Jumat, 07 November 2014

Upacara Kelahiran Suku Banjar

Upacara Kelahiran Anak Pada Urang Banjar

1.      Pengantar

  Setiap suku di Indonesia memberi momen khusus pada tahap-tahap hidup manusia seperti kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian. Begitu pula dengan suku Banjar. Suku Banjar memercayai manusia pada saat-saat tertentu dalam hidupnya mengalami masa-masa kritis. Masa kritis itu adalah masa yang penuh ancaman dan bahaya (Koentjaraningrat, 1985), yaitu peralihan dari tahap hidup yang satu menuju tahap hidup yang lain (dari masih berupa janin sampai meninggal dunia). Karena masa-masa itu dianggap masa yang diliputi ancaman dan bahaya, maka perlunya suatu upaya untuk menetralkannya, agar masa-masa itu dapat dilalui dengan lancar dan selamat.  Upaya-upaya yang dilakukan dengan menyelenggarakan upacara atau ritual yang dikenal sebagai upacara siklus hidup manusia yang meliputi: kehamilan, kelahiran, sunatan (khitanan), perkawinan dan kematian. Tulisan ini secara khusus membahas upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.

2.      Suku Banjar
            Suku Banjar (bahasa Banjarnya Urang Banjar) adalah mayoritas masyarakat yang mendiami provinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat Banjar banyak bermukim di pesisir pantai atau DAS karena nenek moyang mereka adalah orang-orang Melayu yang terkenal dengan keberaniannya mengarungi lautan. Masyarakat Banjar identik dengan agama Islam. Sebenarnya dulu jauh sebelum Islam masuk ke daratan Kalimantan banyak dari masyarakat Banjar “beragama” Kaharingan.
            Pusat dari suku Banjar adalah bagiah hilir Sungai Barito. Secara Linguistik bahasa Banjar adalah perpaduan dari bahasa Melayik dan bahasa Barito Raya. Secara teritorial masyarakat Banjar tidak hanya bermukim di Kalimantan Selatan, tapi juga di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Terutama di dataran rendah dan DAS daerah tersebut.  Bahkan di Kalimantan Barat pun juga ada seperti di Kelurahan Banjar Serasan (Wikipedia Indonesia). Suku Banjar sering juga disebut Melayu Banjar.  

3.      Masa Kehamilan
            Masa kehamilan bagi orang Banjar sangatlah penting agar ibu dan bayi yang dilahirkan dapat  sehat dan tidak mengalami sesuatu apapun. Maka saat ibu mengandung sang jabang bayi harus dirawat dan dipersiapkan sebaik mungkin. Salah satunya dengan upacara Mandi Hamil (Depdikbud Kalsel, 1981/1982).

            Upacara Mandi Hamil dilakukan dua kali yaitu disebut Batapung Tawar Tian (saat kehamilan berusia tiga bulan) dan Tian Madaring (ketika kehamilan berusia tujuh bulan). Upacara ini sebenarnya cukup sederhana, wanita yang mengandung  dimandikan dengan banyu Yasin (air asin) yang dicampur dengan bunga-bungaan. Hal ini harus dilakukan oleh wanita-wanita tua yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya atau dengan suaminya, juga bisa dilakukan oleh suami. Untuk melaksanakan upacara ini pihak keluarga harus meminta Banyu Yasin dari bidan yang akan membantu proses kelahiran si jabang bayi. Maksud dan tujuan upacara ini adalah untuk menolak bala, mohon keselamatan dari Tuhan Yang Mahakuasa agar selama masa kehamilan tidak mengalami keguguran. Karena menurut kepercayaan masyarakat  Banjar, bahwa wanita yang sedang hamil suka diganggu oleh makhluk-makhluk halus (Depdikbud Kalsel, 1982/1982).

4.      Upacara Kelahiran
·         Peralatan dan Fungsi

            Peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada masyarakat Banjar sebagai berikut: pelepah pinang, kapit (wadah tembikar yang bentuknya menyerupai pot bunga kecil), sembilu, sarung, kain batik, tepung-tawar, madu, kurma, garam, kukulih (bubur yang terbuat dari beras ketan), seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, dan rempah-rempah untuk memasak ikan.
            Pelepah pinang dipakai untuk membungkus tembuni (ari-ari). Kapit digunakan untuk tempat alas tembuni. Sarung  digunakan untuk membersihkan bayi yang baru lahir. Kain batik digunakan untuk alas si bayi. Sembilu digunakan untuk memotong tali pusat. Tepung-tawar digunakan untuk menaburi  tubuh bayi agar tidak diganggu oleh roh-roh jahat. Madu dan kurma digunakan untuk mengoles bibir bayi. Sedangkan  seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, rempah-rempah untuk memasak ikan diberikan kepada dukun bayi sebagai ungkapan syukur dan terima kasih.

·         Jalannya Upacara
            Ketika kandungan berusia 9 bulan maka pihak keluarga menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kelancaran proses kelahiran jabang bayi ke dunia. Antara lain selembar pelepah pinang dan sebuah kapit. Kedua hal ini digunakan untuk menyimpan tembuni. Selain itu pihak keluarga juga mengadakan selamatan dengan membuat kukuih. Kukuih ini diberi dengan untaian doa-doa dari Alqur-an, lalu diputarkan pada kepala si ibu setelah itu boleh dimakan oleh semua keluarga. Maknanya adalah ucapan syukur atas kelancaran proses kelahiran. 


·       Proses Kelahiran
            Masyarakat Banjar biasa menjalani proses kelahiran di rumah dan dibantu oleh dukun beranak (bidan). Setelah bayi lahir tali pusatnya dipotong menggunakan sembilu, potongan tali pusat itu ditaruh dalam kapit dan ditaburi sedikit garam. Maksudnya agar si bayi kelak dalam hidupnya tidak menjadi tawar, sebagaimana fungsi garam adalah untuk mengasinkan makanan. Kemudian, ditutup dengan daun pisang lalu diikat dengan rotan, setelah itu ditanam di bawah pohon besar atau di bawah bunga-bungaan atau juga dihanyutkan di sungai. Ini berkaitan dengan kepercayaan urang Banjar yang menganggap bahwa jika tali pusat ditanam di bawah pohon yang besar, kelak bayi yang bersangkutan (diharapkan) akan menjadi "orang besar". Kemudian, jika di bawah bunga-bungaan maka kelak namanya akan menjadi harum. Dan, jika dihanyutkan ke sungai, harapannya kelak si bayi menjadi handal dalam melaut.  
Selain itu, ada pula yang mengikatkan tali pusat pada sebatang pohon. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak merantau (keluar kampung). Jadi, perlakuan atas tali pusat bergantung pada apa yang diinginkan oleh orang tua terhadap bayinya dikemudian hari. Sebagai catatan, tidak seluruh tali pusat yang diputus akan ditanam, dihanyutkan atau diikat pada sebatang pohon besar, melainkan (sisanya) ada yang disimpan baik-baik untuk dihimpun menjadi satu bersama tali pusat saudara-saudarinya yang lain. Maksudnya adalah agar kelak (setelah dewasa) tidak saling bertengkar. Dengan kata lain, agar sebagai saudara selalu hidup rukun dan damai. Sedangkan tembuni dikubur di bawah rumah, menurut kepercayaan urang Banjar bahwa tembuni adakah kembaran si bayi. Untuk itu perlu dikubur di bawah tempat tidur si bayi agar kembarannya (tembuni) ini selalu menemani dan menjaga si bayi, apalagi saat sedang tidur.
Setelah pemotongan tali pusat, bayi dibersihkan dengan sarung atau kain batik Banjar dan diletakkan di atas talam yang dialas dengan sarung dan kain batik juga. Bayi diadzankan oleh ayahnya, maknanya agar yang didengar pertama oleh bayi adalah kalimat Allah. Dengan demikian kelak bayi dapat  taat beragama dan bertakwa kepada Allah. Setelah itu, bibir, tangan, dan kaki bayi dioleasi dengan madu dan kurma. Maknanya agar kelak bayi dapat bertutur kata dan bertingkah-laku yang manis dan sopan.

·         Sesudah Kelahiran
            Beberapa hari setelah kelahiran ada satu upacara lagi yaitu upacara bapalas-bidan. Seturut dengan namanya maka upacara ini dipimpin oleh bidan yang membantu proses kelahiran si bayi. Bidan mengucapkan berbagai mantera dan mampalas (memberkati) sang bayi. Maknanya agar si bayi selalu dijaga oleh kembarannya (tembuni) dan terhindar dari gangguan roh-roh jahat. Selain itu agar ibu si bayi selamat dan sejahtera selama membesarkan si bayi. Upacara diakhiri dengan makan bersama sebagai ucapan syukur.   
            Setelah bayi berumur satu minggu ada upacara disebut tasmiah (pemberian nama), dengan susunan: pembacaan Ayat-ayat Suci Al Quran (Surat Ali Imran) oleh penghulu atau mualim, pemberian nama oleh orang tua atau kerabat, dan barjanji. Uniknya saat pemberian nama seluruh kerabat juga memberi nama pada si bayi. Caranya setiap kerabat menulis nama pada sebuah kertas lalu digulung dan ditancapkan pada baskom yang diisi beras. Setelah itu bayi dibaringkan di atas baskom itu dan dibiarkan menyentuh pada salah satu kertas yang ditancapkan itu. Ketika si bayi sudah menyentuh pada salah satu kertas itu, maka kertas diambil dan dibacakan sehingga itulah yang akan menjadi nama sang bayi.  Sebagai catatan, dalam barjanji, ketika dibacakan kalimat asyrakal, si bayi dikelilingi semua kerabat dan tamu yang hadir. Mereka, termasuk mualim atau penghulu, diminta untuk menepung-tawari (memberkati) si bayi. Dengan berakhirnya upacara tasmiah ini, maka berakhirlah rangkaian upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.

5.      Nilai Budaya
            Kelahiran adalah satu tahap pada lingkaran hidup manusia. Bagi masyarakat Banjar peristiwa kelahiran bukanlah peristiwa hidup yang biasa, tapi peristiwa yang sangat istimewa untuk itu perlu dirayakan. Karena dari peristiwa kelahiran ini apabila direfleksikan lebih mendalam mengandung nilai-nilai kehidupan sebagai acuan hidup bersama. Nilai-nilai itu adalah nilai ketakwaan, kesopan-santunan, kewibawaan dan kerukunan.
            Nilai ketakwaan tercermin dari tindakan ayah yang mendaraskan doa-doa (adzan) pada telinga si bayi, agar suara yang didengar pertama oleh bayi adalah kalimat Allah. Sehingga kelak diharapkan si bayi dapat hidup takwa dan taat kepada Allah.
            Nilai kesopanan dan kewibawaan tercermin pada pemolesan madu dan kurma pada bibir, tangan dan kaki si bayi. Hal ini bermakna agar kelak si bayi dapat bertutur kata dan bertingkah laku yang manis dan penuh sopan santun terhadap orang lain
            Nilai kerukunan tercermin pada penyimpanan tali pusat sang bayi yang disatukan dengan tali pusat saudara-saudarinya. Dengan maksud agar kelak sang bayi dapat hidup rukun dengan saudara-saudarinya dan tidak bertengkar.
6.      Peluang Pastoral Bagi Perwartaan Iman Katolik
·         Penghargaan atas Status Hidup Janin
            Masyarakat Banjar sangat menghargai hak hidup janin yang sedang dikandung. Hal ini tergambar jelas dari Upacara Mandi Hamil seperti dijelaskan di atas. Upacara Mandi Hamil pertama-tama bertujuan agar ibu yang sedang mengandung dilindung oleh Tuhan sehingga tidak mengalami keguguran. Menurut kepercayaan orang Banjar bahwa wanita yang sedang hamil sering diganggu oleh roh-roh jahat. Dengan kata lain masyarakat Banjar sangat tidak mengharapkan terjadinya keguguran pada janin yang sedang dikandung. Sebab bagi masyarakat Banjar hidup adalah suatu yang sangat berharga oleh sebab itu harus dijaga dan dirawat sebaik mungkin.

            Bagi masyarakat Banjar keguguran saja tidak boleh apalagi menggugurkan. Tindakan menggugurkan janin merupakan tindakan pembunuhan. Apabila wanita Banjar ketahuan menggugurkan janin yang ia kandung, maka akan dikenakan sanksi adat berupa pembayaran sejumlah guci China (balanga) kepada pihak suami (sistem patriarkat), sekarang diganti dengan sejumlah uang. Karena suami turut “menyumbangkan” benih kehidupan pada janin yang digugurkan.     
            Pandangan ini hampir sama dalam ajaran Gereja Katolik. Ajaran Gereja Katolik menyatakan secara jelas dan tegas bahwa sejak masa pembuahan (bersatunya sel sperma dan sel telur) embrio adalah manusia (individu) baru yang bukan ayah atau ibunya (Bdk. Yustinus dan Marianta (eds), 2012:124-125). Karena janin itu, sebagai manusia baru, ia juga mempunyai hak-hak seperti manusia-manusia lainnya, salah satunya hak untuk hidup. Dengan demikian tidak boleh digugurkan sebab pengguguran itu pembunuhan atas hidup manusia. Ajaran Gereja tentang status nilai hidup manusia terangkum dalam ensiklik yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II yaitu ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan).   

·         Garam  (Manusia yang Berkualitas)
Selain itu, peluang pastoral yang memungkinkan bagi pewartaan iman katolik, berangkat dari tindakan penaburan garam pada potongan tali pusat bayi. Hal ini berarti adanya sebentuk harapan orang tua bahwa kelak ia akan menjadi seperti garam yang memberi rasa pada orang-orang di sekitarnya.  Konsep ini bersesuaian dengan ajaran Yesus. Dalam Mat 5:13 dikatakan: "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” Fungsi garam adalah untuk memberi rasa (asin) pada makanan agar tidak tawar. Maka manusia hendaknya seperti garam yang memberikan rasa pada masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain manusia harus berguna bagi orang lain. Dari hal ini terlihat adanya kesesuaian antara konsep masyarakat Banjar dengan ajaran Yesus. Dan persesuaian ini memungkinkan kita mengembangkan bentuk-bentuk pastoral yang kreatif yang sesuai dengan pandangan orang Banjar, namun juga tidak bertentangan dengan ajaran Yesus.



Daftar Rujukan
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan   Kebudayaan. 1981. Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yustinus CM dan Y. I Wayan Marianta SVD (eds.). 2012. art. Embrio Manusia: Sesuatu atau Seseorang? Identitas dan Status Embrio dalam Ajaran Gereja Katolik Dari Donum Vitae Sampai Dignital Personae (Benny Phang) dl Embrio: Ciptaan Tuhan atau Produk Manusia?. Malang: STFT Widya Sasana.
http://www.wikipedia-indonesia-sukubanjar.com, (diakses 14 Maret 2013).

Sumber Bacaan
Ensiklik “Evangelium Vitae (Injil Kehidupan)” Yohanes Paulus II.












Manusia dan Allah dalam Batang Garing

Relasi Manusia dan Allah
dalam Kisah Penciptaan Batang Garing Pada Suku Dayak Ngaju
Pengantar
            Manusia adalah sang pencinta kebijaksanaan, dalam bahasa Yunani diistilahkan “filo-sophia”, Filo artinya cinta dan sophia artinya kebijaksanaan. Maka dari akar kata tersebut muncul istilah filsuf atau filosof dalam bahasa Indonesia yang berarti ahli filsafat dan orang yang berfilsafat.[1] Setiap manusia pada dasarnya adalah filosof, karena ia selalu bertanya akan segala hal yang ada yang terjadi dalam hidupnya. Manusia senantiasa ingin tahu. Ia merasa heran dan kagum terhadap alam semesta. Alam menyimpan sejuta pesona sekaligus misteri bagi manusia. Alam “memaksa” manusia untuk menyibak misteri tentang dirinya. Dengan kata lain antara manusia dengan alam adanya sebuah relasi timbal-balik “alam memancing-manusia mencari”

            Relasi timbal-balik antara manusia dengan alam melahirkan nilai-nilai kebijaksanaan sebagai bentuk  jawaban dari pencarian manusia. Nilai-nilai kebijaksanaan itu berupa; adat-istiadat, norma, cerita rakyat, mite, idiom (ungkapan) bijaksana, dll. Nilai-nilai kebijaksanaan itu merupakan karya budi manusia atas refleksinya terhadap relasinya dengan alam sekitar. Maka tidak mengherankan setiap suku bangsa memiliki filsafat-filsafat hidup yang dihayati dalam hidup sehari-hari. Tulisan ini memfokuskan diri pada filsafat hidup Batang Garing (Pohon Kehidupan) pada masyarakat Dayak Ngaju.      
Masyarakat Dayak Ngaju
            Suku Dayak Ngaju merupakan satu dari sekian ratusan suku dayak yang mendiami bumi Kalimantan. Suku Dayak Ngaju adalah mayoritas suku yang mendiami Provinsi Kalimantan Tengah. Sebenarnya Suku Dayak Ngaju dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub-suku yang mendiami lima sungai besar yaitu; Sungai Seruyan, Katingan, Kahayan, Mentaya dan Kapuas.[2] Masyarakat Dayak Ngaju dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua macam yaitu bahasa Sangiang (bahasa kuno atau kerajaan) dan bahasa Kahayan (bahasa sehari-hari). Bahasa Sangiang digunakan oleh orang-orang tua zaman dahulu dan agak rumit. Bahasa ini sudah hampir hilang dan banyak generasi muda Dayak Ngaju yang tidak bisa lagi berbahasa Sangiang. Mereka cenderung menggunakan bahasa Kahayan yang tidak rumit dan banyak dipakai dalam masyarakat luas, sebagai bahasa sehari-hari.
            Dari akar katanya dalam bahasa Sangiang “Ngaju” berarti hulu atau hulu sungai. Kalau diartikan secara harafiah orang-orang Dayak Ngaju adalah orang-orang yang tinggal di hulu sungai (pedalaman). Maka tidak mengherankan sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal di hulu-hulu sungai yang penulis sebutkan di atas.  
Penciptaan Batang Garing
            Masyarakat Dayak Ngaju meyakini bahwa alam semesta ini tidak terjadi begitu saja. Ada “Sesuatu” mahadahsyat yang menyelenggarakannya. Begitu juga dengan manusia, ia tidak hanya muncul tiba-tiba begitu saja pasti ada “Sesuatu” yang menciptakannya. Sesuatu itu menurut masyarakat Dayak Ngaju adalah Ranying Mahatalla Langit (Tuhan Yang Mahakuasa), Sang Penguasa alam semesta. Dalam mite penciptaan Batang Garing[3] dikisahkan awalnya Ranying Mahatalla Langit (penguasa alam atas) dan Jata Balawang Bulau (penguasa alam bawah) sepakat untuk menciptakan dunia. Ranying memulai dengan melemparkan lawung-nya yang terbuat dari emas dan bertahtakan intan, dan jadilah sebuah pohon yang disebut Batang Garing atau pohon kehidupan. Pohon ini berdaun dan berbuah intan, permata, emas dan batu mulia. Jata melepaskan burung tingang (enggang) betina dari sangkar emasnya, lalu hinggap dan makan buah dari pohon itu. Melihat hal itu, Ranying melemparkan mandau emasnya seketika berubah menjadi burung tingang jantan disebut Tembarirang. Tembarirangpun hinggap dan memakan buah Batang Garing. Kehadiran keduanya saling memunculkan rasa cemburu dan iri hati, sehingga terjadilah perang suci. Perang mahadahsyat ini menghancurkan Batang Garing. Kepingan-kepingan dari kehancuran inilah menciptakan kehidupan baru, yaitu alam semesta dan segala isinya.
            Dari kehancuran tadi pula tercipta sepasang insan awali, dua manusia pertama. Sang wanita bernama Putir Kahukum Bangking Garing (Puteri dari Kepingan Gading) dan sang pria bernama Manyamei Limut Garing Balua Unggon Tingang (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh Tingang).  Kedua insan manusia pertama ini masing-masing memperoleh bahtera (perahu). Bahtera yang dilayari oleh wanita bernama Banama Bulau (Bahtera Emas) sedangkan bahtera yang dikemudikan pria bernama Banama Hintan (Bahtera Intan). Kedua insan ini berlayar di lautan lepas, yang menjadi sumber segala sesuatu yang mengalir. Keduanya sepakat untuk menikah dan mendapatkan keturunan pertama berupa segala macam binatang. Selanjutnya lahirlah keturunan manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Ketiga putera ini berkelahi memperebutkan senjata ciptaan orang tua mereka yaitu Sanaman Leteng, yang akhirnya menjadi milik Maharaja Buno. Untuk memperdamaikan mereka ketiganya dipisahkan. Maharaja Sangiang menempati alam atas, tinggal bersama Ranying Mahatalla, dan menjadi asal-usul segala Sangiang (para dewa), Maharaja Sangen menempati suatu daerah bernama Batu Nindan Tarung Liang Angkar Batilung Nyaring, yang menjadi sumber segala kepahlawanan. Sedangkan Maharaja Buno menempati bumi dan menjadi moyang pertama manusia.    
Nilai Budaya
            Dari mite Batang Garing tersebut, orang Dayak Ngaju percaya bahwa semesta ini selalu berisikan dua kekuatan yang saling bertentangan dan berbenturan yang kemudian menciptakan kehidupan baru.[4] Pertentangn bagi orang Dayak bukanlah yang sesuatu yang harus ditakutkan, tapi dianggap sebagai kesempatan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Justru dengan memanfaatkan benturan itu masyarakat Dayak dapat menyusun suatu tatanan baru dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.
            Konsep ketuhanan pada suku Dayak Ngaju bahwa ada dua kekuasaan pada alam semesta ini, yaitu Dunia Atas dikuasai oleh Ranying Mahatalla Langit dilambangkan dengan burung Enggang. Sedangkan Dunia Bawah dilambangkan sebagai Naga dikuasai oleh Jata Balawang Bulau. Meskipun terdapat dua kekuasaan mahadewa tersebut, tapi secara hakiki keduanya adalah satu, sebab Jata sebenarnya adalah bayang-bayang dari Ranying itu sendiri. Keduanya merupakan dwitunggal, sekaligus ambivalen yang merupakan satu-kesatuan divinitas. Keduanya membentuk satu-keutuhan kosmis, bila dari salah satu dari keduanya dihilangkan maka keseimbangan kosmis akan terganggu.[5]
            Batang Garing berbentuk tombak menunjuk ke atas melambangkan Ranying Mahatalla dan kekuasaanya yang berada di dunia atas. Bagian bawah pohon dilambangkan dengan guci yang berisi air suci melambangkan Jata atau dunia bawah. Hal ini mau menyatakan bahwa antara dunia atas dengan dunia bawah bukanlah dua dunia yang berbeda, tapi merupakan satu kesatuan yang terhubung. Buah Batang Garing masing-masing terdiri dari tiga mengarah ke atas dan tiga mengarah ke bawah, melambangkan tiga kelompok manusia yang merupakan keturunan dari Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Dengan demikian diingatkan turunan manusia (orang Dayak Ngaju) diharapkan tidak hanya terarah pada dunia bawah tetapi juga pada dunia atas. Pendeknya orang Dayak harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan jasmani dan kepentingan rohani.
            Tempat tertanamnya pohon kehidupan ini adalah Batu Nindan Tarung Liang Angkar Batilung  Nyaring (bumi). Sebuah pulau tempat kediaman kedua insan manusia pertama, juga menjadi tempat tinggal anak-anak dan cucu-cucu keturunan Maharaja Buno. Orang Dayak Ngaju diingatkan bahwa dunia ini hanyalah tempat tinggal sementara bagi manusia. Tanah air sebenarnya adalah dunia atas dalam bahasa Dayak Ngaju disebut Lewu Tatau (surga). Maka sekali lagi ditekankan bahwa manusia tidak boleh terlalu mendewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi karena itu semua hanyalah sementara. Pada bagian puncak Batang Garing terdapat burung Enggang dan matahari yang melambangkan Ranying Mahatalla Langit. Hal ini mau menyatakan bahwa asal-usul kehidupan adalah berasal dari atas yaitu Ranying sendiri, Dialah sumber segala kehidupan di semesta ini.[6]
            Hal yang paling ditekankan dalam mite penciptaan Batang Garing ini adalah hubungan antara manusia dengan Allah (Ranying Mahatalla). Arah dan tujuan hidup manusia tidak hanya tertuju di dunia fana ini, tetapi manusia harus juga mengarahkan pandangannya ke dunia atas, tempat dimana Ranying Mahatalla Langit berkuasa. Namun di sisi lain pula dengan keberadaan Jata Balawang Bulau sebagai penguasa dunia bawah (yang adalah bayang-bayang dari Ranying Mahatalla sendiri) maka manusia perlu memperhatikan juga kebutuhan untuk hidup di dunia ini. Dengan kata lain dua kebutuhan itu merupakan hal sangat mendasar dan perlu adanya keseimbangan. Sebab dalam pandangan orang Dayak Ngaju kehidupan di dunia akan berpengaruh besar pada kehidupan selanjutnya yaitu di Lewu Tatau. Orang yang banyak berbuat kebaikan ketika meninggal akan masuk ke Lewu Tatau sedangkan orang yang jarang berbuat kebaikan akan masuk ke Lewu Liau (dunia yang lebih rendah dari Lewu Tatau).[7]         
Kesesuaian dari Iman Katolik
a.      Konsep Ketuhanan
Konsep ketuhanan dalam iman Katolik meyakini Allah Tritunggal Mahakudus, yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dalam iman akan Tritunggal ini Gereja Katolik tidak mengakui tiga allah seolah-olah orang Katolik menyembah tiga allah, tetapi satu Allah dalam tiga pribadi “Tritunggal yang sehakikat”.[8] Pribadi-pribadi Ilahi ini tidak membagikan ke-Allah-an yang satu itu menjadi sepertiga. Tritunggal Mahakudus sepenuhnya dan seluruhnya Allah. Ketiga Pribadi Ilahi secara real berbeda satu sama lain, di dalam hubungan asalnya. Allah Bapa yang melahirkan, Allah Putera yang dilahirkan daln Allah Roh Kudus yang dihembuskan. Ketiga Pribadi ini berhubungan satu dengan yang lain. Perbedaan dalam hal asal tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, tetapi menunjukan hubungan timbal balik antar tiga pribadi Allah itu. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera dihubungkan dengan Bapa dan Roh Kudus dihubungkan dengan Keduanya.[9] Jadi hakikat mereka satu, yaitu Allah.
            Orang Dayak Ngaju juga meyakini bahwa Allah hanya satu yaitu Ranying Mahatalla Langit, sedangkan keberadaan Jata Belawang Bulau adalah bayang-bayang dari Ranying sendiri. Keduanya secara hakikat adalah satu. Yang merupakan satu-kesatuan dari keutuhan kosmis, seandainya salah satu dari keduanya “dihilangkan” maka keseimbangan kosmis akan kacau.
b.      Relasi Manusia dengan Allah.
Hubungan manusia dengan Allah dalam iman Katolik tergambar  jelas dalam “realitas pewahyuan diri Allah dalam sejarah manusia”.[10] Allah menyelamatkan manusia dalam Kristus oleh Roh Kudus.  Allah mewahyukan diri-Nya yang terwujud nyata dalam diri Yesus Kristus. Yesus datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan dan menebus manusia dari dosa-dosanya. Allah sungguh mencintai manusia sehingga Ia tidak segan-segan menyerahkan Putera Tunggal-Nya untuk mati di kayu salib. Dengan demikian dosa-dosa manusia dihapuskan dan manusia disucikan sehingga manusia dapat hidup bersatu dengan Allah di Kerajaan Surga. Pada dasarnya manusia mempunyai kerinduan yang besar untuk bersatu dengan Allah. Seluruh tujuan hidup manusia secara hakiki tearah kepada Allah. Jadi seluruh perjalanan hidup manusia di dunia ini pada akhirnya nanti menuju kepada Allah. Hal ini mensyaratkan selama hidup di dunia manusia harus selalu berbuat kebaikan kepada sesamanya dengan mengamalkan hukum cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus sendiri.
Melalui mite penciptaan Batang Garing dapat dapat diketahui orientasi hidup masyarakat Dayak Ngaju pertama-tama dan semata-mata tertuju ke atas. Artinya segala arah dan tujuan hidup manusia Dayak Ngaju tidak tertuju kepada dunia fana ini, tetapi lebih-lebih mengarahkan diri ke Dunia Atas, tempat dimana Ranying Mahatalla Langit berada. Hidup di dunia hanyalah sementara dengan demikian masyarakat Dayak Ngaju (manusia) tidak boleh terlalu mendewa-dewakan segala harta benda duniawi. Namun di sisi lain dengan mengingat akan keberadaan Jata Belawang Bulau sebagai penguasa Dunia Bawah, orang Dayak Ngaju (manusia) juga tidak boleh mengabaikan kehidupan di dunia ini. Menurut keyakinan masyarakat Dayak Ngaju bahwa tindak-tanduk selama hidup di dunia ini akan berpengaruh besar dalam kehidupan selanjutnya. Orang baik akan masuk ke Lewu Tatau (surga atau dunia atas tempat Ranying berkuasa) dan orang jahat akan masuk Lewu Liau (dunia para arwah yang lebih rendah dari Lewu Tatau).         
                
Alam semesta senantiasa memesona manusia. Manusia selalu terkagum-kagum akan dunia sekitarnya. Alam penuh dengan misteri dan rahasia yang menakjubkan. Alam menuntut, menarik manusia untuk membuka tabir rahasia dirinya.









[1] KBBI
[2] Bdk. Roedy Haryo Widjono AMZ, Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo, 1998, 3-6.
[3] Fridolin Ukur, Tanya-Djawab Suku Dayak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1871, 35-38.
[4]Bdk. Paulus Florus, dkk (eds), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak: Institut Dayakologi, 2010, 9-10.
[5] Teras Mihing, Penciptaan Batang Garing, Palangkaraya: Katingan Lewu-Itah, 2009, 36.
[6] Ibid. 48
[7] Bdk. L. Dyson  dan Asharini, Tiwah: Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Depdikbud, 1981, 17.
[8]Bdk. Thomas Michel SJ, Pokok-pokok Iman Kristiani: Sharing Iman Seorang Kristiani dalam Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2007, 62-63.
[9] Ibid.
[10]Bdk. H.H. Pope Paul VI, The “Credo” of the People of God, London: Incorporated Catholic Truth Society, 1971, 7-8. 

Jumat, 31 Oktober 2014

RESENSI BUKU

Judul                           : Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok
Pengarang                   : Roedy Haryo Widjono AMZ
Penerbit                       : Grasindo, Jakarta
Tahun Cetakan            : 1998
Jumlah Halaman          : 152 halaman
Dimensi                       : panjang 17 cm, lebar 12 cm, tebal 0,5 cm

Profil Pengarang:
            Lahir di Solo, Jawa Tengah, 5 Juli 1958. Sejak usai mengikuti studi Comprehensive Development Training selama satu tahun diselenggarakan Yayasan Esti Mulia Jakarta (1080), ia menetapkan pilihan untuk menjadi aktivitis organisasi nonprofit (ornop). Awal tahun 1981, ia mulai bekerja di Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Samarinda dan tinggal di Tering, Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, sebuah desa kecil di pedalaman Mahakam, sebagai aktivis lapangan hingga tahun 1986.
            Menikah tahun 1984 dengan Yuliana Skolastika Karnella, putri Dayak Benuaq dan dikaruniai dua putra: Feliks Galih Layun Restumitra dan Andreas Sukma Rawayan Mahardika. Di pertengahan tahun 1986, ia pindah ke Samarinda hingga kini.
            Sebagai aktivis ornop ia aktif menulis artikel yang dipublikasikan di beberapa media, juga aktif menulis makalah yang dipresentasikan dalam berbagai kesempatan. Buku kumpulan sajak berjudul Lelaki Penunggang Gelombang diterbitkan PT Pustaka Sastra Jakarta (1997). Dalam kapasitasnya sebagai koresponden Majalah Mingguan Hidup dan Union of Catholic Indonesia News (Ucindonews), ia aktif menulis tentang persoalan-persoalan masyarakat di Kalimantan Timur.
            Di samping bekerja Sekretaris Komisi PSE Keuskupan Samarinda, ia juga aktif di beberapa ornop di Samarinda, antara lain Ketua Pengarah Konsorsium Sistem Hutan Kerakyatan Kalimantan Timur, anggota Forum Aksi Solidaritas untk Masyarakat Adat Dayak, anggota jaringan Gender Kalimatan Timur, anggota Konsorsium Pembaruan Agraria dan Direktur Lembaga Bina Benua Puti Jaji (Institute for Community Legal Resources Empowerment).

Isi Buku:
Kearifan Manusia Dayak
            Berbicara tentang bumi Kalimantan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat yang mendiami Pulau Borneo ini, yakni masyarakat Suku Dayak. Suku Dayak adalah pribumi yang mendiami Pulau Kalimantan sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Sejarah mencatat nenek moyang Dayak berasal dari Daratan Cina yang bermigrasi secara besar-besaran. Gerakan migrasi ini sekitar tahun 3000-1500 sebelum masehi. Secara pasti catatan sejarah menyebutkan para imigran itu berasal dari Provinsi Yunan, Cina Selatan itu dalam kelompok-kelompok kecil. Para imigran gelombang pertama yang memasuki Kalimantan, adalah kelompok Negrid dan Weddid, atau lazim disebut Proto Melayu. Sedangkan migran gelombang kedua dalam jumlah yang lebih besar, disebut Deutro Melayu, yang kemudian menghuni wilayah pantai Kalimantan dan kini dikenal sebagi Suku Melayu. Kelompok Proto Melayu dan Deutro Melayu pada hakikatnya berasal dari negeri yang sama. Perbedaan yang ada, merupakan akibat dari akulturasi kedua belah pihak dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia, selain dipengaruhi pula dengan agama. Untuk itu muncul pula istilah Dayak dan Haloq (sebutan untuk suku lain yang beragama Islam), merupakan penegasan istilah yang yang bermakna sosio religius semata.
            Istilah “Dayak” sendiri rupanya sangat kompleks, dalam berbagai literatur terdapat keberagaman sebutan untuk penduduk asli Pulau Borneo ini. Di sini penulis hanya memberikan empat sebutan, yakni; Daya’, Dyak, Daya dan Dayak. Sebenarnya tidak ada kepastian yag jelas mengenai istilah Dayak untuk menyebut manusia yang mendiami Pulau Borneo, mereka lebih mengenal dirinya sendiri sebagai Iban, Ot Danum, Kenyah, Punan, Ngaju, Ma’anyan, Bahau, Dusun, Siang dan lainnya. Di mana sebutan-sebutan itu berdasarkan nama stammenras atau tempat tinggal dari masing-masing kelompok. Menurut staf peneliti dari Institute of Dayakology Research and Development (IDRD) Pontianak, keberagaman penyebutan itu merupakan indikasi tentang kekaburan sebuah identitas dari penghuni asli Pulau Kalimantan ini. Terlepas dari semuanya itu, yang jelas istilah Dayak merupakan nama kolektif untuk berbagai penduduk pribumi Kalimantan yang tidak memeluk agama Islam. 
            Falsafah hidup manusia Dayak yang menjadi akar dari eksistensi keberadaannya adalah falsafah hidup Rumah Panjang (Betang). Nilai hidup Rumah Betang menjadi hal yang mendasar bagi kehidupan manusia Dayak. Ciri khas Rumah Panjang adalah aspek komunal atau hidup bersama dari seluruh masyarakat Dayak dalam suatu wilayah atau daerah. Di semua masyarakarat Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan dapat dipastikan kehidupan Rumah Panjang, meskipun di zaman sekarang eksistensi Rumah Panjang perlahan-lahan tergerus oleh modernisasi. Cara hidup komunal turun-temurun pada masyarakat Dayak, terbukti mendukung proses pengukuhan tradisi kebersamaan, sebab cikal-bakal terbangunnya sebuah Rumah Panjang berpangkal dari satu keluarga. Kemudian beranak-pinak secara turun-temurun dan terus menerus menghuni rumah panjang. Secara alamiah masyarakat yang hidup dalam rumah panjang sulit terpisahkan, terutama oleh faktor adat, darah, kepercayaan dan mata pencaharian.
            Rumah panjang bagi masyarakat Dayak tidak saja menjadi ungkapan historis legendaris kehidupan leluhur melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan nyata tentang tata aturan adat, organisasi sosial dan sistem kemasyarakatan, sehingga menjadi titik sentral dinamika kehidupan warganya. Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia Dayak, makna pekerjaannya, karya, persepsi mengenai waktu dan hubungannya dengan alam tempat tinggal. Di sisi lain kehidupan di rumah panjang menjamin keberlangsungan hubungan-hubungan kekuasaan di kalangan masyarakat Dayak setempat.
            Satu hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia Dayak adalah berkaitan dengan relasinya dengan alam sekitar, dalam hal ini adalah hutan. Masyarakat Dayak menyatakan bahwa hutan adalah milik mereka yang paling berharga. Antara mereka dengan hutan telah terpadu sedemikian rupa dan menyejarah. Manusia Dayak terus berusaha menjaga dan mempertahankan ekosistem karena dari situlah mereka turun-temurun hidup sejak masa lalu, masa kini dan masa depan. Dari persentuhan yang mendalam masyarakat Dayak dengan hutan melahirkan sistem perladangan yang dinamakan sistem ladang berpindah. Ladang berpindah sebuah model kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya hutan yang bersumber pada hukum adat. Sistem ini menjadi salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak.
            Ibarat monyet yang tak terpisahkan dengan pohon dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, demikian pula Suku Dayak, mereka tak mungkin terpisahkan dengan hutan. Manusia Dayak menjadi gambaran atau teladan yang baik yang patut ditiru dalam usaha pelestarian lingkungan hidup. Masyarakat Dayak dapat dikatakan “pelestari tulen” dengan sistem ladang berpindah mereka berusaha memaksimalkan fungsi hutan dengan baik. Apabila suatu area hutan sudah dijadikan tempat berladang maka mereka tidak akan menggarap lagi area itu dalam jangka waktu yang relatif lama (kira-kira 10-20 tahun). Dengan demikian alam dibiarkan untuk memulihkan dirinya, ataupun oleh orang Dayak ditanami dengan pohon buah-buahan. Mereka mengambil tidak berlebihan dari apa yang diperlukan hari ini. Masyarakat Dayak sadar di mana semua keperluan sudah diberikan kepada mereka secara melimpah oleh Hatalla (Pencipta) melalui “Indu” (ibu bumi) untuk anak-anak (manusia). Pada hakikatnya Suku Dayak memiliki persepsi holistik terhadap hutan, bagi mereka hutan tidak semata bermakna ekonomis, melainkan juga sosio budaya-religius. Juga bukan hanya semata-mata berisi aneka ragam tetumbuhan dan hewan, melainkan mereka sendiri merupakan bagian hutan yang tak terpisahkan.
            Wawasan yang holistik ini membuat masyarakat Dayak tidak melakukan pemilahan antara manusia denga alam sekitarnya, malah keduanya memiliki “kekuatan dan kekuasaan” yang saling mendukung untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Alam pikiran seperti itulah dalam kehidupan sehari-hari terukir jelas dalam praktek tradisi dan upacara adat, termasuk pula dalam perilaku mereka dalam mengelola sumber daya hutan.  
           
Dilema Gejala Modernitas
            Suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa masyarakat Dayak saat ini telah “mewujud” sebagai kelompok kehidupn yang berada dalam proses perubahan. Kecenderungan masyarakat Dayak yang tertutup pada hal yang dari luar pada masa lampau, kini telah bergeser pada arah sikap terbuka atau tren untuk berubah. Mereka bukan lagi kokoh, sebagai masyarakat yang lebur menyatu dengan alam selaku kaum petani ladang yang berpegang teguh pada tradisi dan tata aturan adat. Mereka kini telah hadir sebagai masyarakat yang terbuka pada gejala modernitas. Gejala modernitas pada masyarakat Dayak secara langsung menyentuh pada transformasi budaya. Proses transformasi budaya pada suku Dayak kini sedang berlangsung. Modernisasi yang diwujudkan melalui kebijakan dan program pembangunan di berbagai aspek kehidupan. Proses transformasi budaya ini akan memunculkan dua kemungkinan. Pertama, masyarakat Dayak akan menemukan identitas kebudayaanya yang baru. Kedua, justru sebaliknya suku Dayak akan kehilangan identitas ke-dayak-kannya. Kebudayaan Dayak pada hakekatnya ditandai dengan perwujudan kebudayaan material dan spiritual, terbukti adanya keterpaduan yang erat, antara sikap religius dan sikap sosial. Hal inilah yang menumbuhkan solidaritas guna menjaga keutuhan dan keharmonisan komunitas dari sub-sub etnis Dayak.
            Namun, dalam konsep pembangunan berwawasan kebudayaan, tatanan hidup dan perilaku bermuara dari kebudayaan Dayak perlu diadakan perubahan. Pembaruan budaya adalah sarana menuju semuanya itu. Dengan kata lain, proses transformasi budaya akan membawa perubahan pada masyarakat Dayak. Malahan perubahan itu tak terelakkan. Dewasa ini. kebudayaan Dayak sudah go public. Hal itu dimungkinkan karena pemilik kebudayaan, yakni manusia Dayak telah bersinggungan langsung dengan kebudayaan dan nilai-nilai dari luar. Dalam proses pertemuan antar budaya tersebut, terdapat suatu fenomena yang menarik. Manusia Dayak mengalami culture shock yang membawa mereka terperosok dalam kubangan modernitas, dengan kata lain masuk ke dalam kebudayaan tiruan.
            Kebudayaan tiruan itu, bila tidak disensor justru akan menyesatkan. Karena perubahan yang diharapkan menghasilkan buah yang matang, suatu saat bisa menjadi bumerang. Pada gilirannya akan memudarkan identitas kebudayaan Dayak itu sendiri. Proses humanisasi manusia justrus berujung pada dehumanisasi manusia. Perlahan-lahan setiap nilai dari kearifan budaya kian tergerus. Manusia Dayak sebenarnya belum siap mengalami modernisasi, mereka melewati loncatan yang begitu jauh dari apa yang mereka harus jalani. Peralihan dari masyarakat tradisional yang basis hidupnya tergantung pada alam menuju masyarakat modern berorientasi teknologi-industri. Gejala seperti ini dapat dilihat dari peralihan kehidupan masyarakat ladang menuju ke kehidupan masyarakat pasca-ladang.
            Kehidupan masyarakat pasca-ladang merupakan suatu kehidupan yang ditata secara rasional dan efisien. Nilai yang dijunjung pada masyarakat pasca-ladang adalah sains dan teknologi yang menjadi wujud dari aspek rasionalitas dan efisiensi. Dengan demikian tuntutannya adalah perubahan cara berpikir masyarakat ladang yang bersifat holistik-intuitif. Berkenaan dengan nilai sosial, modernitas kehidupan masyarakat pasca-ladang, mendasarkan pembagian kerja menurut keahlian yang diwujudkan dalam prestasi kerja. Sistem generalisasi dalam masyarakat tradisional, untuk itu dituntut berubah ke arah tenaga kerja yang berorientasi pada status, bergeser ke arah prestasi kerja. permasalahan ini mengisyaratkan kompetensi hidup yang selektif. Semenrata itu, masyarakat Dayak senantiasa tertatih-tatih dan kalah dalam “perebutan” untuk hidup. Dalam konteks perekrutan tenaga kerja pada bidang industri, masyarakat Dayak tersisihkan. Mereka hanya sebatas dibutuhkan sebagai pekerja kasar, setelah semua produksi dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan produk yang baik, kemudian mereka ditendang. Modernisasi berkedok industrialisasi telah memperalat manusia Dayak untuk terperosok dalam kubangan lumpur marginalisasi kehidupan sosial masyarakat pasca-ladang.

Dayak dalam Pusaran Peradaban Modernisasi
            Modernisasi memang sudah menjalar ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Dayak. Ibarat kaki yang berdiri di dua perahu, satu kaki kanan berdiri di atas perahu yang satu dan kaki kiri berdiri di atas perahu yang lain, begitulah keadaan manusia Dayak sekarang. Mereka mengalami kebingungan mana yang harus dipilih dan disisih. Memilih modernisasi berarti harus masuk ke dalam lingkup masyarakat yang hanya berorientasi pada keuntungan materi belaka. Atau tetap bertahan dalam pola hidup yang lama yaitu pola masyarakat tradisional, di mana masyarakat sangat menjunjung aspek hidup komunal, saling bahu-membahu satu dengan yang lain. Dengan kata lain kehidupan masyarakat tradisional berciri komunal yaitu “sama rata sama rasa, bahagia bersama menderita juga bersama”. Namun di sisi lain ketika manusia Dayak masih mempertahankan pola hidup yang lama, mereka akan dianggap kolot, primitif, ketinggalan zaman bahkan mungkin dianggap belum beradab atau biadab. Itulah segala macam pelabelan atau cap-cap yang diberikan masyarakat yang menamakan dirinya masyarakat modern terhadap masyarakat tradisional. Sebenarnya tanpa disadari manusia Dayak dipaksa untuk masuk ke dalam pusaran modernisasi, bukan oleh siapa-siapa tapi oleh pemerintah sendiri dengan berlandaskan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebenarnya membikin masyarakatnya sendiri semakin menderita. Pemerintah kerap membuat keputusan sepihak tanpa berusaha mensosialisasikan kepada masyarakat terlebih dulu. Apakah setiap program dan kebijakan yang dikeluarkan betul-betul sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat atau malah sebaliknya, setiap kebijakan itu tidak tepat sasaran.
            Ditambah lagi masyarakat Dayak terombang-ambing dalam gelombang peradaban. Pergeseran paradigma identitas diri manusia Dayak telah berlangsung. Nilai-nilai lokal yang begitu berakar dalam seluruh eksistensi manusia Dayak perlahan-lahan memudar. Generasi Dayak sekarang banyak yang tidak lagi memikirkan identitas ke-dayak-kannya, mereka merasa tidak perlu untuk mempertahankan identitasnya. Hal ini ditandai dengan sesuatu yang sangat sederhana, yaitu bahasa. Banyak orang-orang muda Dayak seperti merasa malu menggunakan bahasa ibu (daerah) mereka, secara umum bahasa Dayak. Mereka takut dianggap tidak modern atau kelihatan ketinggalan zaman (kuno) di hadapan teman-teman sebaya mereka. Mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan bahkan dicampur keinggris-inggrisan yang jelas bukan produk budaya lokal. Fenomena seperti itu ikut menggerus nilai-nilai kearifan budaya Dayak. Manusia Dayak menuju kepada suatu terma universalisme. Suatu sikap yang menghendaki tidak perlu lagi ada nilai-nilai atau budaya-budaya lokal yang menonjol tetapi semua nilai atau budaya lokal itu harus masuk pada suatu wadah yang disebut universalitas budaya. Hal itu dimungkinkan karena kebudayaan Dayak tidak hanya go public dalam skala nasional, tapi juga telah go international. Itulah sebabnya dalam masyarakat modern, persinggungan ragam kebudayaam atau disebut tranformasi budaya amat dimungkinkan untuk tertajdi. Era globalisasi telah menggelindingkan “bola” universalisme kebudayaan. Persoalannya adalah belum ditemukan srategi kebudayaan yang mampu menggabungkan kemanusiaan universal dengan karateristik kebudayaan tertentu, dalam hal ini kebudayaan Dayak, sehingga manusia Dayak tetap mempertahankan serta mewujudkan identitas ke-dayak-kannya. Fenomena yang kerap muncul saat ini adalah, adanya kecenderungan hanya satu atau dua kebudayaan tertentu yang dominan “superculture” di atas panggung universalisme budaya, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Persoalan inilah yang membuat kian peliknya proses transformasi pada masyarakat Dayak.
            Hidup di dalam era peradaban modern segala hal diukur dalam keuntungan materi. Jelasnya segala sesuatu diukur dengan uang. Dalam peradaban manusia Dayak hal ini pun terjadi. Bahkan masuk dalam ranah religi, sistem religi dijadikan komoditas industri wisata. Sistem religi bagi masyarakat Dayak, selain dasar dan norma tingkah laku, juga memberi sumbangan yang besar terhadap lahirnya sejumlah adat sebagai manifestasi eksistensi mereka. Namun, saat ini apa yang disebut di atas kian pudar dan lumpuh, tatkala sistem religi ini telah “dijual” sebagai komoditas industri wisata. Kebudayaan yang sebenarnya mengandung nilai-nilai spritual yang sakral sekarang dijual hanya untuk mendapatkan uang. Alasannya sangat masuk akal dan indah bahwa nilai-nilai religius dijadikan komoditas industri pariwisata adalah untuk menjaga kelestariannya. Tak pelak. Hal itu juga salah satu faktor penyebab kian melemahnya kelembagaan adat. Tentu saja juga berpengaruh pada kehidupan budaya, di mana mereka tidak lagi menjadi pemilik budaya leluhur, melainkan menjadi pedagang sekaligus “buruh” yang dikendalikan oleh kepentingan pihak luar berbungkuskan pengembangan industri wisata. Sesungguhnya masyarakat Dayak mengenal siklus waktu tertentu, sebagai aturan yang menetapkan kapan boleh dan tidaknya suatu adat dilaksanakan. Juga adanya aturan tabu bagi adat tertentu yang terlarang untuk konsumsi umum. Aturan-aturan tersebut tentu mendapat sanksi adat bila dilanggar. Namun, realita yang terjadi segala pantangan dan larangan yang ditetapkan leluhur (atau lembaga adat) tidak berlaku lagi di zaman sekarang ini. Alhasil, nyaris tidak adanya “filter” sehingga semua bentuk adat boleh dilakukan demi kepentingan industri wisata. Setiap orang diam menutup mulut melihat realitas seperti ini dan menganggap hal itu semua wajar karena orang Dayak sudah hidup di zaman modern, itulah konsekuensinya dan sekaligus menguntungkan.
            Fenomena seperti yang dijelaskan di atas juga berimbas pula dalam komunitas kehidupan rumah panjang. Komunitas kehidupan rumah panjang sebagai pusat kebudayaan Dayak, sesungguhnya kini tinggal tinggal menjadi kisah memori legendaris kejayaan masa silam. Sisa-sisa peradaban rumah panjang yang masih ada di beberapa desa di Kalimantan, hakikatnya hanya merupakan fisik rumah tinggal yang telah kehilangan “roh” dinamika kehidupan masyarakat adat Dayak. Ironisnya rumah panjang juga telah dijual sebagai obyek wisata. Kehancuran kehidupan komunitas rumah panjang juga merupakan faktor melemahnya kelembagaan adat. Pergeseran dari rumah panjang ke rumah tunggal, tentu menyebabkan bergesernya dinamika kelembagaan adat dalam praktek kehidupan sehari-hari. Sebagai penutup penulis memberikan contoh konkret. Bergesernya budaya lisan ke budaya tulis. Dulu untuk pertemuan adat cukup dengan dengan membunyikan gong saja warga pasti kumpul, kini diperlukan undangan tertulis yang resmi dan mesti ditandatangani, itupun yang datang hanya beberapa saja. Memang paradigma telah berubah maka pola perilaku juga berubah. Inilah tantangan manusia Dayak. Apakah manusia Dayak sudah siap menatap hari esok? Jawabannya hanya bisa dijawab oleh manusia Dayak sendiri, terkhusus generasi mudanya karena di tangan merekalah identitas ke-dayak-an perlu dijaga. 

KOMENTAR
Kelebihan Buku:
·         Materi yang disajikan berkaitan erat dengan realita kehidupan, terutama kehidupan manusia-manusia Dayak yang hidup dalam peradaban modern ini.
·         Adanya suatu analisa yang sangat berkaitan dengan fakta di lapangan, bukan untaian kata-kata yang tanpa makna.
·         Cover buku sangat berkaitan atau sesuai dari keseluruhan isi buku, yang menggambarkan wajah manusia Dayak seperti bingung di terpa badai peradaban modern.
·         Referensi buku yang sangat kuat, tetapi saya melihat penulis tidak terlalu terpaku pada referensi karena menurutnya pengamatan dan konteks lapangan yang penting.
Kelemahan Buku:
  • Bahasa yang digunakan dalam buku ini cukup berat dan sulit dipahami. Buku ini terkhusus untuk kaum intelektual, pecinta alam, aktivis sosial kemasyarakatan dan pemerhati budaya. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat biasa yang ingin membaca buku ini sebagai sebuah refleksi fenomena realitas masyarakat Dayak dalam menghadapi zaman. Maka dari itu alangkah baiknya kalau bahasa dalam buku ini ditampilkan secara sederhana agar dapat dimengerti oleh semua kalangan.
Penilaian Buku
            Penilaian saya terhadap buku Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok ini sangat baik. Buku ini sangat jelas dalam memberi gambaran atau menjelaskan kepada saya bagaimana masyarakat Dayak terperangkap dalam peradaban modernitas dan bagaimana mereka berusaha dari perangkap itu. Terlebih karena saya adalah anak Dayak. Sebagai generasi muda Dayak saya sangat prihatin dan terpanggil untuk memajukan suku saya. Saya tidak mau manusia-manusia Dayak selalu terkungkung di dalam ketidakpastian hidup. Manusia Dayak harus bangkit dari ketertinggalan itu tanpa harus meninggalkan nilai-nilai kearifan lokalnya. Manusia Dayak harus senantiasa menghidupi nilai-nilai luhur warisan nenek moyang, karena hanya dengan begitulah eksistensi ke-dayak-kan manusia Dayak akan selalu hidup tak lekang oleh waktu.
            Buku ini sejatinya dapat dan sangat perlu oleh semua kalangan masyarakat, terlepas dari bahasanya yang sangat berat. Masih sangat aktual dalam kehidupan terkait masalah gejala modenitas dan dampaknya, yang sebenarnya tidak hanya dialami masyarakat Dayak tetapi seluruh masyarakat adat di seluruh Nusantara ini. Maka sangat cocok sebagai bahan bacaan, refleksi, dan referensi yang baik dan pembelajaran. Kalau dapat diberi penilaian dari angka 1-10, maka saya memberi angka 9.