Jumat, 07 November 2014

Upacara Kelahiran Suku Banjar

Upacara Kelahiran Anak Pada Urang Banjar

1.      Pengantar

  Setiap suku di Indonesia memberi momen khusus pada tahap-tahap hidup manusia seperti kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian. Begitu pula dengan suku Banjar. Suku Banjar memercayai manusia pada saat-saat tertentu dalam hidupnya mengalami masa-masa kritis. Masa kritis itu adalah masa yang penuh ancaman dan bahaya (Koentjaraningrat, 1985), yaitu peralihan dari tahap hidup yang satu menuju tahap hidup yang lain (dari masih berupa janin sampai meninggal dunia). Karena masa-masa itu dianggap masa yang diliputi ancaman dan bahaya, maka perlunya suatu upaya untuk menetralkannya, agar masa-masa itu dapat dilalui dengan lancar dan selamat.  Upaya-upaya yang dilakukan dengan menyelenggarakan upacara atau ritual yang dikenal sebagai upacara siklus hidup manusia yang meliputi: kehamilan, kelahiran, sunatan (khitanan), perkawinan dan kematian. Tulisan ini secara khusus membahas upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.

2.      Suku Banjar
            Suku Banjar (bahasa Banjarnya Urang Banjar) adalah mayoritas masyarakat yang mendiami provinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat Banjar banyak bermukim di pesisir pantai atau DAS karena nenek moyang mereka adalah orang-orang Melayu yang terkenal dengan keberaniannya mengarungi lautan. Masyarakat Banjar identik dengan agama Islam. Sebenarnya dulu jauh sebelum Islam masuk ke daratan Kalimantan banyak dari masyarakat Banjar “beragama” Kaharingan.
            Pusat dari suku Banjar adalah bagiah hilir Sungai Barito. Secara Linguistik bahasa Banjar adalah perpaduan dari bahasa Melayik dan bahasa Barito Raya. Secara teritorial masyarakat Banjar tidak hanya bermukim di Kalimantan Selatan, tapi juga di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Terutama di dataran rendah dan DAS daerah tersebut.  Bahkan di Kalimantan Barat pun juga ada seperti di Kelurahan Banjar Serasan (Wikipedia Indonesia). Suku Banjar sering juga disebut Melayu Banjar.  

3.      Masa Kehamilan
            Masa kehamilan bagi orang Banjar sangatlah penting agar ibu dan bayi yang dilahirkan dapat  sehat dan tidak mengalami sesuatu apapun. Maka saat ibu mengandung sang jabang bayi harus dirawat dan dipersiapkan sebaik mungkin. Salah satunya dengan upacara Mandi Hamil (Depdikbud Kalsel, 1981/1982).

            Upacara Mandi Hamil dilakukan dua kali yaitu disebut Batapung Tawar Tian (saat kehamilan berusia tiga bulan) dan Tian Madaring (ketika kehamilan berusia tujuh bulan). Upacara ini sebenarnya cukup sederhana, wanita yang mengandung  dimandikan dengan banyu Yasin (air asin) yang dicampur dengan bunga-bungaan. Hal ini harus dilakukan oleh wanita-wanita tua yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya atau dengan suaminya, juga bisa dilakukan oleh suami. Untuk melaksanakan upacara ini pihak keluarga harus meminta Banyu Yasin dari bidan yang akan membantu proses kelahiran si jabang bayi. Maksud dan tujuan upacara ini adalah untuk menolak bala, mohon keselamatan dari Tuhan Yang Mahakuasa agar selama masa kehamilan tidak mengalami keguguran. Karena menurut kepercayaan masyarakat  Banjar, bahwa wanita yang sedang hamil suka diganggu oleh makhluk-makhluk halus (Depdikbud Kalsel, 1982/1982).

4.      Upacara Kelahiran
·         Peralatan dan Fungsi

            Peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada masyarakat Banjar sebagai berikut: pelepah pinang, kapit (wadah tembikar yang bentuknya menyerupai pot bunga kecil), sembilu, sarung, kain batik, tepung-tawar, madu, kurma, garam, kukulih (bubur yang terbuat dari beras ketan), seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, dan rempah-rempah untuk memasak ikan.
            Pelepah pinang dipakai untuk membungkus tembuni (ari-ari). Kapit digunakan untuk tempat alas tembuni. Sarung  digunakan untuk membersihkan bayi yang baru lahir. Kain batik digunakan untuk alas si bayi. Sembilu digunakan untuk memotong tali pusat. Tepung-tawar digunakan untuk menaburi  tubuh bayi agar tidak diganggu oleh roh-roh jahat. Madu dan kurma digunakan untuk mengoles bibir bayi. Sedangkan  seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, rempah-rempah untuk memasak ikan diberikan kepada dukun bayi sebagai ungkapan syukur dan terima kasih.

·         Jalannya Upacara
            Ketika kandungan berusia 9 bulan maka pihak keluarga menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kelancaran proses kelahiran jabang bayi ke dunia. Antara lain selembar pelepah pinang dan sebuah kapit. Kedua hal ini digunakan untuk menyimpan tembuni. Selain itu pihak keluarga juga mengadakan selamatan dengan membuat kukuih. Kukuih ini diberi dengan untaian doa-doa dari Alqur-an, lalu diputarkan pada kepala si ibu setelah itu boleh dimakan oleh semua keluarga. Maknanya adalah ucapan syukur atas kelancaran proses kelahiran. 


·       Proses Kelahiran
            Masyarakat Banjar biasa menjalani proses kelahiran di rumah dan dibantu oleh dukun beranak (bidan). Setelah bayi lahir tali pusatnya dipotong menggunakan sembilu, potongan tali pusat itu ditaruh dalam kapit dan ditaburi sedikit garam. Maksudnya agar si bayi kelak dalam hidupnya tidak menjadi tawar, sebagaimana fungsi garam adalah untuk mengasinkan makanan. Kemudian, ditutup dengan daun pisang lalu diikat dengan rotan, setelah itu ditanam di bawah pohon besar atau di bawah bunga-bungaan atau juga dihanyutkan di sungai. Ini berkaitan dengan kepercayaan urang Banjar yang menganggap bahwa jika tali pusat ditanam di bawah pohon yang besar, kelak bayi yang bersangkutan (diharapkan) akan menjadi "orang besar". Kemudian, jika di bawah bunga-bungaan maka kelak namanya akan menjadi harum. Dan, jika dihanyutkan ke sungai, harapannya kelak si bayi menjadi handal dalam melaut.  
Selain itu, ada pula yang mengikatkan tali pusat pada sebatang pohon. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak merantau (keluar kampung). Jadi, perlakuan atas tali pusat bergantung pada apa yang diinginkan oleh orang tua terhadap bayinya dikemudian hari. Sebagai catatan, tidak seluruh tali pusat yang diputus akan ditanam, dihanyutkan atau diikat pada sebatang pohon besar, melainkan (sisanya) ada yang disimpan baik-baik untuk dihimpun menjadi satu bersama tali pusat saudara-saudarinya yang lain. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak saling bertengkar. Dengan kata lain, agar sebagai saudara selalu hidup rukun dan damai. Sedangkan tembuni dikubur di bawah rumah, menurut kepercayaan urang Banjar bahwa tembuni adakah kembaran si bayi. Untuk itu perlu dikubur di bawah tempat tidur si bayi agar kembarannya (tembuni) ini selalu menemani dan menjaga si bayi, apalagi saat sedang tidur.
Setelah pemotongan tali pusat, bayi dibersihkan dengan sarung atau kain batik Banjar dan diletakkan di atas talam yang dialas dengan sarung dan kain batik juga. Bayi diadzankan oleh ayahnya, maknanya agar yang didengar pertama oleh bayi adalah kalimat Allah. Dengan demikian kelak bayi dapat  taat beragama dan bertakwa kepada Allah. Setelah itu, bibir, tangan, dan kaki bayi dioleasi dengan madu dan kurma. Maknanya agar kelak bayi dapat bertutur kata dan bertingkah-laku yang manis dan sopan.

·         Sesudah Kelahiran
            Beberapa hari setelah kelahiran ada satu upacara lagi yaitu upacara bapalas-bidan. Seturut dengan namanya maka upacara ini dipimpin oleh bidan yang membantu proses kelahiran si bayi. Bidan mengucapkan berbagai mantera dan mampalas (memberkati) sang bayi. Maknanya agar si bayi selalu dijaga oleh kembarannya (tembuni) dan terhindar dari gangguan roh-roh jahat. Selain itu agar ibu si bayi selamat dan sejahtera selama membesarkan si bayi. Upacara diakhiri dengan makan bersama sebagai ucapan syukur.   
            Setelah bayi berumur satu minggu ada upacara disebut tasmiah (pemberian nama), dengan susunan: pembacaan Ayat-ayat Suci Al Quran (Surat Ali Imran) oleh penghulu atau mualim, pemberian nama oleh orang tua atau kerabat, dan barjanji. Uniknya saat pemberian nama seluruh kerabat juga memberi nama pada si bayi. Caranya setiap kerabat menulis nama pada sebuah kertas lalu digulung dan ditancapkan pada baskom yang diisi beras. Setelah itu bayi dibaringkan di atas baskom itu dan dibiarkan menyentuh pada salah satu kertas yang ditancapkan itu. Ketika si bayi sudah menyentuh pada salah satu kertas itu, maka kertas diambil dan dibacakan sehingga itulah yang akan menjadi nama sang bayi.  Sebagai catatan, dalam barjanji, ketika dibacakan kalimat asyrakal, si bayi dikelilingi semua kerabat dan tamu yang hadir. Mereka, termasuk mualim atau penghulu, diminta untuk menepung-tawari (memberkati) si bayi. Dengan berakhirnya upacara tasmiah ini, maka berakhirlah rangkaian upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.

5.      Nilai Budaya
            Kelahiran adalah satu tahap pada lingkaran hidup manusia. Bagi masyarakat Banjar peristiwa kelahiran bukanlah peristiwa hidup yang biasa, tapi peristiwa yang sangat istimewa untuk itu perlu dirayakan. Karena dari peristiwa kelahiran ini apabila direfleksikan lebih mendalam mengandung nilai-nilai kehidupan sebagai acuan hidup bersama. Nilai-nilai itu adalah nilai ketakwaan, kesopan-santunan, kewibawaan dan kerukunan.
            Nilai ketakwaan tercermin dari tindakan ayah yang mendaraskan doa-doa (adzan) pada telinga si bayi, agar suara yang didengar pertama oleh bayi adalah kalimat Allah. Sehingga kelak diharapkan si bayi dapat hidup takwa dan taat kepada Allah.
            Nilai kesopanan dan kewibawaan tercermin pada pemolesan madu dan kurma pada bibir, tangan dan kaki si bayi. Hal ini bermakna agar kelak si bayi dapat bertutur kata dan bertingkah laku yang manis dan penuh sopan santun terhadap orang lain
            Nilai kerukunan tercermin pada penyimpanan tali pusat sang bayi yang disatukan dengan tali pusat saudara-saudarinya. Dengan maksud agar kelak sang bayi dapat hidup rukun dengan saudara-saudarinya dan tidak bertengkar.
6.      Peluang Pastoral Bagi Perwartaan Iman Katolik
·         Penghargaan atas Status Hidup Janin
            Masyarakat Banjar sangat menghargai hak hidup janin yang sedang dikandung. Hal ini tergambar jelas dari Upacara Mandi Hamil seperti dijelaskan di atas. Upacara Mandi Hamil pertama-tama bertujuan agar ibu yang sedang mengandung dilindung oleh Tuhan sehingga tidak mengalami keguguran. Menurut kepercayaan orang Banjar bahwa wanita yang sedang hamil sering diganggu oleh roh-roh jahat. Dengan kata lain masyarakat Banjar sangat tidak mengharapkan terjadinya keguguran pada janin yang sedang dikandung. Sebab bagi masyarakat Banjar hidup adalah suatu yang sangat berharga oleh sebab itu harus dijaga dan dirawat sebaik mungkin.

            Bagi masyarakat Banjar keguguran saja tidak boleh apalagi menggugurkan. Tindakan menggugurkan janin merupakan tindakan pembunuhan. Apabila wanita Banjar ketahuan menggugurkan janin yang ia kandung, maka akan dikenakan sanksi adat berupa pembayaran sejumlah guci China (balanga) kepada pihak suami (sistem patriarkat), sekarang diganti dengan sejumlah uang. Karena suami turut “menyumbangkan” benih kehidupan pada janin yang digugurkan.     
            Pandangan ini hampir sama dalam ajaran Gereja Katolik. Ajaran Gereja Katolik menyatakan secara jelas dan tegas bahwa sejak masa pembuahan (bersatunya sel sperma dan sel telur) embrio adalah manusia (individu) baru yang bukan ayah atau ibunya (Bdk. Yustinus dan Marianta (eds), 2012:124-125). Karena janin itu, sebagai manusia baru, ia juga mempunyai hak-hak seperti manusia-manusia lainnya, salah satunya hak untuk hidup. Dengan demikian tidak boleh digugurkan sebab pengguguran itu pembunuhan atas hidup manusia. Ajaran Gereja tentang status nilai hidup manusia terangkum dalam ensiklik yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II yaitu ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan).   

·         Garam  (Manusia yang Berkualitas)
Selain itu, peluang pastoral yang memungkinkan bagi pewartaan iman katolik, berangkat dari tindakan penaburan garam pada potongan tali pusat bayi. Hal ini berarti adanya sebentuk harapan orang tua bahwa kelak ia akan menjadi seperti garam yang memberi rasa pada orang-orang di sekitarnya.  Konsep ini bersesuaian dengan ajaran Yesus. Dalam Mat 5:13 dikatakan: "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” Fungsi garam adalah untuk memberi rasa (asin) pada makanan agar tidak tawar. Maka manusia hendaknya seperti garam yang memberikan rasa pada masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain manusia harus berguna bagi orang lain. Dari hal ini terlihat adanya kesesuaian antara konsep masyarakat Banjar dengan ajaran Yesus. Dan persesuaian ini memungkinkan kita mengembangkan bentuk-bentuk pastoral yang kreatif yang sesuai dengan pandangan orang Banjar, namun juga tidak bertentangan dengan ajaran Yesus.



Daftar Rujukan
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan   Kebudayaan. 1981. Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yustinus CM dan Y. I Wayan Marianta SVD (eds.). 2012. art. Embrio Manusia: Sesuatu atau Seseorang? Identitas dan Status Embrio dalam Ajaran Gereja Katolik Dari Donum Vitae Sampai Dignital Personae (Benny Phang) dl Embrio: Ciptaan Tuhan atau Produk Manusia?. Malang: STFT Widya Sasana.
http://www.wikipedia-indonesia-sukubanjar.com, (diakses 14 Maret 2013).

Sumber Bacaan
Ensiklik “Evangelium Vitae (Injil Kehidupan)” Yohanes Paulus II.












Manusia dan Allah dalam Batang Garing

Relasi Manusia dan Allah
dalam Kisah Penciptaan Batang Garing Pada Suku Dayak Ngaju
Pengantar
            Manusia adalah sang pencinta kebijaksanaan, dalam bahasa Yunani diistilahkan “filo-sophia”, Filo artinya cinta dan sophia artinya kebijaksanaan. Maka dari akar kata tersebut muncul istilah filsuf atau filosof dalam bahasa Indonesia yang berarti ahli filsafat dan orang yang berfilsafat.[1] Setiap manusia pada dasarnya adalah filosof, karena ia selalu bertanya akan segala hal yang ada yang terjadi dalam hidupnya. Manusia senantiasa ingin tahu. Ia merasa heran dan kagum terhadap alam semesta. Alam menyimpan sejuta pesona sekaligus misteri bagi manusia. Alam “memaksa” manusia untuk menyibak misteri tentang dirinya. Dengan kata lain antara manusia dengan alam adanya sebuah relasi timbal-balik “alam memancing-manusia mencari”

            Relasi timbal-balik antara manusia dengan alam melahirkan nilai-nilai kebijaksanaan sebagai bentuk  jawaban dari pencarian manusia. Nilai-nilai kebijaksanaan itu berupa; adat-istiadat, norma, cerita rakyat, mite, idiom (ungkapan) bijaksana, dll. Nilai-nilai kebijaksanaan itu merupakan karya budi manusia atas refleksinya terhadap relasinya dengan alam sekitar. Maka tidak mengherankan setiap suku bangsa memiliki filsafat-filsafat hidup yang dihayati dalam hidup sehari-hari. Tulisan ini memfokuskan diri pada filsafat hidup Batang Garing (Pohon Kehidupan) pada masyarakat Dayak Ngaju.      
Masyarakat Dayak Ngaju
            Suku Dayak Ngaju merupakan satu dari sekian ratusan suku dayak yang mendiami bumi Kalimantan. Suku Dayak Ngaju adalah mayoritas suku yang mendiami Provinsi Kalimantan Tengah. Sebenarnya Suku Dayak Ngaju dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub-suku yang mendiami lima sungai besar yaitu; Sungai Seruyan, Katingan, Kahayan, Mentaya dan Kapuas.[2] Masyarakat Dayak Ngaju dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua macam yaitu bahasa Sangiang (bahasa kuno atau kerajaan) dan bahasa Kahayan (bahasa sehari-hari). Bahasa Sangiang digunakan oleh orang-orang tua zaman dahulu dan agak rumit. Bahasa ini sudah hampir hilang dan banyak generasi muda Dayak Ngaju yang tidak bisa lagi berbahasa Sangiang. Mereka cenderung menggunakan bahasa Kahayan yang tidak rumit dan banyak dipakai dalam masyarakat luas, sebagai bahasa sehari-hari.
            Dari akar katanya dalam bahasa Sangiang “Ngaju” berarti hulu atau hulu sungai. Kalau diartikan secara harafiah orang-orang Dayak Ngaju adalah orang-orang yang tinggal di hulu sungai (pedalaman). Maka tidak mengherankan sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal di hulu-hulu sungai yang penulis sebutkan di atas.  
Penciptaan Batang Garing
            Masyarakat Dayak Ngaju meyakini bahwa alam semesta ini tidak terjadi begitu saja. Ada “Sesuatu” mahadahsyat yang menyelenggarakannya. Begitu juga dengan manusia, ia tidak hanya muncul tiba-tiba begitu saja pasti ada “Sesuatu” yang menciptakannya. Sesuatu itu menurut masyarakat Dayak Ngaju adalah Ranying Mahatalla Langit (Tuhan Yang Mahakuasa), Sang Penguasa alam semesta. Dalam mite penciptaan Batang Garing[3] dikisahkan awalnya Ranying Mahatalla Langit (penguasa alam atas) dan Jata Balawang Bulau (penguasa alam bawah) sepakat untuk menciptakan dunia. Ranying memulai dengan melemparkan lawung-nya yang terbuat dari emas dan bertahtakan intan, dan jadilah sebuah pohon yang disebut Batang Garing atau pohon kehidupan. Pohon ini berdaun dan berbuah intan, permata, emas dan batu mulia. Jata melepaskan burung tingang (enggang) betina dari sangkar emasnya, lalu hinggap dan makan buah dari pohon itu. Melihat hal itu, Ranying melemparkan mandau emasnya seketika berubah menjadi burung tingang jantan disebut Tembarirang. Tembarirangpun hinggap dan memakan buah Batang Garing. Kehadiran keduanya saling memunculkan rasa cemburu dan iri hati, sehingga terjadilah perang suci. Perang mahadahsyat ini menghancurkan Batang Garing. Kepingan-kepingan dari kehancuran inilah menciptakan kehidupan baru, yaitu alam semesta dan segala isinya.
            Dari kehancuran tadi pula tercipta sepasang insan awali, dua manusia pertama. Sang wanita bernama Putir Kahukum Bangking Garing (Puteri dari Kepingan Gading) dan sang pria bernama Manyamei Limut Garing Balua Unggon Tingang (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh Tingang).  Kedua insan manusia pertama ini masing-masing memperoleh bahtera (perahu). Bahtera yang dilayari oleh wanita bernama Banama Bulau (Bahtera Emas) sedangkan bahtera yang dikemudikan pria bernama Banama Hintan (Bahtera Intan). Kedua insan ini berlayar di lautan lepas, yang menjadi sumber segala sesuatu yang mengalir. Keduanya sepakat untuk menikah dan mendapatkan keturunan pertama berupa segala macam binatang. Selanjutnya lahirlah keturunan manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Ketiga putera ini berkelahi memperebutkan senjata ciptaan orang tua mereka yaitu Sanaman Leteng, yang akhirnya menjadi milik Maharaja Buno. Untuk memperdamaikan mereka ketiganya dipisahkan. Maharaja Sangiang menempati alam atas, tinggal bersama Ranying Mahatalla, dan menjadi asal-usul segala Sangiang (para dewa), Maharaja Sangen menempati suatu daerah bernama Batu Nindan Tarung Liang Angkar Batilung Nyaring, yang menjadi sumber segala kepahlawanan. Sedangkan Maharaja Buno menempati bumi dan menjadi moyang pertama manusia.    
Nilai Budaya
            Dari mite Batang Garing tersebut, orang Dayak Ngaju percaya bahwa semesta ini selalu berisikan dua kekuatan yang saling bertentangan dan berbenturan yang kemudian menciptakan kehidupan baru.[4] Pertentangn bagi orang Dayak bukanlah yang sesuatu yang harus ditakutkan, tapi dianggap sebagai kesempatan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Justru dengan memanfaatkan benturan itu masyarakat Dayak dapat menyusun suatu tatanan baru dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.
            Konsep ketuhanan pada suku Dayak Ngaju bahwa ada dua kekuasaan pada alam semesta ini, yaitu Dunia Atas dikuasai oleh Ranying Mahatalla Langit dilambangkan dengan burung Enggang. Sedangkan Dunia Bawah dilambangkan sebagai Naga dikuasai oleh Jata Balawang Bulau. Meskipun terdapat dua kekuasaan mahadewa tersebut, tapi secara hakiki keduanya adalah satu, sebab Jata sebenarnya adalah bayang-bayang dari Ranying itu sendiri. Keduanya merupakan dwitunggal, sekaligus ambivalen yang merupakan satu-kesatuan divinitas. Keduanya membentuk satu-keutuhan kosmis, bila dari salah satu dari keduanya dihilangkan maka keseimbangan kosmis akan terganggu.[5]
            Batang Garing berbentuk tombak menunjuk ke atas melambangkan Ranying Mahatalla dan kekuasaanya yang berada di dunia atas. Bagian bawah pohon dilambangkan dengan guci yang berisi air suci melambangkan Jata atau dunia bawah. Hal ini mau menyatakan bahwa antara dunia atas dengan dunia bawah bukanlah dua dunia yang berbeda, tapi merupakan satu kesatuan yang terhubung. Buah Batang Garing masing-masing terdiri dari tiga mengarah ke atas dan tiga mengarah ke bawah, melambangkan tiga kelompok manusia yang merupakan keturunan dari Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Dengan demikian diingatkan turunan manusia (orang Dayak Ngaju) diharapkan tidak hanya terarah pada dunia bawah tetapi juga pada dunia atas. Pendeknya orang Dayak harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan jasmani dan kepentingan rohani.
            Tempat tertanamnya pohon kehidupan ini adalah Batu Nindan Tarung Liang Angkar Batilung  Nyaring (bumi). Sebuah pulau tempat kediaman kedua insan manusia pertama, juga menjadi tempat tinggal anak-anak dan cucu-cucu keturunan Maharaja Buno. Orang Dayak Ngaju diingatkan bahwa dunia ini hanyalah tempat tinggal sementara bagi manusia. Tanah air sebenarnya adalah dunia atas dalam bahasa Dayak Ngaju disebut Lewu Tatau (surga). Maka sekali lagi ditekankan bahwa manusia tidak boleh terlalu mendewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi karena itu semua hanyalah sementara. Pada bagian puncak Batang Garing terdapat burung Enggang dan matahari yang melambangkan Ranying Mahatalla Langit. Hal ini mau menyatakan bahwa asal-usul kehidupan adalah berasal dari atas yaitu Ranying sendiri, Dialah sumber segala kehidupan di semesta ini.[6]
            Hal yang paling ditekankan dalam mite penciptaan Batang Garing ini adalah hubungan antara manusia dengan Allah (Ranying Mahatalla). Arah dan tujuan hidup manusia tidak hanya tertuju di dunia fana ini, tetapi manusia harus juga mengarahkan pandangannya ke dunia atas, tempat dimana Ranying Mahatalla Langit berkuasa. Namun di sisi lain pula dengan keberadaan Jata Balawang Bulau sebagai penguasa dunia bawah (yang adalah bayang-bayang dari Ranying Mahatalla sendiri) maka manusia perlu memperhatikan juga kebutuhan untuk hidup di dunia ini. Dengan kata lain dua kebutuhan itu merupakan hal sangat mendasar dan perlu adanya keseimbangan. Sebab dalam pandangan orang Dayak Ngaju kehidupan di dunia akan berpengaruh besar pada kehidupan selanjutnya yaitu di Lewu Tatau. Orang yang banyak berbuat kebaikan ketika meninggal akan masuk ke Lewu Tatau sedangkan orang yang jarang berbuat kebaikan akan masuk ke Lewu Liau (dunia yang lebih rendah dari Lewu Tatau).[7]         
Kesesuaian dari Iman Katolik
a.      Konsep Ketuhanan
Konsep ketuhanan dalam iman Katolik meyakini Allah Tritunggal Mahakudus, yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dalam iman akan Tritunggal ini Gereja Katolik tidak mengakui tiga allah seolah-olah orang Katolik menyembah tiga allah, tetapi satu Allah dalam tiga pribadi “Tritunggal yang sehakikat”.[8] Pribadi-pribadi Ilahi ini tidak membagikan ke-Allah-an yang satu itu menjadi sepertiga. Tritunggal Mahakudus sepenuhnya dan seluruhnya Allah. Ketiga Pribadi Ilahi secara real berbeda satu sama lain, di dalam hubungan asalnya. Allah Bapa yang melahirkan, Allah Putera yang dilahirkan daln Allah Roh Kudus yang dihembuskan. Ketiga Pribadi ini berhubungan satu dengan yang lain. Perbedaan dalam hal asal tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, tetapi menunjukan hubungan timbal balik antar tiga pribadi Allah itu. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera dihubungkan dengan Bapa dan Roh Kudus dihubungkan dengan Keduanya.[9] Jadi hakikat mereka satu, yaitu Allah.
            Orang Dayak Ngaju juga meyakini bahwa Allah hanya satu yaitu Ranying Mahatalla Langit, sedangkan keberadaan Jata Belawang Bulau adalah bayang-bayang dari Ranying sendiri. Keduanya secara hakikat adalah satu. Yang merupakan satu-kesatuan dari keutuhan kosmis, seandainya salah satu dari keduanya “dihilangkan” maka keseimbangan kosmis akan kacau.
b.      Relasi Manusia dengan Allah.
Hubungan manusia dengan Allah dalam iman Katolik tergambar  jelas dalam “realitas pewahyuan diri Allah dalam sejarah manusia”.[10] Allah menyelamatkan manusia dalam Kristus oleh Roh Kudus.  Allah mewahyukan diri-Nya yang terwujud nyata dalam diri Yesus Kristus. Yesus datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan dan menebus manusia dari dosa-dosanya. Allah sungguh mencintai manusia sehingga Ia tidak segan-segan menyerahkan Putera Tunggal-Nya untuk mati di kayu salib. Dengan demikian dosa-dosa manusia dihapuskan dan manusia disucikan sehingga manusia dapat hidup bersatu dengan Allah di Kerajaan Surga. Pada dasarnya manusia mempunyai kerinduan yang besar untuk bersatu dengan Allah. Seluruh tujuan hidup manusia secara hakiki tearah kepada Allah. Jadi seluruh perjalanan hidup manusia di dunia ini pada akhirnya nanti menuju kepada Allah. Hal ini mensyaratkan selama hidup di dunia manusia harus selalu berbuat kebaikan kepada sesamanya dengan mengamalkan hukum cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus sendiri.
Melalui mite penciptaan Batang Garing dapat dapat diketahui orientasi hidup masyarakat Dayak Ngaju pertama-tama dan semata-mata tertuju ke atas. Artinya segala arah dan tujuan hidup manusia Dayak Ngaju tidak tertuju kepada dunia fana ini, tetapi lebih-lebih mengarahkan diri ke Dunia Atas, tempat dimana Ranying Mahatalla Langit berada. Hidup di dunia hanyalah sementara dengan demikian masyarakat Dayak Ngaju (manusia) tidak boleh terlalu mendewa-dewakan segala harta benda duniawi. Namun di sisi lain dengan mengingat akan keberadaan Jata Belawang Bulau sebagai penguasa Dunia Bawah, orang Dayak Ngaju (manusia) juga tidak boleh mengabaikan kehidupan di dunia ini. Menurut keyakinan masyarakat Dayak Ngaju bahwa tindak-tanduk selama hidup di dunia ini akan berpengaruh besar dalam kehidupan selanjutnya. Orang baik akan masuk ke Lewu Tatau (surga atau dunia atas tempat Ranying berkuasa) dan orang jahat akan masuk Lewu Liau (dunia para arwah yang lebih rendah dari Lewu Tatau).         
                
Alam semesta senantiasa memesona manusia. Manusia selalu terkagum-kagum akan dunia sekitarnya. Alam penuh dengan misteri dan rahasia yang menakjubkan. Alam menuntut, menarik manusia untuk membuka tabir rahasia dirinya.









[1] KBBI
[2] Bdk. Roedy Haryo Widjono AMZ, Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo, 1998, 3-6.
[3] Fridolin Ukur, Tanya-Djawab Suku Dayak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1871, 35-38.
[4]Bdk. Paulus Florus, dkk (eds), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak: Institut Dayakologi, 2010, 9-10.
[5] Teras Mihing, Penciptaan Batang Garing, Palangkaraya: Katingan Lewu-Itah, 2009, 36.
[6] Ibid. 48
[7] Bdk. L. Dyson  dan Asharini, Tiwah: Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Depdikbud, 1981, 17.
[8]Bdk. Thomas Michel SJ, Pokok-pokok Iman Kristiani: Sharing Iman Seorang Kristiani dalam Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2007, 62-63.
[9] Ibid.
[10]Bdk. H.H. Pope Paul VI, The “Credo” of the People of God, London: Incorporated Catholic Truth Society, 1971, 7-8.