Makna
Kematian dalam Upacara Tiwah pada Suku Dayak Ngaju
I.
Pengantar
Filosof Martin Heidegger pernah mengatakan bahwa manusia
mengalami “keterlemparan” dalam dunia. Keterlemparan artinya bahwa manusia
tidak dapat memilih dan menentukan hidupnya di dunia. Ia harus menerima
kenyataan eksistensi hidupnya dalam dunia. Salah satu hal yang tidak bisa
manusia hindarkan adalah kematian. Kematian suatu kenyataan manusiawi yang
harus manusia hadapi dan terima dalam sejarah perjalanan hidupnya. Kematian
kenyataan yang tidak dapat dihindari.
Kematian bagi sebagian orang adalah sebuah kenyataan yang
menakutkan. Namun tidak sedikit juga beberapa orang atau kelompok menganggap
kematian bukanlah sebuah peristiwa yang biasa. Bagi mereke kematian
mengungkapkan suatu makna tertentu tentang relasinya dengan Sang Khalik.
Sejarahwan Perancis, Philipe Aries menggambarkan tiga pemaknaan tentang kematian.[1]
Pertama, kematian hanya sebuah peristiwa hidup biasa yang dialami setiap mahluk
yang bernapas. Kedua, kematian adalah sebuah peristiwa sederhana, karena
berlangsung dengan cara yang sama. Ketiga, kematian berlangsung dalam konteks
sosial. Pada konteks yang ketiga inilah penulis hendak membahas makna kematian
dalam konteks sosial masyarakat suku Dayak Ngaju.
Dalam beberapa kebudayaan kematian bukanlah perkara yang
sepele, yang pasti menimpa setiap manusia. Kematian mempunyai makna yang
mendalam. Bahkan bagi sebagian orang kematian hewan peliharaan kesayangannya
pun menjadi begitu sangat menyedihkan dan menyakitkan, apalagi dalam konteks
ini adalah kematian manusia. Dalam budaya tertentu kematian menampilkan sisi
religiositas. Mereka berkeyakinan bahwa kematian bukanlah peristiwa biasa namun
sebuah peralihan hidup dari dunia fana menuju dunia yang kekal. Pada suku Dayak
Ngaju kematian mempunyai nilai yang sakral, yaitu ketika mengalami
kematian roh manusia yang mati akan
beralih menuju ke Lewu Tatau (dapat
diartikan surga). Namun peralihan itu tidak serta-merta beralih begitu saja,
tetapi harus diadakan suatu upacara yang besar untuk mengantar Selumpuk Liau (roh orang yang meninggal)
ke negeri para arwah yaitu Lewu Tatau
tadi. Upacara itu disebut Upacara Tiwah. Maka tulisan ini akan membahas makna
kematian pada suku Dayak Ngaju, relasi manusia dengan alam dan Tuhan dan
nilai-nilai budaya yang bisa dipetik dalam Upacara Tiwah tersebut.
II. Suku Dayak Ngaju
Suku Dayak Ngaju merupakan satu dari sekian
ratusan suku dayak yang mendiami bumi Kalimantan. Suku Dayak Ngaju adalah
mayoritas suku yang mendiami Provinsi Kalimantan Tengah. Sebenarnya Suku Dayak
Ngaju dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub-suku yang mendiami enam sungai
besar yaitu; Sungai Seruyan, Katingan, Kahayan, Mentaya Kapuas dan Sebangau.[2]
Masyarakat Dayak Ngaju dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Dayak
Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua macam yaitu
bahasa Sangiang (bahasa kuno atau
kerajaan) dan bahasa Kahayan (bahasa sehari-hari). Bahasa Sangiang digunakan
oleh orang-orang tua zaman dahulu dan agak rumit. Bahasa ini sudah hampir
hilang dan banyak generasi muda Dayak Ngaju yang tidak bisa lagi berbahasa
Sangiang. Mereka cenderung menggunakan bahasa Kahayan yang tidak rumit dan
banyak dipakai dalam masyarakat luas, sebagai bahasa sehari-hari.
Dari akar katanya dalam bahasa Sangiang “Ngaju” berarti hulu atau hulu sungai.
Kalau diartikan secara harafiah orang-orang Dayak Ngaju adalah orang-orang yang
tinggal di hulu sungai (pedalaman). Maka tidak heran sebagian besar masyarakat
Dayak Ngaju tinggal di hulu-hulu sungai yang penulis sebutkan di atas.
III.
Makna
Kematian Pada Suku Dayak Ngaju
Konsep kematian pada suku Dayak Ngaju tidak bisa
dilepaskan dari mite Penciptaan Batang
Garing.[3]
Di mana diceritakan Ranying Hatalla
Langit (Tuhan Yang Maha Kuasa) menciptakan Batang Garing (Pohon Kehidupan). Pohon ini berbuahkan emas,
permata, intan dan berlian, yang kemudian dimakan oleh burung Tingang Rangga Bapantung Nyahu. Melihat
hal tersebut Hatalla melepaskan burung tingang jantan peliharaannya bernama Tembarirang Bapantan Langit, yang juga
hinggap dan memakan buah Batang Garing tersebut. Hal ini menimbulkan
kecemburuan, sehingga terjadilah perkelahian di antara keduanya. Perkelahian
tersebut mengakibatkan Batang Garing hancur lebur, kehancuran batang Garing ini
menciptakan alam semesta segala isinya. Dari kehancuran itu pula melahirkan
sepasang insan awali, dua manusia pertama. Sang wanita bernama Putir Kahukum Bangking Garing (Puteri
dari Kepingan Gading) dan sang pria bernama Manyamei
Limut Garing Balua Unggon Tingang (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan
oleh Tingang). Keduanya sepakat untuk menikah dan mendapatkan keturunan pertama,
berupa segala macam binatang. Selanjutnya lahirlah keturunan manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja
Buno.
·
Maharaja
Sangiang adalah leluhur para sangiang (dewa)
·
Maharaja
Sangen adalah leluhur para pahlawan
·
Maharaja
Buno adalah
leluhur manusia yang mendiami bumi ini.
Ranying
Hatalla Langit menurunkan Maharaja Buno ke Pantai
Danum Kalunen (dunia) dengan Palangka
Bulau, inilah yang diyakini sebagai nenek moyang suku Dayak Ngaju.
Sedangkan kedua saudaranya yang lain tinggal di negeri Pantai Tasik Riak Bulau di langit ketiga.[4]
Sebab orang Dayak Ngaju meyakini bahwa langit terdiri dari 7 tingkat di mana
Ranying Hatalla di langit ketujuh bertahta dengan segala kuasanya. Sedangkan
lapisan langit terbawah adalah dunia tempat manusia fana hidup. Sebelum menurunkan Maharaja Buno, Ranying
Mahatalla memberitahukan kepadanya bahwa untuk bisa berkumpul lagi dengan kedua
saudaranya, ia harus mengadakan upacara Tiwah. Upacara Tiwah itu sebagai sarana
agar roh manusia yang telah meninggal dapat berkumpul lagi dengan kaum
kerabatnya yang lebih dulu meninggal.
Bagi
masyarakat Dayak Ngaju kematian bukanlah akhir dari segalanya, kematian adalah
sebuah “gerbang” untuk menuju kepada kehidupan yang lebih sempurna yaitu Lewu Tatau. Mereka meyakini Lewu Tatau adalah tempat atau kondisi
yang selalu dirindukan manusia setelah kematiannya. Ketika roh orang yang telah
meninggal sampai ke Lewu Tatau mereka akan merasakan kebahagiaan abadi. Di mana
tidak ada lagi penderitaan, tangisan, duka dan kesakitan seperti yang manusia
rasakan selama hidup di dunia fana ini. Lewu Tatau adalah kebahagiaan kekal, di
sini Lewu Tatau dapat diartikan sebagai surga. Memang dalam keyakinan orang
Dayak Ngaju yang bersumber dari Hindu Kaharingan, tidak ditemukan konsep
tentang neraka. Lalu bagaimana nasib orang selama hidupnya selalu berbuat
kejahatan? Menurut keyakinan mereka orang jahat tidak akan pernah masuk ke Lewu
Tatau, tapi arwah mereka akan terus “bergentayangan” mengembara di dunia ini.
Arwah-arwah jahat inilah yang mengganggu manusia yang masih hidup atau dikenal
dengan istilah kambe (hantu).[5]
Bagi orang Dayak Ngaju Arah dan tujuan hidup manusia tidak hanya tertuju di
dunia fana ini, tetapi manusia harus juga mengarahkan pandangannya ke dunia
atas, tempat di mana Ranying Mahatalla Langit berkuasa. Namun di sisi lain pula
dengan keberadaan Jata Balawang Bulau
sebagai penguasa dunia bawah (yang adalah bayang-bayang dari Ranying Mahatalla
sendiri) maka manusia perlu memperhatikan juga kebutuhan untuk hidup di dunia
ini. Dengan kata lain dua kebutuhan itu merupakan hal sangat mendasar dan perlu
adanya keseimbangan. Sebab dalam pandangan orang Dayak Ngaju kehidupan di dunia
akan berpengaruh besar pada kehidupan selanjutnya yaitu di Lewu Tatau. Hidup
manusia bersumber dari dan akan kembali kepada Yang Di Atas, Sang Pemberi
Kehidupan.
Roh
dalam keyakinan orang Dayak Ngaju ada dua macam yaitu; roh baik yang senantiasa
memberi bantuan, rejeki dan segala hal yang baik kepada manusia. Sedangkan roh
jahat yang selalu mengganggu manusia, dalam rupa sakit penyakit, kesialan,
kecelakaan, musibah, sampar dan hal-hal yang tidak baik lainnya. Setiap
mengadakan ritual atau upacara, selalu diberikan dua sesajian yang satunya
untuk roh baik sebagai ungkapan terima kasih, dan sesajian yang lain untuk roh
jahat maksudnya agar tidak menganggu manusia. Roh-roh tersebut sebenarnya adalah
para Sangiang anak-anak dari Maharaja Sangiang dan tidak terlihat oleh mata
jasmani. Para Sangiang dipercaya oleh Ranying Hatalla untuk menguasai daerah,
tempat, barang, fenomena alam, kejadian dan hal-hal tertentu yang ada di dunia
ini.[6]
Contohnya:
·
Rajan
Matan Andau, Penguasa Matahari
·
Rajan
Selong Tamanan, Penguasa Padi
·
Nyaru
Menteng, Penguasa Halilintar
·
Rajan
Pali,
Penguasa Pantangan
·
Rajan
Peres, Penguasa Penyakit
·
Masih banyak lagi yang lain.
Maka, tidaklah
mengherankan apabila orang Dayak Ngaju memberi sesajian di tempat-tempat yang
dianggap keramat atau sakral. Mereka meyakini di tempat-tempat itu ada roh-roh
yang menguasainya dan roh-roh itu sangat mempengaruhi hidup mereka. Hal ini
bukan berarti mereka menyembahnya tetapi sebagai suatu penghormatan, ungkapan
terima kasih atau mohon agar tidak diganggu.
IV.
Upacara
Tiwah
Upacara
Tiwah adalah upacara kematian terakhir dan terbesar menurut kepercayaan agama
Kaharingan. Upacara ini dalam bahasa Dayak Ngaju disebut Tiwah Lale, Magah Salumpuk Liau Uluh Matei, kurang lebihnya upacara
yang dilakukan untuk mengantar arwah atau roh orang yang meninggal dunia menuju
Lewu Tatau Habaras Bulau Intan Hakarangan
Lamiang Dia Bakarumpang Tulang (negeri yang kaya raya berpasirkan emas,
berkerikilkan intan dan merjan, di mana tulang-tulang tidak mengalami
kerapuhan) yang letaknya di langit ke tujuh.[7] Menurut
kepercayaan Kaharingan arwah atau roh orang meninggal tidak dapat sampai dan
memasuki Lewu Tatau apabila belum dilaksanakan upacara Tiwah. Hal ini terasa
menjadi beban bagi keluarga yang ditinggalkan.
Upacara Tiwah merupakan pesta yaang
besar, dan juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Dalam penyelengaraannya
berkumpul beberapa keluarga dalam satu desa, dan bahkan mungkin diikuti juga
keluarga-keluarga dari desa lain. Dengan cara demikian beban biaya dirasa
ringan karena ditanggung secara bersama-sama. Terkadang yang ditiwahkan tidak
hanya satu orang saja, tetapi juga beberapa orang dan bahkan puluhan orang yang
telah meninggal. Upacara ini tidak menuntut untuk segera diselenggarakan, pesta
dapat diselenggarakan bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun setelah orang
yang akan ditiwahkan meninggal. Tergantung dari kesiapan tenaga dan biaya dari
keluarga yang menyelenggarkan pesta Tiwah tersebut. Karena Tiwah suatu upacara
kematian sakral terbesar dibentuk suatu panitia dan ditunjuk seorang Bakas Tiwah (ketua tiwah) dengan
mempertimbangkan kemapuan sosial ekonomi dan kecakapannya dalam mengatur
upacara. Selain itu, dipersiapkan juga segala hal yang diperlukan untuk
pelaksanaan pesta ini,[8]
seperti:
1)
Mendirikan Balai Tiwah: tempat untuk melakasanakan pesta Tiwah
2)
Muluh
Gandang, yaitu menyiapkan alat-alat bunyian Tiwah seperti
gong, gendang, kangkanong, garantung, dll
3)
Mendirikan Sangkaraya, tempat penyimpanan tengkorak orang yang akan
ditiwahkan dan tengkorak manusia hasil mengayau[9]
4)
Mendirikan Sapundu, patung yang menyimbolkan orang ditiwahkan, uniknya bila
yang ditiwahkan perempuan maka patungnya berbentuk laki-laki juga sebaliknya.
Dan tempat mengikat binatang korban (biasanya sapi atau kerbau)
5)
Menyiapkan binatang korban, kerbau,
sapi, babi dan ayam sesuai dengan banyaknya masyarakat yang datang menghadiri pesta ini. Tidak hanya
dari satu kampung, tapi dari berpuluh-puluh kampung tetangga. Maka tidak heran
orang yang hadir bisa mencapai ribuan.
6) Dan hal-hal kecil lainnya.
Setelah semua musyawarah, persiapan
dan perlengkapan yang berkaitan dengan Tiwah, termasuk hari dan tanggal
pelaksanaan upacara Tiwah (yang biasanya ditentukan lewat mimpi atau minta
petunjuk dari para Sangiang) telah selesai dan matang. Maka, upacara Tiwah siap
diselenggarakan.
V. Tata Cara-Laksana Upacara Tiwah
Pesta Tiwah
umumnya dilaksanakan selama 3-7 hari, terkadang juga selama 30 hari untuk
kepala suku, temanggung, raja dan orang-orang yang dihormati pada masyarakat
adat Dayak. Adapun pesta Tiwah dapat dibagi menjadi 3 bagian[10],
yaitu:
1) Langkah
persiapan (yang telah dijelaskan di atas)
2) Pelaksanaan
acara pokok
3) Pelaksanaan
Balaku Untung atau permintaan doa.
V.i.
Acara Pokok
1.
Hari
pertama
Upacara diawali dengan
mendirikan sebuah Balai Pangun Jandau
yang artinya mendirikan balai atau rumah dalam waktu satu hari. Syarat yang
harus dipenuhi yaitu membunuh seekor babi yang harus dilakukan sendiri oleh
Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau dibangun, Bakas Tiwah melakukan Pasar Sabalulu yaitu memberikan tanda
barang-barang yang akan digunakan dalam upacara Tiwah dan menyediakan daun
Silar yang nantinya akan digunakan untuk memerciki Balai Pangan Jandau dengan
darah babi yang telah dibunuh tadi.
2.
Hari
kedua
Hari kedua mendirikan
Sangkaraya yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk menyimpan
tulang-belulang Salumpuk Liau (orang
meninggal yang ditiwahkan). Lalu seekor babi dibunuh dan darahnya untuk memalas
(memberkati) Sangkaraya. Di sekitar Sangkaraya dipasang bambu yang diikat
dengan kain-kain putih dan bendera kuning panjang disebut bendera Ngambang Kabanteran. Di samping
Sangkaraya didrikan juga Sapundu,
tiang yang berbentuk manusia digunakan untuk mengikat hewan korban berupa kerbau
atau sapi.
Pada hari kedua ini
pula mulai dimainkan alat-alat musik yang telah diperciki dengan darah babi. Seorang
penawur mulai melaksanakan tugasnya
untuk menghubungi Selumpuk Liau yang akan disertakan dalam upacara Tiwah
tersebut, sekaligus mengundang para Sangiang untuk hadir dalam upacara itu.
Sedangkan para pelaksana Tiwah, terdiri dari Balian, Basir, Tukang Hanteran, Bakas Tiwah, Anak Tiwah dan tetua
adat dengan berbusana adat. Kecuali bakas tiwah dan salah satu anak tiwah
berbusana perang dengan membawa mandau dan tombak di tangan. Orang-orang
tersebut menganjan (menari) mengelilingi Sangkaraya dan sandung sebanyak tujuh
kali menyambut kehadiran para Sangiang bersama mereka untuk mengantarkan
selumpuk liau ke Lewu Tatau.
3.
Hari
ketiga
Hari ketiga hewan-hewan
kurban terutama sapi atau kerbau diikatkan di tiang Sapundu, kemudian tarian
menganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi Sangkaraya. Semua
alat musik dibunyikan dan diringi dengan pekik kegembiraan. Suasana menjadi
riuh-gembira. Kemudian beras merah dan beras kuning ditaburkan ke empat penjuru
mata angin. Setelah menganjan selesai, dilanjutkan dengan pembunuhan binatang
korban yang harus dilakukan oleh Bakas Tiwah dan Anak Tiwah dengan cara
menikamnya dengan tombak. Darah binatang dibunh tadi dikumpulkan pada sebuah balanga (guci) yang digunakan untuk
membasuh kotoran. Orang Dayak meyakini bahwa darah binatang yang dikurbankan
adalah darah Rawing Tempun Telun yang
telah disucikan oleh Hatalla.
Kemudian darah itu juga
digunakan untuk manyaki-memalas semua
orang yang berada dalam kampung tersebut dan semua peralatan yang digunakan
yang dipakai dalam upacara Tiwah itu. Caranya darah binatang kurban dicampur
beras lalu dilemparkan ke segala penjuru. Dengan demikian, diharapkan semua
jadi baik, jauh dari segala penyakit, berumur panjang dan banyak rejeki.
4.
Hari
keempat
Pada hari keempat ini
diyakini bahwa selumpuk liau juga turut hadir dalam pesta Tiwah tersebut,
walaupun kehadirannya tidak terlihat mata jasmani. Di dekat Sangkaraya
didirikan satu lagi tiang panjang disebut Tihang
Mandera. Kegunaan tiang ini sebagai tanda pemberitahuan kepada siapapun
yang datang ke kampung itu bahwa sedang ada pelaksanaan pesta Tiwah, berarti
kampung tersebut tertutup bagi lalu lintas umum istilahnya pali (pantang). Orang yang tidak menaati akibatnya akan terkena
penyakit atau kecelakaan. Maka, orang-orang yang hadir dalam pesta Tiwah ini
harus disaki-dipalas terlebih dahulu.
Kemudian seorang penawur duduk di atas gong untuk
berkomunikasi dengan para Sangiang. Pertama-tama
penaawur berkomunikasi dengan semua orang yang telah meninggal untuk
memberitahukan mereka akan segera diantar oleh para Sangiang ke Lewu Tatau.
Kemudian penawur berkomunikasi dengan para Sangiang agar mengantarkan selumpuk
liau ke Lewu Tatau dan sekaligus memohon perlindungan bagi kerabat-keluarga
selumpuk liau agar dijauhkan dari segala sakit-penyakit selama pelaksanaan
upacara Tiwah.
5.
Hari kelima
Hari kelima acara
dilanjutkan dengan manambang laluhan. Laluhan
adalah sebuah rakit besar yang dibuat dari beberapa perahu yang dirakit menjadi
satu dan dihias dengan bambu hias serta bendera besar dan kecil. Kegiatan ini
memberi bantuan berupa beras, sapi, babi, kerbau dan sebagainya. Kegiatan
memberi bantuan inilah yang disebut dengan “Magah
Laluhan”.[11]
Laluhan biasanya diiringi oleh perahu-perahu kecil, sebelum singgah laluhan
berputar-putar sebanyak tujuh kali di tengah sungai, lalu merapat ke tepian.
Laluhan disambut oleh Bakas Tiwah dan dilaksanaan upacara potong pantan.
Setelah itu mereka berkumpul dekat sangkaraya untuk menghitung jumlah bantuan
tersebut. Lalu dilanjutkan dengan pembunuhan hewan-hewan kurban. Pertama-tama
hewan-hewan itu diikat pada sapundu, lalu beberapa orang menganjan mengelilingi
sapundu sebanyak tujuh kali, dan hewan kurban ditikam menggunakan tombak.
Hewan-hewan kurban itu dimasak untuk memberi makan semua orang yang hadir dalam
pesta Tiwah itu.
6.
Hari
keenam
Pada hari keenam ini
diyakini bahwa selumpuk liau telah sampai di Lewu Tatau, di kolong langit
ketujuh tempat Ranying Mahatalla Langit berkuasa. Hal ini diketahui dari
petunjuk mimpi dari kerabat-keluarga yang ditiwahkan. Upacara ini dinamakan Munduk Hanteran Magah Liau merupakan upacara
puncak dalam pesta Tiwah. Yaitu, sebentuk ucapan syukur dan terima kasih kepada
para Sangiang karena telah bersedia mengantarkan para selumpuk liau ke Lewu
Tatau, secara khusus ucapan terima kasih disampaikan kepada Mahatalla atas ketersediaan-Nya
menerima salumpuk liau untuk tinggal di sisi-Nya. Ucapan syukur berbentuk
sesajian yang diberikan untuk para Sangiang. Pada hari ini juga diadakan pesta
besar yaitu dengan makan-makan, minum-minum dan bergembira ria sebab selumpuk
liau sudah berbahagia di Lewu Tatau.
V.ii.
Balian Balaku Untung
7.
Hari
ketujuh
Hari ini adalah hari
terakhir dari pelaksanaan pesta Tiwah yang dinamakan Balian Baluku Untung. Kegiatan ini dilakukan sebagai rasa syukur
atas keberhasilan melaksanakan pesta Tiwah yang menelan biaya besar dan
membutuhkan waktu yang lama. Melalui acara ini semua anggota pelaksana Tiwah
memohon kepada Ranying Mahatalla Langit agar selalu diberi rejeki yang berlimpah,
terhidar dari bencana, sakit-penyakit dan diberi umur yang panjang.
Setelah semuanya selesai
sebagian dari anggota tiwah mengantarkan para rohaniwan (basir, balian,
penawur, tukang hanteran) dan tetua adat yang terlibat dalam pesta Tiwah serta
diberi imbalan sebagai ucapan terima kasih kembali ke tempat masing-masing.
Dengan demikian rangkaian upacara pesta Tiwah sudah selesai.
VI. Nilai Budaya
Dalam tata pelaksanaan
upacara Tiwah dapat ditemukan beberapa nilai kebijaksanaan hidup manusia Dayak
Ngaju. Nilai-nilai itulah yang dipraktekkan dalam seluruh tata pergaulan dan
relasi mereka dengan sesama, alam dan Tuhan Yang Mahakuasa. Adapun nilai-nilai
tersebut adalah:
1. Dari
segi sosial budaya:
·
Sikap hidup religius dan keyakinan yang
tinggi kepada Ranying Hatalla Langit, menajdi dasar motivasi penyelenggaraan
seluruh rangkaian upacara Tiwah
·
Orang Dayak Ngaju sangat memperhatikan
kewajiban dan kebutuhan antara yang duniawi maupun yang ilahi.
·
Hidup pada hakekatnya menurut manusia
Dayak Ngaju adalah dinamis, terlebih perjuangan untuk mencapai kesejahteraan
dan juga perjuangan melakukan perbuatan baik secara moral
·
Suatu kewajiban menghormati kepercayaan
leluhur
·
Adanya sikap terbuka untuk peran serta
pihak luar
·
Tertib hukum dalam hubungan sosial dan
tata cara keagamaan
·
Sikap mencintai dan hormat tinggi
terhadap alam sekitar
2. Dari
segi sosial-ekonomi
· Solidaritas
dan kerja sama dalam membiayai dan melaksanakan pada suatu acara
· Penerapan
sistem anggaran belanja berimbang dengan sumbangan yang sesuai dengan kemampuan
tenaga ataupun dana.
· Mendorong
munculnya pasar musiman dan membuka peluang obyek wisata.
[1]
K.Bertens, Keprihatinan Moral,
Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm 120.
[2] Bdk. M.Usop, Upacara Tiwah, Mengantar Roh ke Negeri Arwah (ed). S.Djuweng, .....
hlm 133.
[3] Tjilik
Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang
(Menyelami Kekayaan Leluhur), Palangkaraya: Pusakalima, 2003, hlm 491-510.
[4] Ibid. Tjilik Riwut, hlm 497.
[5] Bdk. L. Dyson dan Asharini, Tiwah: Upacara Kematian pada
Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Jakarta: Proyek Media
Kebudayaan Depdikbud, 1981, hlm 17.
[6] Op. Cit, Tjilik Riwut, hlm 487.
[7] Bdk. Ahmad Yunus dan Sumantri S (eds.), Upacara Tradisional (Upacara Kematian)
Daerah Kalimantan Tengah, Jakarta: Depdikbud Proyek Inventarisasi dan
Kebudayaan Daerah, 1985, hlm 46.
[8]
Depdikbud Kalimantan Tengah, Tiwah dan
Perlengkapannya, Palangkaraya: Depdikbud Kantor Wilayah Kal-Teng, Bagian
Proyek Pembinaan Permuseuman Kal-Teng, 1997-1998, hlm 4-5.
[9] Mengayau
adalah kebiasaan suku dayak zaman dulu yang berburu kepala manusia.
[10] Haester
Saleh, Sandung Ngabe Sukah Pahandut,
Palangkaraya: Museum Balanga, hlm 10.
[11] Bdk. Log. Cit, Depdikbud Kalimantan
Tengah, hlm 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar