Upacara
Kelahiran Anak Pada Urang Banjar
1.
Pengantar
Setiap
suku di Indonesia memberi momen khusus pada tahap-tahap hidup manusia seperti
kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian. Begitu pula dengan suku Banjar.
Suku Banjar memercayai manusia pada saat-saat tertentu dalam hidupnya mengalami
masa-masa kritis. Masa kritis itu adalah masa yang penuh ancaman dan bahaya
(Koentjaraningrat, 1985), yaitu peralihan dari tahap hidup yang satu menuju
tahap hidup yang lain (dari masih berupa janin sampai meninggal dunia). Karena
masa-masa itu dianggap masa yang diliputi ancaman dan bahaya, maka perlunya
suatu upaya untuk menetralkannya, agar masa-masa itu dapat dilalui dengan
lancar dan selamat. Upaya-upaya yang
dilakukan dengan menyelenggarakan upacara atau ritual yang dikenal sebagai
upacara siklus hidup manusia yang meliputi: kehamilan, kelahiran, sunatan
(khitanan), perkawinan dan kematian. Tulisan ini secara khusus membahas upacara
kelahiran pada masyarakat Banjar.
2.
Suku
Banjar
Suku
Banjar (bahasa Banjarnya Urang
Banjar) adalah mayoritas masyarakat yang mendiami provinsi Kalimantan Selatan.
Masyarakat Banjar banyak bermukim di pesisir pantai atau DAS karena nenek
moyang mereka adalah orang-orang Melayu yang terkenal dengan keberaniannya mengarungi
lautan. Masyarakat Banjar identik dengan agama Islam. Sebenarnya dulu jauh
sebelum Islam masuk ke daratan Kalimantan banyak dari masyarakat Banjar
“beragama” Kaharingan.
Pusat
dari suku Banjar adalah bagiah hilir Sungai Barito. Secara Linguistik bahasa
Banjar adalah perpaduan dari bahasa Melayik dan bahasa Barito Raya. Secara teritorial
masyarakat Banjar tidak hanya bermukim di Kalimantan Selatan, tapi juga di
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Terutama di dataran rendah dan DAS
daerah tersebut. Bahkan di Kalimantan
Barat pun juga ada seperti di Kelurahan Banjar Serasan (Wikipedia Indonesia).
Suku Banjar sering juga disebut Melayu Banjar.
3.
Masa
Kehamilan
Masa
kehamilan bagi orang Banjar sangatlah penting agar ibu dan bayi yang dilahirkan
dapat sehat dan tidak mengalami sesuatu
apapun. Maka saat ibu mengandung sang jabang bayi harus dirawat dan
dipersiapkan sebaik mungkin. Salah satunya dengan upacara Mandi Hamil
(Depdikbud Kalsel, 1981/1982).
Upacara
Mandi Hamil dilakukan dua kali yaitu disebut Batapung Tawar Tian (saat kehamilan berusia tiga bulan) dan Tian Madaring (ketika kehamilan berusia
tujuh bulan). Upacara ini sebenarnya cukup sederhana, wanita yang
mengandung dimandikan dengan banyu Yasin (air asin) yang dicampur dengan
bunga-bungaan. Hal ini harus dilakukan oleh wanita-wanita tua yang masih
mempunyai hubungan kekerabatan dengannya atau dengan suaminya, juga bisa
dilakukan oleh suami. Untuk melaksanakan upacara ini pihak keluarga harus
meminta Banyu Yasin dari bidan yang
akan membantu proses kelahiran si jabang bayi. Maksud dan tujuan upacara ini
adalah untuk menolak bala, mohon keselamatan dari Tuhan Yang Mahakuasa agar
selama masa kehamilan tidak mengalami keguguran. Karena menurut kepercayaan
masyarakat Banjar, bahwa wanita yang
sedang hamil suka diganggu oleh makhluk-makhluk halus (Depdikbud Kalsel,
1982/1982).
4.
Upacara
Kelahiran
·
Peralatan
dan Fungsi
Peralatan
dan perlengkapan yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada
masyarakat Banjar sebagai berikut: pelepah pinang, kapit (wadah tembikar yang
bentuknya menyerupai pot bunga kecil), sembilu, sarung, kain batik,
tepung-tawar, madu, kurma, garam, kukulih (bubur yang terbuat dari beras
ketan), seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, dan rempah-rempah
untuk memasak ikan.
Pelepah
pinang dipakai untuk membungkus tembuni
(ari-ari). Kapit digunakan untuk tempat alas tembuni. Sarung digunakan
untuk membersihkan bayi yang baru lahir. Kain batik digunakan untuk alas si
bayi. Sembilu digunakan untuk memotong tali pusat. Tepung-tawar digunakan untuk
menaburi tubuh bayi agar tidak diganggu
oleh roh-roh jahat. Madu dan kurma digunakan untuk mengoles bibir bayi.
Sedangkan seliter beras, sebiji gula
merah, sebiji buah kelapa, rempah-rempah untuk memasak ikan diberikan kepada
dukun bayi sebagai ungkapan syukur dan terima kasih.
·
Jalannya
Upacara
Ketika
kandungan berusia 9 bulan maka pihak keluarga menyiapkan segala sesuatu yang
diperlukan untuk kelancaran proses kelahiran jabang bayi ke dunia. Antara lain
selembar pelepah pinang dan sebuah kapit. Kedua hal ini digunakan untuk
menyimpan tembuni. Selain itu pihak
keluarga juga mengadakan selamatan dengan membuat kukuih. Kukuih ini diberi
dengan untaian doa-doa dari Alqur-an, lalu diputarkan pada kepala si ibu
setelah itu boleh dimakan oleh semua keluarga. Maknanya adalah ucapan syukur
atas kelancaran proses kelahiran.
· Proses
Kelahiran
Masyarakat
Banjar biasa menjalani proses kelahiran di rumah dan dibantu oleh dukun beranak
(bidan). Setelah bayi lahir tali pusatnya dipotong menggunakan sembilu,
potongan tali pusat itu ditaruh dalam kapit dan ditaburi sedikit garam.
Maksudnya agar si bayi kelak dalam hidupnya tidak menjadi tawar, sebagaimana
fungsi garam adalah untuk mengasinkan makanan. Kemudian, ditutup dengan daun
pisang lalu diikat dengan rotan, setelah itu ditanam di bawah pohon besar atau
di bawah bunga-bungaan atau juga dihanyutkan di sungai. Ini berkaitan dengan
kepercayaan urang Banjar yang
menganggap bahwa jika tali pusat ditanam di bawah pohon yang besar, kelak bayi
yang bersangkutan (diharapkan) akan menjadi "orang besar". Kemudian,
jika di bawah bunga-bungaan maka kelak namanya akan menjadi harum. Dan, jika
dihanyutkan ke sungai, harapannya kelak si bayi menjadi handal dalam melaut.
Selain itu, ada pula yang
mengikatkan tali pusat pada sebatang pohon. Maksudnya adalah agar kelak
(setelah dewasa) tidak merantau (keluar kampung). Jadi, perlakuan atas tali
pusat bergantung pada apa yang diinginkan oleh orang tua terhadap bayinya
dikemudian hari. Sebagai catatan, tidak seluruh tali pusat yang diputus akan
ditanam, dihanyutkan atau diikat pada sebatang pohon besar, melainkan (sisanya)
ada yang disimpan baik-baik untuk dihimpun menjadi satu bersama tali pusat
saudara-saudarinya yang lain. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak
saling bertengkar. Dengan kata lain, agar sebagai saudara selalu hidup rukun
dan damai. Sedangkan tembuni dikubur di bawah rumah, menurut kepercayaan urang Banjar bahwa tembuni adakah
kembaran si bayi. Untuk itu perlu dikubur di bawah tempat tidur si bayi agar
kembarannya (tembuni) ini selalu menemani dan menjaga si bayi, apalagi saat
sedang tidur.
Setelah pemotongan tali pusat, bayi
dibersihkan dengan sarung atau kain batik Banjar dan diletakkan di atas talam
yang dialas dengan sarung dan kain batik juga. Bayi diadzankan oleh ayahnya,
maknanya agar yang didengar pertama oleh bayi adalah kalimat Allah. Dengan
demikian kelak bayi dapat taat beragama
dan bertakwa kepada Allah. Setelah itu, bibir, tangan, dan kaki bayi dioleasi
dengan madu dan kurma. Maknanya agar kelak bayi dapat bertutur kata dan
bertingkah-laku yang manis dan sopan.
·
Sesudah
Kelahiran
Beberapa
hari setelah kelahiran ada satu upacara lagi yaitu upacara bapalas-bidan. Seturut dengan namanya maka upacara ini dipimpin
oleh bidan yang membantu proses kelahiran si bayi. Bidan mengucapkan berbagai
mantera dan mampalas (memberkati)
sang bayi. Maknanya agar si bayi selalu dijaga oleh kembarannya (tembuni) dan
terhindar dari gangguan roh-roh jahat. Selain itu agar ibu si bayi selamat dan
sejahtera selama membesarkan si bayi. Upacara diakhiri dengan makan bersama
sebagai ucapan syukur.
Setelah
bayi berumur satu minggu ada upacara disebut tasmiah (pemberian nama), dengan susunan: pembacaan Ayat-ayat Suci
Al Quran (Surat Ali Imran) oleh penghulu atau mualim, pemberian nama oleh orang
tua atau kerabat, dan barjanji.
Uniknya saat pemberian nama seluruh kerabat juga memberi nama pada si bayi.
Caranya setiap kerabat menulis nama pada sebuah kertas lalu digulung dan
ditancapkan pada baskom yang diisi beras. Setelah itu bayi dibaringkan di atas
baskom itu dan dibiarkan menyentuh pada salah satu kertas yang ditancapkan itu.
Ketika si bayi sudah menyentuh pada salah satu kertas itu, maka kertas diambil
dan dibacakan sehingga itulah yang akan menjadi nama sang bayi. Sebagai catatan, dalam barjanji, ketika dibacakan kalimat asyrakal, si bayi dikelilingi semua kerabat dan tamu yang hadir.
Mereka, termasuk mualim atau penghulu, diminta untuk menepung-tawari
(memberkati) si bayi. Dengan berakhirnya upacara tasmiah ini, maka berakhirlah rangkaian upacara kelahiran pada
masyarakat Banjar.
5.
Nilai
Budaya
Kelahiran
adalah satu tahap pada lingkaran hidup manusia. Bagi masyarakat Banjar
peristiwa kelahiran bukanlah peristiwa hidup yang biasa, tapi peristiwa yang
sangat istimewa untuk itu perlu dirayakan. Karena dari peristiwa kelahiran ini
apabila direfleksikan lebih mendalam mengandung nilai-nilai kehidupan sebagai
acuan hidup bersama. Nilai-nilai itu adalah nilai ketakwaan, kesopan-santunan,
kewibawaan dan kerukunan.
Nilai
ketakwaan tercermin dari tindakan ayah yang mendaraskan doa-doa (adzan) pada telinga
si bayi, agar suara yang didengar pertama oleh bayi adalah kalimat Allah. Sehingga
kelak diharapkan si bayi dapat hidup takwa dan taat kepada Allah.
Nilai
kesopanan dan kewibawaan tercermin pada pemolesan madu dan kurma pada bibir,
tangan dan kaki si bayi. Hal ini bermakna agar kelak si bayi dapat bertutur
kata dan bertingkah laku yang manis dan penuh sopan santun terhadap orang lain
Nilai
kerukunan tercermin pada penyimpanan tali pusat sang bayi yang disatukan dengan
tali pusat saudara-saudarinya. Dengan maksud agar kelak sang bayi dapat hidup
rukun dengan saudara-saudarinya dan tidak bertengkar.
6.
Peluang
Pastoral Bagi Perwartaan Iman Katolik
·
Penghargaan
atas Status Hidup Janin
Masyarakat
Banjar sangat menghargai hak hidup janin yang sedang dikandung. Hal ini
tergambar jelas dari Upacara Mandi Hamil seperti dijelaskan di atas. Upacara
Mandi Hamil pertama-tama bertujuan agar ibu yang sedang mengandung dilindung
oleh Tuhan sehingga tidak mengalami keguguran. Menurut kepercayaan orang Banjar
bahwa wanita yang sedang hamil sering diganggu oleh roh-roh jahat. Dengan kata
lain masyarakat Banjar sangat tidak mengharapkan terjadinya keguguran pada
janin yang sedang dikandung. Sebab bagi masyarakat Banjar hidup adalah suatu
yang sangat berharga oleh sebab itu harus dijaga dan dirawat sebaik mungkin.
Bagi
masyarakat Banjar keguguran saja tidak boleh apalagi menggugurkan. Tindakan
menggugurkan janin merupakan tindakan pembunuhan. Apabila wanita Banjar
ketahuan menggugurkan janin yang ia kandung, maka akan dikenakan sanksi adat
berupa pembayaran sejumlah guci China (balanga)
kepada pihak suami (sistem patriarkat), sekarang diganti dengan sejumlah uang.
Karena suami turut “menyumbangkan” benih kehidupan pada janin yang
digugurkan.
Pandangan
ini hampir sama dalam ajaran Gereja Katolik. Ajaran Gereja Katolik menyatakan
secara jelas dan tegas bahwa sejak masa pembuahan (bersatunya sel sperma dan sel
telur) embrio adalah manusia (individu) baru yang bukan ayah atau ibunya (Bdk.
Yustinus dan Marianta (eds), 2012:124-125). Karena janin itu, sebagai manusia
baru, ia juga mempunyai hak-hak seperti manusia-manusia lainnya, salah satunya
hak untuk hidup. Dengan demikian tidak boleh digugurkan sebab pengguguran itu
pembunuhan atas hidup manusia. Ajaran Gereja tentang status nilai hidup manusia
terangkum dalam ensiklik yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II yaitu
ensiklik Evangelium Vitae (Injil
Kehidupan).
·
Garam
(Manusia yang Berkualitas)
Selain itu, peluang pastoral yang
memungkinkan bagi pewartaan iman katolik, berangkat dari tindakan penaburan
garam pada potongan tali pusat bayi. Hal ini berarti adanya sebentuk harapan
orang tua bahwa kelak ia akan menjadi seperti garam yang memberi rasa pada
orang-orang di sekitarnya. Konsep ini
bersesuaian dengan ajaran Yesus. Dalam Mat 5:13 dikatakan: "Kamu adalah
garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak
ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” Fungsi garam adalah untuk
memberi rasa (asin) pada makanan agar tidak tawar. Maka manusia hendaknya
seperti garam yang memberikan rasa pada masyarakat di sekitarnya. Dengan kata
lain manusia harus berguna bagi orang lain. Dari hal ini terlihat adanya
kesesuaian antara konsep masyarakat Banjar dengan ajaran Yesus. Dan persesuaian
ini memungkinkan kita mengembangkan bentuk-bentuk pastoral yang kreatif yang
sesuai dengan pandangan orang Banjar, namun juga tidak bertentangan dengan
ajaran Yesus.
Daftar Rujukan
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial.
Jakarta: Dian Rakyat.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1981. Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yustinus CM dan Y. I Wayan Marianta SVD (eds.).
2012. art. Embrio Manusia: Sesuatu atau
Seseorang? Identitas dan Status Embrio dalam Ajaran Gereja Katolik Dari Donum
Vitae Sampai Dignital Personae (Benny Phang) dl Embrio: Ciptaan Tuhan atau
Produk Manusia?. Malang: STFT Widya Sasana.
http://www.wikipedia-indonesia-sukubanjar.com,
(diakses 14 Maret 2013).
Sumber Bacaan
Ensiklik “Evangelium
Vitae (Injil Kehidupan)” Yohanes Paulus II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar