Jumat, 07 November 2014

Upacara Kelahiran Suku Banjar

Upacara Kelahiran Anak Pada Urang Banjar

1.      Pengantar

  Setiap suku di Indonesia memberi momen khusus pada tahap-tahap hidup manusia seperti kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian. Begitu pula dengan suku Banjar. Suku Banjar memercayai manusia pada saat-saat tertentu dalam hidupnya mengalami masa-masa kritis. Masa kritis itu adalah masa yang penuh ancaman dan bahaya (Koentjaraningrat, 1985), yaitu peralihan dari tahap hidup yang satu menuju tahap hidup yang lain (dari masih berupa janin sampai meninggal dunia). Karena masa-masa itu dianggap masa yang diliputi ancaman dan bahaya, maka perlunya suatu upaya untuk menetralkannya, agar masa-masa itu dapat dilalui dengan lancar dan selamat.  Upaya-upaya yang dilakukan dengan menyelenggarakan upacara atau ritual yang dikenal sebagai upacara siklus hidup manusia yang meliputi: kehamilan, kelahiran, sunatan (khitanan), perkawinan dan kematian. Tulisan ini secara khusus membahas upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.

2.      Suku Banjar
            Suku Banjar (bahasa Banjarnya Urang Banjar) adalah mayoritas masyarakat yang mendiami provinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat Banjar banyak bermukim di pesisir pantai atau DAS karena nenek moyang mereka adalah orang-orang Melayu yang terkenal dengan keberaniannya mengarungi lautan. Masyarakat Banjar identik dengan agama Islam. Sebenarnya dulu jauh sebelum Islam masuk ke daratan Kalimantan banyak dari masyarakat Banjar “beragama” Kaharingan.
            Pusat dari suku Banjar adalah bagiah hilir Sungai Barito. Secara Linguistik bahasa Banjar adalah perpaduan dari bahasa Melayik dan bahasa Barito Raya. Secara teritorial masyarakat Banjar tidak hanya bermukim di Kalimantan Selatan, tapi juga di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Terutama di dataran rendah dan DAS daerah tersebut.  Bahkan di Kalimantan Barat pun juga ada seperti di Kelurahan Banjar Serasan (Wikipedia Indonesia). Suku Banjar sering juga disebut Melayu Banjar.  

3.      Masa Kehamilan
            Masa kehamilan bagi orang Banjar sangatlah penting agar ibu dan bayi yang dilahirkan dapat  sehat dan tidak mengalami sesuatu apapun. Maka saat ibu mengandung sang jabang bayi harus dirawat dan dipersiapkan sebaik mungkin. Salah satunya dengan upacara Mandi Hamil (Depdikbud Kalsel, 1981/1982).

            Upacara Mandi Hamil dilakukan dua kali yaitu disebut Batapung Tawar Tian (saat kehamilan berusia tiga bulan) dan Tian Madaring (ketika kehamilan berusia tujuh bulan). Upacara ini sebenarnya cukup sederhana, wanita yang mengandung  dimandikan dengan banyu Yasin (air asin) yang dicampur dengan bunga-bungaan. Hal ini harus dilakukan oleh wanita-wanita tua yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya atau dengan suaminya, juga bisa dilakukan oleh suami. Untuk melaksanakan upacara ini pihak keluarga harus meminta Banyu Yasin dari bidan yang akan membantu proses kelahiran si jabang bayi. Maksud dan tujuan upacara ini adalah untuk menolak bala, mohon keselamatan dari Tuhan Yang Mahakuasa agar selama masa kehamilan tidak mengalami keguguran. Karena menurut kepercayaan masyarakat  Banjar, bahwa wanita yang sedang hamil suka diganggu oleh makhluk-makhluk halus (Depdikbud Kalsel, 1982/1982).

4.      Upacara Kelahiran
·         Peralatan dan Fungsi

            Peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada masyarakat Banjar sebagai berikut: pelepah pinang, kapit (wadah tembikar yang bentuknya menyerupai pot bunga kecil), sembilu, sarung, kain batik, tepung-tawar, madu, kurma, garam, kukulih (bubur yang terbuat dari beras ketan), seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, dan rempah-rempah untuk memasak ikan.
            Pelepah pinang dipakai untuk membungkus tembuni (ari-ari). Kapit digunakan untuk tempat alas tembuni. Sarung  digunakan untuk membersihkan bayi yang baru lahir. Kain batik digunakan untuk alas si bayi. Sembilu digunakan untuk memotong tali pusat. Tepung-tawar digunakan untuk menaburi  tubuh bayi agar tidak diganggu oleh roh-roh jahat. Madu dan kurma digunakan untuk mengoles bibir bayi. Sedangkan  seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, rempah-rempah untuk memasak ikan diberikan kepada dukun bayi sebagai ungkapan syukur dan terima kasih.

·         Jalannya Upacara
            Ketika kandungan berusia 9 bulan maka pihak keluarga menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kelancaran proses kelahiran jabang bayi ke dunia. Antara lain selembar pelepah pinang dan sebuah kapit. Kedua hal ini digunakan untuk menyimpan tembuni. Selain itu pihak keluarga juga mengadakan selamatan dengan membuat kukuih. Kukuih ini diberi dengan untaian doa-doa dari Alqur-an, lalu diputarkan pada kepala si ibu setelah itu boleh dimakan oleh semua keluarga. Maknanya adalah ucapan syukur atas kelancaran proses kelahiran. 


·       Proses Kelahiran
            Masyarakat Banjar biasa menjalani proses kelahiran di rumah dan dibantu oleh dukun beranak (bidan). Setelah bayi lahir tali pusatnya dipotong menggunakan sembilu, potongan tali pusat itu ditaruh dalam kapit dan ditaburi sedikit garam. Maksudnya agar si bayi kelak dalam hidupnya tidak menjadi tawar, sebagaimana fungsi garam adalah untuk mengasinkan makanan. Kemudian, ditutup dengan daun pisang lalu diikat dengan rotan, setelah itu ditanam di bawah pohon besar atau di bawah bunga-bungaan atau juga dihanyutkan di sungai. Ini berkaitan dengan kepercayaan urang Banjar yang menganggap bahwa jika tali pusat ditanam di bawah pohon yang besar, kelak bayi yang bersangkutan (diharapkan) akan menjadi "orang besar". Kemudian, jika di bawah bunga-bungaan maka kelak namanya akan menjadi harum. Dan, jika dihanyutkan ke sungai, harapannya kelak si bayi menjadi handal dalam melaut.  
Selain itu, ada pula yang mengikatkan tali pusat pada sebatang pohon. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak merantau (keluar kampung). Jadi, perlakuan atas tali pusat bergantung pada apa yang diinginkan oleh orang tua terhadap bayinya dikemudian hari. Sebagai catatan, tidak seluruh tali pusat yang diputus akan ditanam, dihanyutkan atau diikat pada sebatang pohon besar, melainkan (sisanya) ada yang disimpan baik-baik untuk dihimpun menjadi satu bersama tali pusat saudara-saudarinya yang lain. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak saling bertengkar. Dengan kata lain, agar sebagai saudara selalu hidup rukun dan damai. Sedangkan tembuni dikubur di bawah rumah, menurut kepercayaan urang Banjar bahwa tembuni adakah kembaran si bayi. Untuk itu perlu dikubur di bawah tempat tidur si bayi agar kembarannya (tembuni) ini selalu menemani dan menjaga si bayi, apalagi saat sedang tidur.
Setelah pemotongan tali pusat, bayi dibersihkan dengan sarung atau kain batik Banjar dan diletakkan di atas talam yang dialas dengan sarung dan kain batik juga. Bayi diadzankan oleh ayahnya, maknanya agar yang didengar pertama oleh bayi adalah kalimat Allah. Dengan demikian kelak bayi dapat  taat beragama dan bertakwa kepada Allah. Setelah itu, bibir, tangan, dan kaki bayi dioleasi dengan madu dan kurma. Maknanya agar kelak bayi dapat bertutur kata dan bertingkah-laku yang manis dan sopan.

·         Sesudah Kelahiran
            Beberapa hari setelah kelahiran ada satu upacara lagi yaitu upacara bapalas-bidan. Seturut dengan namanya maka upacara ini dipimpin oleh bidan yang membantu proses kelahiran si bayi. Bidan mengucapkan berbagai mantera dan mampalas (memberkati) sang bayi. Maknanya agar si bayi selalu dijaga oleh kembarannya (tembuni) dan terhindar dari gangguan roh-roh jahat. Selain itu agar ibu si bayi selamat dan sejahtera selama membesarkan si bayi. Upacara diakhiri dengan makan bersama sebagai ucapan syukur.   
            Setelah bayi berumur satu minggu ada upacara disebut tasmiah (pemberian nama), dengan susunan: pembacaan Ayat-ayat Suci Al Quran (Surat Ali Imran) oleh penghulu atau mualim, pemberian nama oleh orang tua atau kerabat, dan barjanji. Uniknya saat pemberian nama seluruh kerabat juga memberi nama pada si bayi. Caranya setiap kerabat menulis nama pada sebuah kertas lalu digulung dan ditancapkan pada baskom yang diisi beras. Setelah itu bayi dibaringkan di atas baskom itu dan dibiarkan menyentuh pada salah satu kertas yang ditancapkan itu. Ketika si bayi sudah menyentuh pada salah satu kertas itu, maka kertas diambil dan dibacakan sehingga itulah yang akan menjadi nama sang bayi.  Sebagai catatan, dalam barjanji, ketika dibacakan kalimat asyrakal, si bayi dikelilingi semua kerabat dan tamu yang hadir. Mereka, termasuk mualim atau penghulu, diminta untuk menepung-tawari (memberkati) si bayi. Dengan berakhirnya upacara tasmiah ini, maka berakhirlah rangkaian upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.

5.      Nilai Budaya
            Kelahiran adalah satu tahap pada lingkaran hidup manusia. Bagi masyarakat Banjar peristiwa kelahiran bukanlah peristiwa hidup yang biasa, tapi peristiwa yang sangat istimewa untuk itu perlu dirayakan. Karena dari peristiwa kelahiran ini apabila direfleksikan lebih mendalam mengandung nilai-nilai kehidupan sebagai acuan hidup bersama. Nilai-nilai itu adalah nilai ketakwaan, kesopan-santunan, kewibawaan dan kerukunan.
            Nilai ketakwaan tercermin dari tindakan ayah yang mendaraskan doa-doa (adzan) pada telinga si bayi, agar suara yang didengar pertama oleh bayi adalah kalimat Allah. Sehingga kelak diharapkan si bayi dapat hidup takwa dan taat kepada Allah.
            Nilai kesopanan dan kewibawaan tercermin pada pemolesan madu dan kurma pada bibir, tangan dan kaki si bayi. Hal ini bermakna agar kelak si bayi dapat bertutur kata dan bertingkah laku yang manis dan penuh sopan santun terhadap orang lain
            Nilai kerukunan tercermin pada penyimpanan tali pusat sang bayi yang disatukan dengan tali pusat saudara-saudarinya. Dengan maksud agar kelak sang bayi dapat hidup rukun dengan saudara-saudarinya dan tidak bertengkar.
6.      Peluang Pastoral Bagi Perwartaan Iman Katolik
·         Penghargaan atas Status Hidup Janin
            Masyarakat Banjar sangat menghargai hak hidup janin yang sedang dikandung. Hal ini tergambar jelas dari Upacara Mandi Hamil seperti dijelaskan di atas. Upacara Mandi Hamil pertama-tama bertujuan agar ibu yang sedang mengandung dilindung oleh Tuhan sehingga tidak mengalami keguguran. Menurut kepercayaan orang Banjar bahwa wanita yang sedang hamil sering diganggu oleh roh-roh jahat. Dengan kata lain masyarakat Banjar sangat tidak mengharapkan terjadinya keguguran pada janin yang sedang dikandung. Sebab bagi masyarakat Banjar hidup adalah suatu yang sangat berharga oleh sebab itu harus dijaga dan dirawat sebaik mungkin.

            Bagi masyarakat Banjar keguguran saja tidak boleh apalagi menggugurkan. Tindakan menggugurkan janin merupakan tindakan pembunuhan. Apabila wanita Banjar ketahuan menggugurkan janin yang ia kandung, maka akan dikenakan sanksi adat berupa pembayaran sejumlah guci China (balanga) kepada pihak suami (sistem patriarkat), sekarang diganti dengan sejumlah uang. Karena suami turut “menyumbangkan” benih kehidupan pada janin yang digugurkan.     
            Pandangan ini hampir sama dalam ajaran Gereja Katolik. Ajaran Gereja Katolik menyatakan secara jelas dan tegas bahwa sejak masa pembuahan (bersatunya sel sperma dan sel telur) embrio adalah manusia (individu) baru yang bukan ayah atau ibunya (Bdk. Yustinus dan Marianta (eds), 2012:124-125). Karena janin itu, sebagai manusia baru, ia juga mempunyai hak-hak seperti manusia-manusia lainnya, salah satunya hak untuk hidup. Dengan demikian tidak boleh digugurkan sebab pengguguran itu pembunuhan atas hidup manusia. Ajaran Gereja tentang status nilai hidup manusia terangkum dalam ensiklik yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II yaitu ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan).   

·         Garam  (Manusia yang Berkualitas)
Selain itu, peluang pastoral yang memungkinkan bagi pewartaan iman katolik, berangkat dari tindakan penaburan garam pada potongan tali pusat bayi. Hal ini berarti adanya sebentuk harapan orang tua bahwa kelak ia akan menjadi seperti garam yang memberi rasa pada orang-orang di sekitarnya.  Konsep ini bersesuaian dengan ajaran Yesus. Dalam Mat 5:13 dikatakan: "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” Fungsi garam adalah untuk memberi rasa (asin) pada makanan agar tidak tawar. Maka manusia hendaknya seperti garam yang memberikan rasa pada masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain manusia harus berguna bagi orang lain. Dari hal ini terlihat adanya kesesuaian antara konsep masyarakat Banjar dengan ajaran Yesus. Dan persesuaian ini memungkinkan kita mengembangkan bentuk-bentuk pastoral yang kreatif yang sesuai dengan pandangan orang Banjar, namun juga tidak bertentangan dengan ajaran Yesus.



Daftar Rujukan
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan   Kebudayaan. 1981. Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yustinus CM dan Y. I Wayan Marianta SVD (eds.). 2012. art. Embrio Manusia: Sesuatu atau Seseorang? Identitas dan Status Embrio dalam Ajaran Gereja Katolik Dari Donum Vitae Sampai Dignital Personae (Benny Phang) dl Embrio: Ciptaan Tuhan atau Produk Manusia?. Malang: STFT Widya Sasana.
http://www.wikipedia-indonesia-sukubanjar.com, (diakses 14 Maret 2013).

Sumber Bacaan
Ensiklik “Evangelium Vitae (Injil Kehidupan)” Yohanes Paulus II.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar