Jumat, 31 Oktober 2014

Hakekat Kematian Manusia Dayak Ngaju dalam Upacara Tiwah



Makna Kematian dalam Upacara Tiwah pada Suku Dayak Ngaju
I.     Pengantar
            Filosof Martin Heidegger pernah mengatakan bahwa manusia mengalami “keterlemparan” dalam dunia. Keterlemparan artinya bahwa manusia tidak dapat memilih dan menentukan hidupnya di dunia. Ia harus menerima kenyataan eksistensi hidupnya dalam dunia. Salah satu hal yang tidak bisa manusia hindarkan adalah kematian. Kematian suatu kenyataan manusiawi yang harus manusia hadapi dan terima dalam sejarah perjalanan hidupnya. Kematian kenyataan yang tidak dapat dihindari.
            Kematian bagi sebagian orang adalah sebuah kenyataan yang menakutkan. Namun tidak sedikit juga beberapa orang atau kelompok menganggap kematian bukanlah sebuah peristiwa yang biasa. Bagi mereke kematian mengungkapkan suatu makna tertentu tentang relasinya dengan Sang Khalik. Sejarahwan Perancis, Philipe Aries menggambarkan tiga pemaknaan tentang kematian.[1] Pertama, kematian hanya sebuah peristiwa hidup biasa yang dialami setiap mahluk yang bernapas. Kedua, kematian adalah sebuah peristiwa sederhana, karena berlangsung dengan cara yang sama. Ketiga, kematian berlangsung dalam konteks sosial. Pada konteks yang ketiga inilah penulis hendak membahas makna kematian dalam konteks sosial masyarakat suku Dayak Ngaju.
            Dalam beberapa kebudayaan kematian bukanlah perkara yang sepele, yang pasti menimpa setiap manusia. Kematian mempunyai makna yang mendalam. Bahkan bagi sebagian orang kematian hewan peliharaan kesayangannya pun menjadi begitu sangat menyedihkan dan menyakitkan, apalagi dalam konteks ini adalah kematian manusia. Dalam budaya tertentu kematian menampilkan sisi religiositas. Mereka berkeyakinan bahwa kematian bukanlah peristiwa biasa namun sebuah peralihan hidup dari dunia fana menuju dunia yang kekal. Pada suku Dayak Ngaju kematian mempunyai nilai yang sakral, yaitu ketika mengalami kematian  roh manusia yang mati akan beralih menuju ke Lewu Tatau (dapat diartikan surga). Namun peralihan itu tidak serta-merta beralih begitu saja, tetapi harus diadakan suatu upacara yang besar untuk mengantar Selumpuk Liau (roh orang yang meninggal) ke negeri para arwah yaitu Lewu Tatau tadi. Upacara itu disebut Upacara Tiwah. Maka tulisan ini akan membahas makna kematian pada suku Dayak Ngaju, relasi manusia dengan alam dan Tuhan dan nilai-nilai budaya yang bisa dipetik dalam Upacara Tiwah tersebut.         
II.  Suku Dayak Ngaju
            Suku Dayak Ngaju merupakan satu dari sekian ratusan suku dayak yang mendiami bumi Kalimantan. Suku Dayak Ngaju adalah mayoritas suku yang mendiami Provinsi Kalimantan Tengah. Sebenarnya Suku Dayak Ngaju dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub-suku yang mendiami enam sungai besar yaitu; Sungai Seruyan, Katingan, Kahayan, Mentaya Kapuas dan Sebangau.[2] Masyarakat Dayak Ngaju dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua macam yaitu bahasa Sangiang (bahasa kuno atau kerajaan) dan bahasa Kahayan (bahasa sehari-hari). Bahasa Sangiang digunakan oleh orang-orang tua zaman dahulu dan agak rumit. Bahasa ini sudah hampir hilang dan banyak generasi muda Dayak Ngaju yang tidak bisa lagi berbahasa Sangiang. Mereka cenderung menggunakan bahasa Kahayan yang tidak rumit dan banyak dipakai dalam masyarakat luas, sebagai bahasa sehari-hari.
            Dari akar katanya dalam bahasa Sangiang “Ngaju” berarti hulu atau hulu sungai. Kalau diartikan secara harafiah orang-orang Dayak Ngaju adalah orang-orang yang tinggal di hulu sungai (pedalaman). Maka tidak heran sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal di hulu-hulu sungai yang penulis sebutkan di atas.  
III.   Makna Kematian Pada Suku Dayak Ngaju
            Konsep kematian pada suku Dayak Ngaju tidak bisa dilepaskan dari mite Penciptaan Batang Garing.[3] Di mana diceritakan Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Kuasa) menciptakan Batang Garing (Pohon Kehidupan). Pohon ini berbuahkan emas, permata, intan dan berlian, yang kemudian dimakan oleh burung Tingang Rangga Bapantung Nyahu. Melihat hal tersebut Hatalla melepaskan burung tingang jantan peliharaannya bernama Tembarirang Bapantan Langit, yang juga hinggap dan memakan buah Batang Garing tersebut. Hal ini menimbulkan kecemburuan, sehingga terjadilah perkelahian di antara keduanya. Perkelahian tersebut mengakibatkan Batang Garing hancur lebur, kehancuran batang Garing ini menciptakan alam semesta segala isinya. Dari kehancuran itu pula melahirkan sepasang insan awali, dua manusia pertama. Sang wanita bernama Putir Kahukum Bangking Garing (Puteri dari Kepingan Gading) dan sang pria bernama Manyamei Limut Garing Balua Unggon Tingang (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh Tingang). Keduanya sepakat untuk menikah dan mendapatkan keturunan pertama, berupa segala macam binatang. Selanjutnya lahirlah keturunan manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno.
·         Maharaja Sangiang adalah leluhur para sangiang (dewa)
·         Maharaja Sangen adalah leluhur para pahlawan
·         Maharaja Buno adalah leluhur manusia yang mendiami bumi ini.
Ranying Hatalla Langit menurunkan Maharaja Buno ke Pantai Danum Kalunen (dunia) dengan Palangka Bulau, inilah yang diyakini sebagai nenek moyang suku Dayak Ngaju. Sedangkan kedua saudaranya yang lain tinggal di negeri Pantai Tasik Riak Bulau di langit ketiga.[4] Sebab orang Dayak Ngaju meyakini bahwa langit terdiri dari 7 tingkat di mana Ranying Hatalla di langit ketujuh bertahta dengan segala kuasanya. Sedangkan lapisan langit terbawah adalah dunia tempat manusia fana hidup.  Sebelum menurunkan Maharaja Buno, Ranying Mahatalla memberitahukan kepadanya bahwa untuk bisa berkumpul lagi dengan kedua saudaranya, ia harus mengadakan upacara Tiwah. Upacara Tiwah itu sebagai sarana agar roh manusia yang telah meninggal dapat berkumpul lagi dengan kaum kerabatnya yang lebih dulu meninggal.  
Bagi masyarakat Dayak Ngaju kematian bukanlah akhir dari segalanya, kematian adalah sebuah “gerbang” untuk menuju kepada kehidupan yang lebih sempurna yaitu Lewu Tatau. Mereka meyakini Lewu Tatau adalah tempat atau kondisi yang selalu dirindukan manusia setelah kematiannya. Ketika roh orang yang telah meninggal sampai ke Lewu Tatau mereka akan merasakan kebahagiaan abadi. Di mana tidak ada lagi penderitaan, tangisan, duka dan kesakitan seperti yang manusia rasakan selama hidup di dunia fana ini. Lewu Tatau adalah kebahagiaan kekal, di sini Lewu Tatau dapat diartikan sebagai surga. Memang dalam keyakinan orang Dayak Ngaju yang bersumber dari Hindu Kaharingan, tidak ditemukan konsep tentang neraka. Lalu bagaimana nasib orang selama hidupnya selalu berbuat kejahatan? Menurut keyakinan mereka orang jahat tidak akan pernah masuk ke Lewu Tatau, tapi arwah mereka akan terus “bergentayangan” mengembara di dunia ini. Arwah-arwah jahat inilah yang mengganggu manusia yang masih hidup atau dikenal dengan istilah kambe (hantu).[5] Bagi orang Dayak Ngaju Arah dan tujuan hidup manusia tidak hanya tertuju di dunia fana ini, tetapi manusia harus juga mengarahkan pandangannya ke dunia atas, tempat di mana Ranying Mahatalla Langit berkuasa. Namun di sisi lain pula dengan keberadaan Jata Balawang Bulau sebagai penguasa dunia bawah (yang adalah bayang-bayang dari Ranying Mahatalla sendiri) maka manusia perlu memperhatikan juga kebutuhan untuk hidup di dunia ini. Dengan kata lain dua kebutuhan itu merupakan hal sangat mendasar dan perlu adanya keseimbangan. Sebab dalam pandangan orang Dayak Ngaju kehidupan di dunia akan berpengaruh besar pada kehidupan selanjutnya yaitu di Lewu Tatau. Hidup manusia bersumber dari dan akan kembali kepada Yang Di Atas, Sang Pemberi Kehidupan.
Roh dalam keyakinan orang Dayak Ngaju ada dua macam yaitu; roh baik yang senantiasa memberi bantuan, rejeki dan segala hal yang baik kepada manusia. Sedangkan roh jahat yang selalu mengganggu manusia, dalam rupa sakit penyakit, kesialan, kecelakaan, musibah, sampar dan hal-hal yang tidak baik lainnya. Setiap mengadakan ritual atau upacara, selalu diberikan dua sesajian yang satunya untuk roh baik sebagai ungkapan terima kasih, dan sesajian yang lain untuk roh jahat maksudnya agar tidak menganggu manusia. Roh-roh tersebut sebenarnya adalah para Sangiang anak-anak dari Maharaja Sangiang dan tidak terlihat oleh mata jasmani. Para Sangiang dipercaya oleh Ranying Hatalla untuk menguasai daerah, tempat, barang, fenomena alam, kejadian dan hal-hal tertentu yang ada di dunia ini.[6] Contohnya:
·         Rajan Matan Andau, Penguasa Matahari
·         Rajan Selong Tamanan, Penguasa Padi
·         Nyaru Menteng, Penguasa Halilintar
·         Rajan Pali, Penguasa Pantangan
·         Rajan Peres, Penguasa Penyakit
·         Masih banyak lagi yang lain.
Maka, tidaklah mengherankan apabila orang Dayak Ngaju memberi sesajian di tempat-tempat yang dianggap keramat atau sakral. Mereka meyakini di tempat-tempat itu ada roh-roh yang menguasainya dan roh-roh itu sangat mempengaruhi hidup mereka. Hal ini bukan berarti mereka menyembahnya tetapi sebagai suatu penghormatan, ungkapan terima kasih atau mohon agar tidak diganggu. 
IV.   Upacara Tiwah

            Upacara Tiwah adalah upacara kematian terakhir dan terbesar menurut kepercayaan agama Kaharingan. Upacara ini dalam bahasa Dayak Ngaju disebut Tiwah Lale, Magah Salumpuk Liau Uluh Matei, kurang lebihnya upacara yang dilakukan untuk mengantar arwah atau roh orang yang meninggal dunia menuju Lewu Tatau Habaras Bulau Intan Hakarangan Lamiang Dia Bakarumpang Tulang (negeri yang kaya raya berpasirkan emas, berkerikilkan intan dan merjan, di mana tulang-tulang tidak mengalami kerapuhan) yang letaknya di langit ke tujuh.[7] Menurut kepercayaan Kaharingan arwah atau roh orang meninggal tidak dapat sampai dan memasuki Lewu Tatau apabila belum dilaksanakan upacara Tiwah. Hal ini terasa menjadi beban bagi keluarga yang ditinggalkan.
            Upacara Tiwah merupakan pesta yaang besar, dan juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Dalam penyelengaraannya berkumpul beberapa keluarga dalam satu desa, dan bahkan mungkin diikuti juga keluarga-keluarga dari desa lain. Dengan cara demikian beban biaya dirasa ringan karena ditanggung secara bersama-sama. Terkadang yang ditiwahkan tidak hanya satu orang saja, tetapi juga beberapa orang dan bahkan puluhan orang yang telah meninggal. Upacara ini tidak menuntut untuk segera diselenggarakan, pesta dapat diselenggarakan bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun setelah orang yang akan ditiwahkan meninggal. Tergantung dari kesiapan tenaga dan biaya dari keluarga yang menyelenggarkan pesta Tiwah tersebut. Karena Tiwah suatu upacara kematian sakral terbesar dibentuk suatu panitia dan ditunjuk seorang Bakas Tiwah (ketua tiwah) dengan mempertimbangkan kemapuan sosial ekonomi dan kecakapannya dalam mengatur upacara. Selain itu, dipersiapkan juga segala hal yang diperlukan untuk pelaksanaan pesta ini,[8] seperti:
1)      Mendirikan Balai Tiwah: tempat untuk melakasanakan pesta Tiwah
2)      Muluh Gandang, yaitu menyiapkan alat-alat bunyian Tiwah seperti gong, gendang, kangkanong, garantung, dll
3)      Mendirikan Sangkaraya, tempat penyimpanan tengkorak orang yang akan ditiwahkan dan tengkorak manusia hasil mengayau[9]
4)      Mendirikan Sapundu, patung yang menyimbolkan orang ditiwahkan, uniknya bila yang ditiwahkan perempuan maka patungnya berbentuk laki-laki juga sebaliknya. Dan tempat mengikat binatang korban (biasanya sapi atau kerbau)
5)      Menyiapkan binatang korban, kerbau, sapi, babi dan ayam sesuai dengan banyaknya masyarakat  yang datang menghadiri pesta ini. Tidak hanya dari satu kampung, tapi dari berpuluh-puluh kampung tetangga. Maka tidak heran orang yang hadir bisa mencapai ribuan.
6)       Dan hal-hal kecil lainnya.
            Setelah semua musyawarah, persiapan dan perlengkapan yang berkaitan dengan Tiwah, termasuk hari dan tanggal pelaksanaan upacara Tiwah (yang biasanya ditentukan lewat mimpi atau minta petunjuk dari para Sangiang) telah selesai dan matang. Maka, upacara Tiwah siap diselenggarakan.
V.  Tata Cara-Laksana Upacara Tiwah
            Pesta Tiwah umumnya dilaksanakan selama 3-7 hari, terkadang juga selama 30 hari untuk kepala suku, temanggung, raja dan orang-orang yang dihormati pada masyarakat adat Dayak. Adapun pesta Tiwah dapat dibagi menjadi 3 bagian[10], yaitu:
1)      Langkah persiapan (yang telah dijelaskan di atas)
2)      Pelaksanaan acara pokok
3)      Pelaksanaan Balaku Untung atau permintaan doa.
V.i. Acara Pokok
1.      Hari pertama
Upacara diawali dengan mendirikan sebuah Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai atau rumah dalam waktu satu hari. Syarat yang harus dipenuhi yaitu membunuh seekor babi yang harus dilakukan sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau dibangun, Bakas Tiwah melakukan Pasar Sabalulu yaitu memberikan tanda barang-barang yang akan digunakan dalam upacara Tiwah dan menyediakan daun Silar yang nantinya akan digunakan untuk memerciki Balai Pangan Jandau dengan darah babi yang telah dibunuh tadi.
2.      Hari kedua
Hari kedua mendirikan Sangkaraya yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk menyimpan tulang-belulang Salumpuk Liau (orang meninggal yang ditiwahkan). Lalu seekor babi dibunuh dan darahnya untuk memalas (memberkati) Sangkaraya. Di sekitar Sangkaraya dipasang bambu yang diikat dengan kain-kain putih dan bendera kuning panjang disebut bendera Ngambang Kabanteran. Di samping Sangkaraya didrikan juga Sapundu, tiang yang berbentuk manusia digunakan untuk mengikat hewan korban berupa kerbau atau sapi.
Pada hari kedua ini pula mulai dimainkan alat-alat musik yang telah diperciki dengan darah babi. Seorang penawur mulai melaksanakan tugasnya untuk menghubungi Selumpuk Liau yang akan disertakan dalam upacara Tiwah tersebut, sekaligus mengundang para Sangiang untuk hadir dalam upacara itu. Sedangkan para pelaksana Tiwah, terdiri dari Balian, Basir, Tukang Hanteran, Bakas Tiwah, Anak Tiwah dan tetua adat dengan berbusana adat. Kecuali bakas tiwah dan salah satu anak tiwah berbusana perang dengan membawa mandau dan tombak di tangan. Orang-orang tersebut menganjan (menari) mengelilingi Sangkaraya dan sandung sebanyak tujuh kali menyambut kehadiran para Sangiang bersama mereka untuk mengantarkan selumpuk liau ke Lewu Tatau.
3.      Hari ketiga
Hari ketiga hewan-hewan kurban terutama sapi atau kerbau diikatkan di tiang Sapundu, kemudian tarian menganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi Sangkaraya. Semua alat musik dibunyikan dan diringi dengan pekik kegembiraan. Suasana menjadi riuh-gembira. Kemudian beras merah dan beras kuning ditaburkan ke empat penjuru mata angin. Setelah menganjan selesai, dilanjutkan dengan pembunuhan binatang korban yang harus dilakukan oleh Bakas Tiwah dan Anak Tiwah dengan cara menikamnya dengan tombak. Darah binatang dibunh tadi dikumpulkan pada sebuah balanga (guci) yang digunakan untuk membasuh kotoran. Orang Dayak meyakini bahwa darah binatang yang dikurbankan adalah darah Rawing Tempun Telun yang telah disucikan oleh Hatalla.
Kemudian darah itu juga digunakan untuk manyaki-memalas semua orang yang berada dalam kampung tersebut dan semua peralatan yang digunakan yang dipakai dalam upacara Tiwah itu. Caranya darah binatang kurban dicampur beras lalu dilemparkan ke segala penjuru. Dengan demikian, diharapkan semua jadi baik, jauh dari segala penyakit, berumur panjang dan banyak rejeki.
4.      Hari keempat
Pada hari keempat ini diyakini bahwa selumpuk liau juga turut hadir dalam pesta Tiwah tersebut, walaupun kehadirannya tidak terlihat mata jasmani. Di dekat Sangkaraya didirikan satu lagi tiang panjang disebut Tihang Mandera. Kegunaan tiang ini sebagai tanda pemberitahuan kepada siapapun yang datang ke kampung itu bahwa sedang ada pelaksanaan pesta Tiwah, berarti kampung tersebut tertutup bagi lalu lintas umum istilahnya pali (pantang). Orang yang tidak menaati akibatnya akan terkena penyakit atau kecelakaan. Maka, orang-orang yang hadir dalam pesta Tiwah ini harus disaki-dipalas terlebih dahulu.
Kemudian seorang penawur duduk di atas gong untuk berkomunikasi dengan para Sangiang. Pertama-tama penaawur berkomunikasi dengan semua orang yang telah meninggal untuk memberitahukan mereka akan segera diantar oleh para Sangiang ke Lewu Tatau. Kemudian penawur berkomunikasi dengan para Sangiang agar mengantarkan selumpuk liau ke Lewu Tatau dan sekaligus memohon perlindungan bagi kerabat-keluarga selumpuk liau agar dijauhkan dari segala sakit-penyakit selama pelaksanaan upacara Tiwah.
5.       Hari kelima
Hari kelima acara dilanjutkan dengan manambang laluhan. Laluhan adalah sebuah rakit besar yang dibuat dari beberapa perahu yang dirakit menjadi satu dan dihias dengan bambu hias serta bendera besar dan kecil. Kegiatan ini memberi bantuan berupa beras, sapi, babi, kerbau dan sebagainya. Kegiatan memberi bantuan inilah yang disebut dengan “Magah Laluhan”.[11] Laluhan biasanya diiringi oleh perahu-perahu kecil, sebelum singgah laluhan berputar-putar sebanyak tujuh kali di tengah sungai, lalu merapat ke tepian. Laluhan disambut oleh Bakas Tiwah dan dilaksanaan upacara potong pantan. Setelah itu mereka berkumpul dekat sangkaraya untuk menghitung jumlah bantuan tersebut. Lalu dilanjutkan dengan pembunuhan hewan-hewan kurban. Pertama-tama hewan-hewan itu diikat pada sapundu, lalu beberapa orang menganjan mengelilingi sapundu sebanyak tujuh kali, dan hewan kurban ditikam menggunakan tombak. Hewan-hewan kurban itu dimasak untuk memberi makan semua orang yang hadir dalam pesta Tiwah itu.
6.      Hari keenam
Pada hari keenam ini diyakini bahwa selumpuk liau telah sampai di Lewu Tatau, di kolong langit ketujuh tempat Ranying Mahatalla Langit berkuasa. Hal ini diketahui dari petunjuk mimpi dari kerabat-keluarga yang ditiwahkan. Upacara ini dinamakan Munduk Hanteran Magah Liau merupakan upacara puncak dalam pesta Tiwah. Yaitu, sebentuk ucapan syukur dan terima kasih kepada para Sangiang karena telah bersedia mengantarkan para selumpuk liau ke Lewu Tatau, secara khusus ucapan terima kasih disampaikan kepada Mahatalla atas ketersediaan-Nya menerima salumpuk liau untuk tinggal di sisi-Nya. Ucapan syukur berbentuk sesajian yang diberikan untuk para Sangiang. Pada hari ini juga diadakan pesta besar yaitu dengan makan-makan, minum-minum dan bergembira ria sebab selumpuk liau sudah berbahagia di Lewu Tatau.
V.ii. Balian Balaku Untung
7.      Hari ketujuh
Hari ini adalah hari terakhir dari pelaksanaan pesta Tiwah yang dinamakan Balian Baluku Untung. Kegiatan ini dilakukan sebagai rasa syukur atas keberhasilan melaksanakan pesta Tiwah yang menelan biaya besar dan membutuhkan waktu yang lama. Melalui acara ini semua anggota pelaksana Tiwah memohon kepada Ranying Mahatalla Langit agar selalu diberi rejeki yang berlimpah, terhidar dari bencana, sakit-penyakit dan diberi umur yang panjang.
Setelah semuanya selesai sebagian dari anggota tiwah mengantarkan para rohaniwan (basir, balian, penawur, tukang hanteran) dan tetua adat yang terlibat dalam pesta Tiwah serta diberi imbalan sebagai ucapan terima kasih kembali ke tempat masing-masing. Dengan demikian rangkaian upacara pesta Tiwah sudah selesai.
  
VI.    Nilai Budaya
Dalam tata pelaksanaan upacara Tiwah dapat ditemukan beberapa nilai kebijaksanaan hidup manusia Dayak Ngaju. Nilai-nilai itulah yang dipraktekkan dalam seluruh tata pergaulan dan relasi mereka dengan sesama, alam dan Tuhan Yang Mahakuasa. Adapun nilai-nilai tersebut adalah:
1.      Dari segi sosial budaya:
·         Sikap hidup religius dan keyakinan yang tinggi kepada Ranying Hatalla Langit, menajdi dasar motivasi penyelenggaraan seluruh rangkaian upacara Tiwah
·         Orang Dayak Ngaju sangat memperhatikan kewajiban dan kebutuhan antara yang duniawi maupun yang ilahi.
·         Hidup pada hakekatnya menurut manusia Dayak Ngaju adalah dinamis, terlebih perjuangan untuk mencapai kesejahteraan dan juga perjuangan melakukan perbuatan baik secara moral
·         Suatu kewajiban menghormati kepercayaan leluhur
·         Adanya sikap terbuka untuk peran serta pihak luar
·         Tertib hukum dalam hubungan sosial dan tata cara keagamaan
·         Sikap mencintai dan hormat tinggi terhadap alam sekitar
2.      Dari segi sosial-ekonomi
·      Solidaritas dan kerja sama dalam membiayai dan melaksanakan pada suatu acara
·      Penerapan sistem anggaran belanja berimbang dengan sumbangan yang sesuai dengan kemampuan tenaga ataupun dana.
·      Mendorong munculnya pasar musiman dan membuka peluang obyek wisata.






[1] K.Bertens, Keprihatinan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm 120.
[2] Bdk. M.Usop, Upacara Tiwah, Mengantar Roh ke Negeri Arwah (ed). S.Djuweng, ..... hlm 133.
[3] Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur), Palangkaraya: Pusakalima, 2003, hlm 491-510.
[4] Ibid. Tjilik Riwut, hlm 497.
[5] Bdk. L. Dyson  dan Asharini, Tiwah: Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Depdikbud, 1981, hlm 17.
[6] Op. Cit, Tjilik Riwut, hlm 487.
[7] Bdk. Ahmad Yunus dan Sumantri S (eds.), Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Kalimantan Tengah, Jakarta: Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Kebudayaan Daerah, 1985, hlm 46.
[8] Depdikbud Kalimantan Tengah, Tiwah dan Perlengkapannya, Palangkaraya: Depdikbud Kantor Wilayah Kal-Teng, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kal-Teng, 1997-1998, hlm 4-5.
[9] Mengayau adalah kebiasaan suku dayak zaman dulu yang berburu kepala manusia.  
[10] Haester Saleh, Sandung Ngabe Sukah Pahandut, Palangkaraya: Museum Balanga, hlm 10.
[11] Bdk. Log. Cit, Depdikbud Kalimantan Tengah, hlm 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar