalkan hukum cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus
sendiri.
Melalui
mite penciptaan Batang Garing dapat dapat diketahui orientasi hidup masyarakat
Dayak Ngaju pertama-tama dan semata-mata tertuju ke atas. Artinya segala arah
dan tujuan hidup manusia Dayak Ngaju tidak tertuju kepada dunia fana ini,
tetapi lebih-lebih mengarahkan diri ke Dunia Atas, tempat dimana Ranying
Mahatalla Langit berada. Hidup di dunia hanyalah sementara dengan demikian
masyarakat Dayak Ngaju (manusia) tidak boleh terlalu mendewa-dewakan segala
harta benda duniawi. Namun di sisi lain dengan mengingat akan keberadaan Jata Belawang
Bulau sebagai penguasa Dunia Bawah, orang Dayak Ngaju (manusia) juga tidak
boleh mengabaikan kehidupan di dunia ini. Menurut keyakinan masyarakat Dayak
Ngaju bahwa tindak-tanduk selama hidup di dunia ini akan berpengaruh besar
dalam kehidupan selanjutnya. Orang baik akan masuk ke Lewu Tatau (surga atau
dunia atas tempat Ranying berkuasa) dan orang jahat akan masuk Lewu Liau (dunia
para arwah yang lebih rendah dari Lewu Tatau).
Alam semesta senantiasa memesona
manusia. Manusia selalu terkagum-kagum akan dunia sekitarnya. Alam penuh dengan
misteri dan rahasia yang menakjubkan. Alam menuntut, menarik manusia untuk
membuka tabir rahasia dirinya.
[1] KBBI
[2] Bdk. Roedy Haryo Widjono AMZ, Masyarakat
Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo, 1998, 3-6.
[3] Fridolin Ukur, Tanya-Djawab
Suku Dayak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1871, 35-38.
[4]Bdk. Paulus Florus, dkk (eds), Kebudayaan
Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak: Institut Dayakologi, 2010,
9-10.
[6] Ibid. 48
[7] Bdk. L. Dyson dan Asharini,
Tiwah: Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah,
Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Depdikbud, 1981, 17.
[8]Bdk. Thomas Michel SJ, Pokok-pokok
Iman Kristiani: Sharing Iman Seorang Kristiani dalam Dialog Antar Agama,
Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2007, 62-63.
[9] Ibid.
[10]Bdk. H.H. Pope Paul VI, The
“Credo” of the People of God, London: Incorporated Catholic Truth Society,
1971, 7-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar